Dulu, menjadi sebuah keberkahan bisa hidup di pinggir kali. Sebab masyarakat dengan mudah bisa mendapatkan air sebagai sumber penghidupan. Mereka pun tak jarang memanfaatkan kali sebagai jalur transportasi paling memudahkan.
Namun kini, petaka justru mengintai masyarakat yang bertempat tinggal di bantaran kali. Sebut saja warga di sekitar Kali Jambe, Bekasi yang hari ini justru selalu cemas dihantui banjir besar. Kali tak lagi menjadi sumber penghidupan, malah ada sebagai sumber malapetaka.
Untuk itulah, beberapa waktu lalu, Forum Peduli Kalijambe melakukan aksi bersih-bersih kali yang berada di Kelurahan Jatimulya. Masyarakat menyambut baik upaya relawan dari berbagai komunitas peduli lingkungan yang datang dari penjuru Jabodetabek dan Jawa tengah tersebut. Sayangnya, Pemda dinilai tidak memberikan banyak perhatian pada aksi kali ini. (newsbekasi.id, 27/09/2021)
Aksi para relawan itu merupakan inisiatif mereka sendiri. Mereka bahu membahu untuk membersihkan lautan sampah yang menutupi kali, tepatnya pada Minggu, 26 September 2021 lalu. Selain melakukan pembersihan, mereka juga melakukan kegiatan pengumpulan uang koin sejak 16 Agustus 2021 untuk mendukung upaya pembersihan Kali Jambe. Hingga saat ini, telah terkumpul uang koin seberat 7 kilogram. (Liputan6.com, 27/09/2021)
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi tuntutan warga kepada pemerintah atas Kali Jambe. Pertama, ada upaya kerjasama dari pemerintah untuk melakukan pembersihan kali dari hulu hingga hilir. Kedua, melakukan normalisasi kali sebab lumpur yang mengendap semakin menumpuk. Dan yang terakhir adalah upaya minimalisasi pembuangan limbah lindih ke sungai dari TPA Sumur Batu dan Bantargebang.
Wacana normalisasi yang beberapa waktu lalu muncul juga belum ada tanda-tanda akan direalisasi. Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) Kementerian PUPR menyatakan tengah menyiapkan rencana desain normalisasi aliran air Kali Jambe di wilayah Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Namun, hingga saat ini normalisasi kali masih pada tahap perencanaan sebab belum ada anggarannya di pusat. Pihak BBWSCC juga menegaskan bahwa kewenangan normalisasi sebenarnya menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Hanya saja Pemda mengaku tidak mampu untuk melakukan normalisasi hingga akhirnya meminta bantuan pemerintah pusat dalam penanganannya. Kalau sudah begini, kapan normalisasi kali ini bisa terealisasi?
Miris memang. Di tengah hingar-bingar pertumbuhan Bekasi sebagai kota metropolitan masyarakat harus menghadapi dilema akibat kondisi sungai yang terabaikan. Banjir besar mengancam mereka sewaktu-waktu ketika musim hujan tiba.
Sedangkan kita tahu pembangunan pemukiman terus dilakukan. Sawah, rawa, kebun disulap menjadi kawasan tempat tinggal dan pertokoan. Hilang sudah daerah resapan. Air hujan tak lagi ada tempat penampungan. Sedang kali penuh sampah dan lumpur yang tak terkendali. Lalu bagaimana bisa nyaman hidup dalam kondisi tata kelola wilayah yang tak karuan?
Inilah potret buram diterapkannya sistem sekuler kapitalis yang meniscayakan terabaikannya tata kelola wilayah yang aman dan nyaman bagi masyarakat. Para pemangku jabatan tak betul-betul memahami amanahnya sebagai seorang pelayan masyarakat. Saat menghadapi persoalan justru mereka terkesan saling lempar tanggungjawab.
Paradigma kapitalis yang para penguasa emban itu membuat mereka hanya menghitung untung rugi dalam kursi jabatan. Anggaran mobil dinas dengan nilai fantastis ada, tapi anggaran untuk normalisasi kali entah kemana. Padahal ini urusan keselamatan warga.
Belum lagi persoalan limbah sampah yang menjadi penyumbang semakin parahnya kondisi kali. Tak ada mekanisme yang cepat dan tepat dalam menangani persoalan sampah. Ditambah lagi masyarakat yang tak teredukasi, ringan saja buang sampah di bantaran kali.
Jika dibiarkan tentu saja persoalan ini semakin membuat masyarakat hidup dalam kondisi tak pasti. Bukan tidak mungkin, banjir akan menjadi teman sehari-hari ketika musim hujan tiba nanti. Kerugian materi dan keselamatan jiwa jadi taruhannya. Dimana peran penguasa?
Untuk itulah, penguasa mesti mengintrospeksi diri, kembali lagi meluruskan niat sebagai seorang pemimpin yang melayani. Sebab kepemimpinan bukan hanya soal kuasa tapi juga surga dan neraka. Mereka harus berhati-hati dalam mengambil kebijakan agar tak ada penyesalan.
Harus ada upaya serius dari berbagai pihak untuk mengatasi persoalan tata kelola wilayah, khususnya mengatasi kondisi Kali Jambe. Baik pemerintah daerah maupun pusat harus menganggarkan segera demi terlaksananya normalisasi kali, agar banjir bisa diminimalisir.
Tak cukup sampai disitu, harus ada kebijakan yang saling terintegrasi untuk melakukan perawatan kali. Lebih dari itu, berbagai pihak harus saling membahu mengembalikan fungsi kali sebagaimana mestinya.
Tentu ini tidak hanya butuh kerja keras dari berbagai pihak tapi juga butuh dukungan sistem yang memadai. Sistem itu tidak lain adalah sistem Islam. Akidah sebagai dasar tegaknya sistem akan memastikan penguasa dan masyarakat memahami perannya masing-masing sebagai pengelola bumi.
Sistem kehidupan yang berasal dari Sang Pencipta itu, tentu mempunyai konsep dan mekanisme yang memadai untuk menyelesaikan berbagai persoalan manusia. Tak terkecuali persoalan kelestarian lingkungan, khususnya kali.
Kali merupakan wilayah milik umum yang manfaatnya bisa diambil oleh masyarakat, maka negara wajib memastikan kelestariannya terjaga. Ada upaya pemeliharaan yang dilakukan secara berkala. Masyarakat juga diedukasi dengan baik tentang pentingnya keberadaan kali bagi kehidupan mereka. Mereka juga mesti memahami kewajiban untuk memelihara lingkungan.
Tentu saja harus ada sistem pendanaan yang dikelola dengan baik. Dengan begitu, tak ada lagi alasan ketiadaan anggaran setiap kali menghadapi persoalan. Dan sistem ekonomi Islam telah membuktikan ketangguhannya dalam menghadapi berbagai macam ujian kehidupan di masa lalu.
Setiap kebijakan yang lahir dari sistem ini tak bermuara pada keuntungan materi sebab rida Allah yang dicari. Sehingga tak hanya persoalan kali yang akan dengan mudah teratasi tapi juga persoalan besar yang mencengkeram kehidupan masyarakat hari ini.
Wallahu'alam bishowab.
Oleh Ummu Zhafira (Ibu Pegiat Literasi)
0 Komentar