Murtad, Dampak Paham Moderat?



Sukmawati Soekarno Putri pindah agama. Di usia yang tidak muda lagi, 70 tahun, dia memutuskan untuk memilih Hindu sebagai agamanya. Dilansir dari jpnn.com, Kepala Sukarno Center, Arya Wedakarna mengungkapkan ritual pindah agama atau kembali ke pangkuan Hindu Dharma (Sudhi Wadani) itu akan dilaksanakan di kawasan Sukarno Center Heritage, Bale Agung Singaraja, Kabupaten Buleleng, pada hari Selasa (26/10).

Pindah agama memang bukan hal asing di Indonesia. Sebab Indonesia memang mengakui adanya lima agama. Selain itu, Indonesia juga mengadopsi konsep kebebasan beragama sebagai turunan dari konsep demokrasi. Itu sebabnya pindah agama memang dianggap sebagai persoalan yang biasa saja. Tak perlu dipersoalkan.

Namun, jika menengok dari sepak terjang Sukmawati sebelumnya, keluarnya dia dari agama sebelumnya memang sudah diisyaratkan dengan berbagai tingkah lakunya yang tidak sesuai dengan Islam. Dia pernah melakukan penistaan pada Islam dengan menganggap Sukarno lebih baik dari Nabi Muhammad saw.

Ketidakpahamannya pada syariat Islam telah dituangkannya dalam bentuk puisi kontroversial yang berjudul “Ibu Indonesia” beberapa tahun yang lalu. Dalam puisi itu ada ungkapan “…Aku tak tahu syariat Islam, yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah. Lebih cantik dari cadar dirimu…. Aku tak tahu syariat Islam, yang kutahu suara kidung ibu Indonesia, sangatlah elok. Lebih merdu dari alunan azan mu…” Dari ungkapan ini jelas bahwa dia adalah orang yang tidak paham terhadap Islam dan syariatnya, meski saat itu dia beragama Islam.

Orang Islam yang tidak paham syariat bahkan takut dengan syariatnya sendiri bukanlah Sukmawati seorang. Realitanya banyak juga muslim yang mengaku Islam tapi mengidap islamophobia. Dan hal itu terjadi bukan karena faktor individual semata.

Gencarnya narasi tentang kebebasan beragama yang dibarengi dengan derasnya isu moderasi beragama turut berkontribusi dalam membentuk pola pikir dan pola sikap masyarakat. Isu kebebasan beragama yang berjalan seiring dengan proyek moderasi beragama pada akhirnya memang menghasilkan produk muslim yang moderat.

Karakter muslim moderat, digambarkan dalam laporan Rand Corporation yang berjudul Building Moderate Muslim Network (2007), adalah muslim yang mendukung demokrasi dan pengakuan internasional atas hak asasi manusia, kesetaraan gender, kebebasan beribadah, menghargai keberagaman, menerima sumber hukum nonsektarian (nonagama), menentang terorisme, dan semua bentuk kekerasan–sesuai tafsiran Barat-.

Oleh karena itu, jika ada orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai seorang muslim moderat, dia akan bersikap sangat inklusif dan toleran. Ia akan menganggap Islam tak ada bedanya dengan agama lain. Jadi pindah agama juga tak perlu dipermasalahkan.

Ia juga tidak akan mendiskriminasi pelaku maksiat, membiarkan penyimpangan akidah maupun syariat, bahkan ia menolak pemberlakuan syariat Islam secara totalitas, menentang Islam politik -negara Islam, Khilafah dan jihad- sekalipun ia menjalankan ibadah mahdhah (salat, puasa, zakat dan lain-lain) dan menghiasi diri dengan berbagai sifat akhlak mulia seperti dermawan, baik hati, jujur, dan sebagainya.

Disinilah sebenarnya bahaya narasi Islam moderat, moderasi beragama dan kebebasan beragama. Sangat berbahaya karena mampu mendangkalkan aqidah umat, bahkan bisa membuat kaum muslimin murtad, keluar dari agamanya.

Sementara, narasi ini begitu getol disuarakan. Tak hanya di Indonesia, tapi juga di berbagai negeri muslim yang lain. Dan dari realita yang ada, hampir bisa dikatakan bahwa penguasa yang ada di berbagai negeri muslim ini, tak satu pun yang mampu membendungnya. Bahkan mereka ikut mengkampanyekan arus yang sudah didesain oleh Barat ini. Ini artinya negara kita saat ini tak mampu lagi memberikan penjagaan terhadap aqidah kaum muslimin.

Lihat saja, kasus-kasus aliran sesat terus bermunculan dan penistaan agama terus terjadi tanpa henti. Sementara fokus pemerintah justru lebih tertuju pada upaya-upaya deradikalisasi. Kaum muslimin yang menjalankan ibadahnya dengan benar dituding radikal. Ajaran Islam dituding bermuara pada paham terorisme. Demikianlah fakta yang nampak nyata terjadi.

Karena itu kaum muslimin sebenarnya tak bisa berharap lebih banyak pada negara yang menganut demokrasi sekuler ini untuk menyelamatkan aqidah mereka. Jika ingin berharap,  kaum muslimin semestinya menaruh harapan pada negara Khilafah yang secara syari telah diwajibkan untuk mejaga aqidah umat. Wallahu a’lam.

 

Kamilia Mustadjab

Posting Komentar

0 Komentar