Problema Guru Honorer, Potret Buruknya Pembiayaan Pendidikan


Potret buruknya pembiayaan pendidikan di negeri ini disumbang oleh beberapa aspek. Aspek utamanya yaitu kesejahteraan tenaga pendidik. Tenaga pendidik yang harusnya mendapat apresiasi besar karena tugas dan tanggung jawabnya yang sangat mulia yaitu mencetak generasi unggul penerus bangsa, faktanya dalam negara yang katanya kaya akan sumber daya manusianya justru masih dinilai sebelah mata. Seperti pemberian upah yang tidak sesuai untuk para guru honorer.

Kesejahteraan guru yang berbanding terbalik dengan tugasnya menjadi sangat memprihatinkan dan menjadi PR besar bagi terciptanya pendidikan yang berkualitas. Kesenjangan antara guru ASN dan guru honorer yang dikotak-kotakan pun tampak jelas di bidang pendidikan dalam sistem kapitalis sekuler ini.

Ditinjau dari status kepegawaian, lebih jelas terlihat peran signifikan guru honorer. Saat ini baru 1.607.480 atau (47,8 persen) guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS), sedangkan 62,2 persen sisanya merupakan guru honorer. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, terdapat 3.357.935 guru atau tenaga pendidik. Ini berarti lebih dari setengah jumlah guru yang statusnya masih guru honorer.

Banyaknya guru yang masih berstatus honorer tentunya mengindikasikan makin jauh kesejahteraan yang mereka rasakan, pengabdian panjang pun tak serta merta mendapat apresiasi dan afirmasi dari pemerintah.
Untuk problematika ini, pemerintah baru-baru ini mengadakan pengangkatan sejumlah guru honorer dengan PPPK, yaitu seleksi guru honorer untuk  menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Hal ini tentunya menjadi angin segar bagi guru honorer, tapi faktanya masih jauh dari harapan.

Harapan guru honorer yang sudah mengabdi bertahun-tahun agar bisa mendapat perbaikan nasib, mendapat gaji dan tunjangan yang sesuai seperti pegawai negeri lainnya, namun proses seleksinya ternyata sangat tidak berpihak pada semua guru honorer. Terutama yang sudah berusia lanjut karena adanya batasan usia. Belum lagi passing grade yang tinggi dan teknis seleksi yang masih rumit, tentunya dirasa tidak adil bagi mereka. Bayangkan saja nasib guru honorer yang sudah mengabdi bertahun-tahun pada akhirnya akan kalah dengan guru-guru muda. Sejatinya malah membuat nasib guru honorer makin menyedihkan karena belum tepat sasaran dan menyelesaikan problematika yang ada.

Pun jumlah pengangkatan guru honorer juga terbatas jumlahnya yang sangat tidak memenuhi jumlah guru honorer yang ada. Tentunya PPPK ini lantas tidak menjadi solusi tuntas dalam permasalahan ini, hanya terkesan setengah hati pada guru honorer.
Pengangkatan guru honorer dengan program PPPK menegaskan buruknya sistem hari ini dalam menyediakan layanan pendidikan bagi rakyat, memfasilitasi pendidikan dengan jumlah guru yang memadai dan berkualitas serta membiayai kebutuhan pendidikan termasuk dengan menempatkan terhormat dan menggaji secara layak para pendidik ini.

Selama ini kacamata pembiayaan pendidikan dalam sistem kapitalisme-sekulerisme hanya memandang sebelah mata peran guru dengan mengkotak-kotakannya menjadi guru honorer. Dengan gaji yang mereka peroleh tidak sebanding dengan jasa mereka yang tanpa pamrih.

Problematika dalam lingkaran dunia pendidikan ini pun sebenarnya sudah berlangsung lama, seperti kita ketahui pada 2017, para guru honorer sudah menyampaikan aspirasinya lewat istana negara dengan perjuangan yang luar biasa hingga 2018. Inilah yang menjadi titik awal adanya PPPK sebagai harapan baru untuk para guru honorer dan akhirnya terlaksana di September 2021. Namun ternyata pelaksanaannya pun tidak menyesaikan permasalahan ini. Begitulah potret pendidikan dalam negeri yang menggunakan sistem kapitalis sekuler ini.

Berbeda dengan sistem khilafah yang menempatkan pendidikan sebagai hak dasar publik serta memiliki sistem polotik-ekonomi yang mendukung pembiayaan Pendidikan secara maksimal. Dalam pandangan Islam, pendidikan memegang peranan penting untuk mengantarkan manusia kepada visi asalnya yaitu sebagai hamba Allah dan Khalifah fil Ardh.

Begitulah pendidikan itu dirancang dalam Islam, yang mengindikasikan pendidikan itu sangat penting. Maka semua komponen untuk mewujudkannya harus dimudahkan pelaksanaannya, terutama tenaga pendidiknya.

Dalam Islam tenaga pendidik dibalas jasanya  bukan  hanya sekadar hitung-hitungan materi saja tapi juga perlakuan terhormat dan mulia juga diberikan mengingat tugas mereka yang mulia. Negara bertanggung jawab penuh untuk menjamin kesejahteraan guru. Tanpa mengkotak-kotakan menjadi Guru PNS atau guru honorer seperti pada sistem kapitalis sekuler saat ini.

Sistem upah atau gaji baru berkembang ketika berdirinya sejumlah kekhalifahan Islam di beberapa negara. Misalnya, Abbasiyah di Baghdad (Irak), Fatimiyah di Mesir dan Ottoman di Turki.

Sistem gaji bagi seorang guru baru diperkenalkan pada masa pemerintahan Dinasti Bani Seljuk. JW Draper dalam History of the Conflict menyebutkan madrasah (perguruan) nizamiyah yang didirikan pada masa Khalifah Malik Syah berkuasa adalah institusi pendidikan pertama di masa kejayaan Islam, yang pertama kali menerapkan sistem penggajian kepada para pengajarnya.

Sejarah telah mencatat guru dalam naungan Islam mendapatkan penghargaan yang tinggi dari negara termasuk pemberian gaji yang melampaui kebutuhannya. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dar al- Wadl-iah bin Atha, bahwasanya ada tiga orang guru di Madimah yang mengajar anak-anak dan Khalifah Umar bin Khattab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas; bila saat ini 1 gram emas Rp. 500 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar 31.875.000).

Selain mendapatkan gaji yang besar, mereka juga mendapatkan kemudahan untuk mengakses sarana dan prasarana untuk meningkatkan kualitas mengajarnya. Hal ini tentu akan membuat guru bisa fokus untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM berkualitas yang dibutuhkan negara untuk membangun peradaban yang agung dan mulia.

Kepemimpinan Islam dalam mencetak guru berkualitas tanpa ketergantungan pada asing yang justru merusak kemandirian bangsa telah tercatat dalam sejarah peradaban Islam. Suatu ketika Sulaiman bin Abdul Malik bersama pengawal dan anak-anaknya mendatangi Atha’ bin Abi Rabah untuk bertanya dan belajar sesuatu yang belum diketahui jawabannya.

Walau ulama dan guru ini fisiknya tak menarik dan miskin, tapi dia menjadi tinggi derajatnya karena ilmu yang dimiliki dan diajarkannya. Di hadapan anak-anaknya ia memberi nasihat, “Wahai anak-anakku! Bertakwalah kepada Allah, dalamilah ilmu agama, demi Allah belum pernah aku mengalami posisi serendah ini, melainkan di hadapan hamba ini.” 

Hal ini menunjukkan betapa terhormatnya guru atau orang yang berilmu. Sampai-sampai sekelas khalifah atau kepala negara masa itu harus mendatanginya untuk mendapatkan ilmu serta menasihati anak-anaknya untuk belajar dan menghormati guru.
Maka tidak heran di masa khilafah dijumpai banyak generasi cerdas dan shaleh. Berbagai fasilitas pendukung pendidikan pun dapat dinikmati tanpa beban biaya yang besar. Karena Seorang khalifah menaruh perhatian yang besar dalam dunia pendidikan dan paham syariat Islam tentunya. Pun memahami peran tenaga pendidik sangat penting dalam mencetak peradaban yang unggul.

Dalam hal ini pendidikan dengan sistem Islam terbukti selama 13 abad mampu menjamin kesejahteraan guru dan murid dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas untuk mencetak generasi unggul peradaban mulia.
Dalam pemahaman pragmatis manusia saat ini, pasti berpikir setiap yang bermutu pasti mahal. Tapi, tidak bagi sistem khilafah yang menerapkan syariat Islam secara kaffah (total). Dalam Islam, pos-pos untuk pembiayaan pendidikan negara dikeluarkan dengan maksimal  karena berasal dari baitul mal yang sudah sangat cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan negara, terutama dalam bidang pendidikan, tidak seperti negara dengan sistem kapitalis-sekularis yang saat ini terhambat dengan alasan APBN atau APBD-nya yang tidak mencukupi.

Inilah Islam, ketika diterapkan secara kaffah, rahmatnya akan dirasakan oleh seluruh makhluk. Selama masih diterapkannya sistem rusak kapitalisme-sekuleris, maka tidak akan pernah merasakan pendidikan yang berkualitas, pun kesejahteraan bagi tenaga pendidiknya.[]


Oleh: Misriyaningsih, S.Pd.,
Aktivis Muslimah


Posting Komentar

0 Komentar