Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi setiap manusia, karena pendidikan sangat berperan penting dalam pembentukan kepribadian seseorang. Maju atau mundurnya sebuah negara dilihat dari kualitas pendidikan rakyatnya. Betapa pentingnya pendidikan ini sehingga negara sebagai pihak yang berwenang menyelenggarakan pendidikan dengan menyediakan berbagai fasilitas pendidikan yang dibutuhkan oleh warga negaranya. Hal ini telah termaktub dalam UUD 1945 pasal 31, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang terbaik dan negara yang menjamin pemenuhan atas kebutuhan pendidikan yang merupakan hak warga negara.
Kebijakan negara untuk melakukan pembelajaran tatap muka (PTM), menjadi “angin segar” baik bagi siswa, orang tua dan tenaga pendidik. Karena normalnya aktifitas pendidikan adalah dilakukan di sekolah dan siswa dan guru berada dalam ruang kelas. Walikota Bogor Bima Arya telah mengundang kepala sekolah SMP dan SMA se-kota Bogor untuk membahas terkait persiapan PTM. Kesiapan protokol kesehatan, sistem survelains disekolah dan termasuk kelayakan bangunan fisik sekolah menjadi syarat utama sekolah yang hendak melaksanakan PTM (suarabogor.id, 01/10/2021).
Kebijakan PTM terbatas merupakan instruksi Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim, sejak awal Juli 2021. Kebijakan ini dilakukan karena kekhawatiran peserta didik mengalami ketertinggalan pendidikan (learning loss) selama menjalani pembelajaran jarak jauh. Hal itu akan berimbas pada kualitas SDM Indonesia beberapa tahun kedepan. Nadiem juga menyatakan bahwa 80 hungga 85 persen masyarakat mendukung PTM di sekolah, terutama dari para orangtua.
Beberapa kota di Indonesia sudah melakukan PTM terbatas mulai 4 Oktober 2021. Kota Bogor menjadi salah satu kota yang melaksanakan PTM terbatas di 200 sekolah. Dan untuk mengantisipasi munculnya klaster covid-19 disekolah, maka pemerintah menghimbau agar sekolah yang melakukan PTM memastikan siswa dan tenaga pengajarnya sudah divaksinasi dan menyiapkan berbagai protokol kesehatan yang ketat dan merazia siswa yang berkerumun diluar jam PTM (RadarBogor, 03/10/2021)
Kebijakan PTM terbatas hanya membolehkan 50% peserta didik yang hadir ke sekolah secara berkala. Sedangkan masih banyak sekolah-sekolah, khususnya di daerah pelosok pedesaan yang tidak memiliki bangunan sekolah yang memadai, bahkan ruang kelas yang sempit dengan jumlah siswa yang banyak. Belum lagi sekolah harus menyediakan dana untuk menyiapkan fasilitas kesehatan. Dana BOS yang diberikan pemerintah, itu tidak mencukupi untuk membantu biaya operasional sekolah. Ketidakcukupan biaya operasional inilah, sehingga sekolah terkadang melibatkan para orang tua murid untuk membantu dana operasional. Dan hal ini tentu sangat memberatkan orang tua, apalagi di masa pandemi yang mengakibatkan perekonomian masyarakat semakin sulit.
PTM akan berjalan secara maksimal dan aman, tidak hanya membutuhkan kesiapan sekolah. Karena hanya sekolah-sekolah tertentu yang dapat melaksanakan PTM sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh pemerintah. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah bukan hanya menghimbau sekolah-sekolah untuk melakukan kesiapan secara mandiri untuk pelaksana PTM, tetapi negara sebagai pihak yang berwenang wajib menyediakan anggaran yang dibutuhkan oleh sekolah. Dan memastikan setiap sekolah dapat melaksanakan PTM berjalan dengan baik dan aman.
Negara harus menyediakan anggaran dibutuhkan sekolah untuk keberlangsungan PTM, dengan mengalihkan dana anggaran negara untuk kebutuhan pendidikan bagi rakyatnya. Dana anggaran penyediaan baju dinas anggota DPR, dana anggaran untuk alat fitness para penjabat hingga anggaran renovasi ruang kerja Kemendikbud yang berjumlah milyaran rupiah bisa dialihkan untuk menyediakan sarana dan prasarana sekolah dalam pelaksanaan prokes dan menyediakan bangunan fisik sekolah agar setiap siswa bisa mendapatkan fasilitas pendidikan dengan kualitas dan kuantitas yang sama.
Inilah peran yang harus dilakukan negara. Kehadirannya ditengah rakyat untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi rakyatnya tanpa menimbulkan masalah baru. Namun sayangnya, negara yang berkhidmat pada sistem kapitalisme saat ini, tidak menjalankan tupoksinya sebagaimana mestinya. Malah negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator serta membiarkan rakyatnya secara mandiri menyelesaikan berbagai permasalahannya. Apalagi sejak wabah pandemi melanda, negara tidak hadir dalam mengambil langkah antisipasi untuk melakukan lockdown sehingga bisa mengatasi penyebaran wabah.
Gambaran fakta di atas sangat bertolak belakang dengan sistem Islam (khilafah) yang memberikan jaminan kebutuhan pendidikan bagi seluruh rakyatnya. Karena dalam Islam, pendidikan adalah hajat hidup rakyat yang wajib dipenuhi oleh khilafah. Pendidikan yang berkualitas dengan fasilitas unggul sekaligus berbiaya murah bahkan gratis, adalah potret sistem pendidikan dalam negara khilafah.
Pendidikan bagian dari kewajiban menuntut ilmu yang diperintahkan Allah swt kepada setiap hambanya. Allah swt berfirman,”Niscaya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat”(QS Al Mujadallah : 11). Rasulullah bersabda,”Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim” (HR Ibnu Majah)
Maka negara berkewajiban mendorong siapa saja untuk menuntut ilmu dan menunaikan kewajibannya sebagai seorang hamba. Negara pun berkewajibakan menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai penelitian, buku-buku pelajaran dan sebagainya. Selain intu negara juga menydeiakan tenaga pengajar yang mumpuni dibidangnya, dan memberikan gaji yang layak.
Di masa Khalifah Umar Bin Khattab ra, pernah menggaji seorang guru yang mengajarkan anak-anak kecil di Madinah sebanyak 15 dinar (1 dinar sama dengan 4,25 gram) setiap bulan, sekitar Rp 43.875.000 dengan harga emas Rp 700.000/gram. Dan pada masa Khalifah Al Muntashir Billah di Kota Baghdad, setiap siswa mendapat beasiswa berupa emas satu dinar (4,25 gram emas atau sejumlah Rp 2,975.000). Dan kehidupan kesehariannya dijamin sepenuhnya oleh negara.
Sistem pendidikan dalam khilafah juga ditopang dengan politik ekonomi Islam, pendidikan yang berkualitas dan bebas biaya dapat dirasakan oleh setluruh rakyat tanpa memandang status sosialnya. Negara akan menjamin tercegahnya pendidikan sebagai ajang bisnis atau orientasi ekonomi seperti halnya yang terjadi dalam sistem kapitalisme.
Pelayanan pendidikan yang berkualitas ini bukan hanya didapatkan dalam kondisi normal, bahkan dalam kondisi adanya wabah pandemi pun negara menjamin terpenuhinya pelayanan pendidikan. Bahkan pelayanan pendidikan berkualitas merata baik di kota maupun di desa. Maka negara akan menyediakan berbagai infrastruktur demi keberlangsungan pendidikan rakyatnya. Semua dengan mudah dilakukan oleh negara, karena negara memiliki kas (baitul maal) yakni dari pos fai’ dan kharaj serta pos kepemilikan umum (milkiyah amah) untuk membiayai anggaran pendidikan yang dibutuhkan oleh seluruh rakyatnya.
Sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah Islam baik dari kurikulum dan metodologi pembelajarannya, mampu menghasilkan output pendidikan yang berkualitas pula. Karena yang menjadi tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk generasi yang berkepribadian Islam, faqih fiddin dan terdepan dalam saintek. Peranannya di tengah masyarakat dirasakan baik dalam hal amar ma’ruf nahi mungkar maupun dalam aplikasi keilmuannya.
Sejarah telah mencatat kegemilangan sistem pendidikan di masa kejayaan Islam, yang telah banyak melahirkan para penemu dan polymath dan menjadi pusat peradaban dunia dan rujukan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat terwujud tak lepas dari hadirnya peran negara dalam melaksanakan tupoksinya sebagai pelayan umat. Dan hanya bisa terwujud dalam sistem khilafah Islam bukan sistem yang lain. wallahu a’lam.
Oleh Siti Rima Sarinah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
0 Komentar