Kepala Bagian (Kabag) Ekonomi Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Barat, Iqbal Idham Ramid mengatakan bahwa wilayah Pecinan Glodok, Taman Sari, Jakarta Barat akan ditata menjadi kawasan wisata sejarah. Daerah tersebut akan dikembalikan sesuai dengan kawasan zaman dulu. Artinya, ini akan menjadi kawasan sejarah (mediaindonesia.com, 27/9/2021).
Konsep penataan yang telah memasuki tahap 80 persen selesai itu, nantinya akan me-revitalisasi trotoar dan menata pedagang di wilayah Pecinan. Pemerintah Kota Jakarta Barat juga berencana menata empat kawasan lain, yakni Sentra Primer Barat, Kembangan; Taman Sentra Flora dan Fauna Semanan, Kalideres; Sentra Promosi dan Pemasaran Ikan Hias (SPPIH) Slipi, Palmerah; dan Kota Tua, Taman Sari (mediaindonesia.com, 27/9/2021).
Masyarakat tentu akan sangat mengapresiasi program penataan kota yang dilakukan pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan nilai dan fungsi lahan agar terlihat lebih rapi dan menawan. Namun, jika salah satu maksudnya adalah sebagai tujuan wisata sejarah. Hendaknya, baik Pemprov maupun Pemkot harus benar-benar memperhatikan sejarah wilayah yang akan direvitalisasi.
Karena sejatinya, sejarah Sunda Kelapa yang kemudian diberi nama Batavia dan saat ini bernama Jakarta, sangat kental dengan nuansa Islam. Dimulai dari pelabuhan Sunda Kelapa hingga meluas ke seluruh pelosok Jakarta, dulunya kaum Muslim baik pribumi atau imigran yang berasal dari Gujarat, Arab, Yaman, juga etnis Tionghoa hidup damai berdampingan dengan penganut agama lain.
Namun, setelah Gustaff Baron Van Imhoof menjadi Gubernur Jenderal (1743-1750) di Batavia. Untuk mengawasi dan membatasi pergerakan masyarakat Tionghoa, Pemerintah Hindia-Belanda memusatkan permukiman warga Tionghoa di Glodok. Dari sinilah muncul wilayah Pecinan di Batavia hingga kini.
Demi melaksanakan kebijakan zona permukiman etnis (wijkenstelsel), pada Abad ke-18 penjajah kolonial juga menetapkan Pekojan sebagai Kampung Arab. Wijkenstelsel dilakukan untuk mempermudah pengawasan terhadap aktivitas pendatang. Jejaknya, kini masih tampak dari sejumlah bangunan masjid yang dibangun sejak masa muslim India hingga Arab.
Dari kebijakan tersebut sangat tampak betapa pemerintah Hindia-Belanda tidak ingin pengaruh orang Tionghoa ataupun imigran dari Gujarat, Arab dan Yaman (Hadramaut) melebihinya. Sebab berdasarkan fakta sejarah, para penjelajah yang singgah di Nusantara tidak hanya ingin mencari peruntungan dalam perdagangan. Lebih dari itu, mereka membawa misi besar yakni penyebaran ideologi.
Seperti bangsa Eropa dengan semboyannya, yaitu Gold, Glory, Gospel atau dengan kata lain mereka ingin memburu kejayaan, superioritas dan kekuasaan. Kemudian, salah satu semboyan mereka yaitu semangat gospel adalah untuk menyebarkan ajaran injil.
Berdasarkan catatan sejarah, semangat gospel mulai massif saat dilakukan pembangunan Gereja Katedral. Pengerjaan gereja dimulai ketika Paus Pius VII mengangkat Pastor Nelissen sebagai prefek apostik Hindia-Belanda pada 1807. Saat itulah kemudian penyebaran misi dan pembangunan gereja Katolik di kawasan Nusantara digalakkan, termasuk di Jakarta. Pastor Nelissen bersama Pastor Prinsen kala itu tiba di Batavia lewat Pelabuhan Pasar Ikan pada 1808. Kala itu keduanya bertemu dengan Dokter FCH Assmus untuk membicarakan pendirian gereja katolik di Batavia (voi.id, 25/12/2020).
Indonesia dikenal dengan beragam suku, bahasa, budaya dan agama. Tentu kondisi tersebut tidak lepas dari sejarah peradaban yang membentuknya. Jika kita berbicara mengenai masyarakat Tionghoa, tentu ingatan kita akan terbang ke abad 14. Kalau saat ini orang Tionghoa sangat identik dengan gereja, klenteng atau vihara sebagai rumah ibadahnya. Sangat berbeda dengan kondisi orang Tionghoa di Batavia zaman dahulu.
Karena saat itu, seorang Bahariawan bernama Laksamana Cheng Ho (1371-1433) yang berasal dari Tiongkok, melakukan ekspedisi ke berbagai tempat, salah satunya ke wilayah nusantara. Penjelajah samudera yang memiliki nama asli Ma Sanbao hidup pada zaman Dinasti Ming. Justru dia Muslim sejak lahir.
Menurut banyak sumber sejarah, Laksamana Cheng Ho yang merupakan keturunan suku Hui mengunjungi nusantara bukan hanya untuk berdagang. Tetapi, untuk melakukan syiar Islam. Pada 1406, armada Cheng Ho mengunjungi Majapahit dengan berlabuh di Tuban. Selanjutnya menyusuri Pantai Utara Jawa dan singgah di beberapa kota pelabuhan, termasuk Semarang, Cirebon, dan Sunda Kelapa (Dhurorudin Mashad, Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang, 2014:80).
Kala itu, penduduk muslim Tionghoa mendapatkan perbuatan tidak menyenangkan dari penjajah Belanda. Hal itu karena mereka memiliki kedekatan dengan penduduk pribumi. Mereka beragama muslim seperti sebagian besar agama penduduk pribumi. Imigran Etnis Tionghoa Muslim mudah diterima penduduk Indonesia. Mereka bekerja di bidang pertanian, perdagangan, pertukangan dan juga menyebarkan agama Islam.
Hal ini menunjukkan bahwa di masa lalu, etnis Tionghoa juga memiliki hubungan yang baik dengan penduduk asli Indonesia. Eratnya hubungan persaudaraan kemudian mendapatkan tekanan yang sama dari pihak Portugis dan Belanda. Namun, penduduk muslim Tionghoa tidak tinggal diam. Mereka juga melakukan perlawanan terhadap penjajah dengan bergabung dengan pejuang Indonesia.
Pada tahun 1740 terjadi pembantaian etnis Tionghoa di Batavia oleh pemerintah kolonial. Mayat-mayatnya dibuang begitu saja di Kali Angke. Sehingga, membuat kali yang airnya berwarna jernih menjadi merah karena darah. Sadis, fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa penjajah telah melakukan pengaburan eksistensi sejarah di Batavia.
Pada tahun 1786, muslim Tionghoa yang tinggal di Glodok membangun Masjid yang hingga kini masih berdiri kokoh, yakni Masjid Jami Kebon Jeruk. Di sekitar masjid juga ditemukan makam dengan nisan bertuliskan huruf Cina. Disebutkan makam tersebut adalah makam Chai Tsien Wu dan Fatimah Wu yang merupakan pendiri masjid tersebut.
Bahkan, sejak dipusatkannya etnis Tionghoa di Glodok, banyak dari kalangan Tionghoa non-muslim yang kemudian memeluk Islam. Mereka juga membaur dengan masyarakat pribumi. Jejaknya bisa kita lihat, yakni masjid Lautze yang dibangun pada tahun 1991.
Dari fakta di atas, kiranya pemerintah bisa bijaksana dan objektif dalam melakukan pemugaran kawasan Glodok dan sekitarnya. Pemerintah tidak boleh melupakan sejarah bahwa saat itu, Islam yang merupakan agama penuh cinta dan kedamaian datang mewarnai Batavia dan sekitarnya. Sehingga, sejak zaman kolonial hingga saat ini Islam masih eksis dan merupakan agama mayoritas di Indonesia.
Tidak hanya itu, sejak sebelum abad ke 17, Pemerintah Batavia akhirnya tidak kuasa menolak perkembangan Islam di Batavia. Tata cara dan kebiasaan Islam lambat laun menyerap dan menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Batavia. Bahkan, dalam penerapan hukum pidana pemerintah VOC harus mempertimbangkan agama terdakwa.
Gerrit Vermeulen, dalam laporan perjalanannya tahun 1677 menulis, orang ‘Moor’ dan Jawa sudah terbiasa “untuk mempertahankan hukum mereka secara amat ketat;” mereka selalu mengucapkan sumpah dalam bahasa mereka sendiri (bahasa Arab) dan secara Islam. Hal ini tidak mengherankan apabila pejabat pengadilan di Batavia, bahkan sampai perlu untuk meminta masukan dari ulama setempat untuk persoalan pengadilan yang melibatkan orang Islam (Niemeijer, Henderik A. 2012).
Artinya, sejak zaman pemerintahan kolonial, ulama sudah sangat berperan tidak hanya dalam persoalan keagamaan. Tetapi, juga dalam sistem pemerintahan kala itu.
Oleh sebab itu, dari rentetan fakta sejarah terkait eksistensi umat Islam terutama Muslim Tionghoa di Jakarta. Sejarah mencatat betapa Islam berperan besar dalam membangun peradaban dan mengikat tali persaudaraan. Islam tidak membedakan apakah penduduk pribumi, peranakan Arab ataupun Tionghoa. Oleh sebab itu, diharapkan pemerintah tidak menghilangkan sejarah dan nilai-nilai Islam yang begitu melekat mewarnai kehidupan masyarakat Jakarta. Apalagi, dalam proyek destinasi wisata sejarah, wallahualam bishawab.
Oleh Anggun Permatasari
0 Komentar