Para pengusaha di bidang kesehatan menilai Harga Eceran Tertinggi (HET) tes Polymerase Chain Reaction (PCR) yang diturunkan pemerintah menjadi Rp275 ribu (Jawa-Bali) dan Rp300 ribu (luar Jawa-Bali) cukup memberatkan pelaku usaha kesehatan. Sekretaris Jenderal Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia, Randy H Teguh memprotes, “Rumah sakit, klinik dan lab dapat dikategorikan terdesak. Jika tidak melakukan layanan, mereka akan ditutup, tapi kalau mereka melakukan ya buntung” (Antara, Sabtu (13/11)).
Selama berlangsungnya pandemi, harga HET tes PCR memang terus berubah-ubah. Pada awal pandemi, harga tes PCR tidak dikontrol pemerintah sehingga masyarakat harus membayar hingga Rp2,5 juta untuk melakukan tes usap ini. Pemerintah baru mengontrol HET tes PCR pada Oktober 2020 menjadi Rp900 ribu. Setelah mendapat banyak kritikan dari masyarakat akibat jauhnya perbedaan harga tes PCR di India yang hanya sebesar Rp96 ribu, pemerintah kembali menurunkan harganya menjadi Rp495 ribu–Rp525 ribu. Terakhir, 27 Oktober lalu, pemerintah menurunkan harga menjadi Rp275 ribu–Rp300 ribu.
Meskipun para pengusaha sektor kesehatan mengatakan akan ‘buntung’ dengan penurunan harga PCR, Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah menyebut penyedia jasa tes PCR meraup untung puluhan triliun selama pandemi. Tak tanggung-tanggung, keuntungan penyedia jasa PCR dihitung mulai Oktober 2020 sampai Agustus 2021 mencapai Rp10,46 triliun.
Pengamat ekonomi Fuad Bawazier menilai ada banyak keuntungan di balik bisnis PCR. Perusahaan yang saat ini tengah bangkrut saja beralih menjadi pebisnis PCR karena mendapat limpahan proyek. Apakah benar usaha kesehatan akan ‘buntung’ akibat penurunan harga PCR seperti yang dikeluhkan para pengusaha?
Kebijakan Publik demi Kelancaran Bisnis
Penurunkan harga secara perlahan dan kebijakan yang berubah-ubah dan tidak tentu arah menimbulkan hipotesis bahwa kebijakan yang ada bukanlah untuk kepentingan publik, melainkan untuk kepentingan relaksasi bisnis.
Berdasarkan hasil penelusuran, dari seluruh rangkaian perubahan tarif pemeriksaan PCR sejak awal hingga akhir, tercatat setidaknya lebih dari Rp23 triliun uang berputar dalam bisnis ini dan total Rp70 triliun dari kapitalisasi di industri kesehatan. Jumlah yang begitu menggiurkan sehingga tidak tidak heran jika beberapa nama menteri disinyalir terseret dalam bisnis ini.
Fakta ini tentu tidak mengejutkan, karena dalam sistem kapitalisme hari ini, setiap kebijakan berorientasi pada keuntungan bagi para pemilik modal besar (kapitalis). Namun, hegemoni para kapitalis kini semakin kuat karena di negeri ini, mereka berperan sebagai penguasa sekaligus pengusaha.
Padahal tes PCR sangat mempengaruhi hajat hidup orang banyak, sehingga negara seharusnya mengatur harganya agar terjangkau dan bahkan menyediakan gratis untuk rakyat yang membutuhkan. Dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 termaktub bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai negara hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Nyatanya, pemerintah sendiri yang menyalahi UUD ’45 tersebut.
Setelah rakyat berteriak-teriak, negara baru mulai mengatur tarif PCR setelah pandemi berjalan hampir dua tahun. Parahnya lagi, penurunan tarif PCR baru dilakukan setelah lonjakan kasus menurun dan diperlukan untuk kebutuhan mobilitas. Ini jelas mencerminkan kebijakan publik tidak dibuat dengan mempertimbangkan kesehatan masyarakat, melainkan pemulihan ekonomi.
Ini semua terjadi karena swasta dalam sistem demokrasi memutilasi peran pemerintah, karena dalam sistem kapitalisme, penguasa hanya bertindak sebagai fasilitator dan bukan penanggung jawab setiap urusan rakyat. Baik para pejabat maupun kepalanya, hanya mampu mengimbau agar HET tes PCR dihargai semurah mungkin. Tidak memberi solusi yang benar-benar menyelesaikan berbagai masalah yang timbul di tengah pandemi. Terbukti, selama hampir dua tahun masa pandemi, yang mengendalikan harga adalah pihak swasta. Setelah rakyat menjerit, penguasa baru bertindak meminta pihak-pihak terkait menurunkan harga. Rakyat kembali harus menerima kenyataan pahit ini, kepemimpinan kapitalistik selalu berlepas tangan dalam mengatasi masalah yang terjadi.
Kunci Meraih Kesehatan dan Kesejahteraan
Dalam sistem Islam, negara wajib memelihara hajat hidup rakyat. Sektor penting seperti kesehatan tidak boleh dikendalikan oleh swasta. Pelayanan kesehatan gratis dan berkualitas harus diberikan kepada rakyat, sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah SAW dalam menjamin kesehatan rakyatnya dengan mengirimkan dokter kepada rakyat yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya sendiri. (An-Nabhani, Muqadimmah ad-Dustur, II/143). Tidak seperti sekarang saat pemerintah melepas tanggung jawabnya dan mengalihkannya kepada swasta, sehingga rakyat harus membayar harga mahal untuk mendapatkan hak mereka.
Negara Islam yang berlandaskan akidah Islam juga tidak hanya menjamin kesehatan warganya. Akidah Islam menegaskan penerapan hukum Islam secara totalitas oleh khilafah merupakan kunci yang akan menghadirkan rahmat bagi semesta alam secara riil. Dengan rahmat ini, akan terwujud keadilan dan kesejahteraan.
Kesejahteraan adalah konsekuensi logis dari keadilan ekonomi Islam yang khilafah terapkan, yaitu ketika semua kebutuhan pokok (primer) setiap individu masyarakat terpenuhi, serta adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai kemampuan mereka. Sehingga setiap kebutuhan rakyat terpenuhi.
Tidak ada perbedaan bagi rakyat atau pun pejabat. Khalifah dan jajarannya bertanggung jawab penuh atas periayahan umat atas dorongan takwa yang juga menjaga mereka dari berlaku zalim terhadap rakyatnya. Dengan demikian, pemimpin adil dan taat, yang memperhatikan dan memenuhi kebutuhan rakyat hanya akan diraih dengan menegakkan negara Islam, Daulah Khilafah. Karena yang mereka kejar bukanlah laba, melainkan ridha Allah SWT.
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, “Sungguh, manusia yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah ialah pemimpin yang adil. Orang yang paling dibenci Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah ialah pemimpin yang zalim” (HR Tirmidzi).[]
Oleh Ria Anggraini, S.Hum.,
Aktivis Dakwah
0 Komentar