Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN, Erick Thohir, dipolisikan atas dugaan keterlibatan bisnis tes Polymerase Chain Reaction (PCR). Keduanya dilaporkan oleh Ketua Majelis Jaringan ProDemokrasi (ProDem), Iwan Sumule ke Polda Metro Jaya (kompas.com, 16/11/2021).
Bersamaan dengan itu, Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) juga melakukan hal yang sama. Wakil Ketua Umum PRIMA, Alif Kamal mengatakan bahwa pelaporan ini dilakukan karena dugaan bisnis tes PCR tersebut membuat masyarakat kesulitan di tengah pandemi Covid-19 (voi.id, 4/11/2021).
Meskipun sebelumnya sempat ditolak karena miskomunikasi, laporan tersebut akhirnya diterima oleh Polda Metro Jaya. Iwan menjelaskan, perusahaan Luhut memiliki saham di PT GSI. Demikian juga dengan Erick Thohir. Di mana, kakak kandungnya mendapatkan proyek pengadaan tes PCR.
Karena itu, patut diduga Luhut dan Erick melanggar Pasal 5 ayat 4 junto Pasal 21 dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
"Sudah jelas bahwa Luhut sebagai penyelenggara negara, tapi kemudian dia berada dalam perusahaan yang mendapat proyek PCR. Selain itu, diakui oleh Pak Luhut sendiri bahwa dia memiliki saham, juga mendapat keuntungan. Jadi jelas, unsurnya itu terpenuhi," terang dia (liputan6.com, 16/11/2021).
Dalam catatan Katadata.co.id, 11/11/2021 ada dua perusahaan besar yang menjalankan bisnis melalui skema kerja sama dengan pemerintah, yakni PT Daya Dinamika Sarana Medika (DDSM) dan PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI). Direktur Business Development DDSM Wahyu Prabowo mengakui sebagian besar klien mereka merupakan pemerintah. Wahyu mengatakan selain DSDM, perusahaan tes PCR yang kerap bekerja sama dengan pemerintah adalah PT GSI. GSI disinyalir kedekatannya dengan dua menteri tersebut.
Sementara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mempersilakan aparat penegak hukum untuk mengusut ada tidaknya tindak pidana terkait bisnis tes PCR tersebut. Dia meminta untuk segera teliti, hitung dan audit (kompas.com, 14/11/2021).
Isu ini menguat ketika publik cukup dikagetkan dengan beberapa perubahan harga alat tes Covid ini. Pada awal pandemi Covid-19, harga PCR yang menyentuh harga Rp2,5 juta sangat menyulitkan masyarakat. Namun belakangan, ada beberapa kali perubahan mulai kisaran Rp1,2 juta, Rp800 ribu, Rp495 ribu dan kini menjadi Rp275 ribu untuk Pulau Jawa dan Bali. Sementara wilayah luar Jawa dan Bali menjadi Rp300 ribu. Dengan fluktuasi harga yang cepat sekali, terutama ketika kasus Covid turun akhir-akhir ini, menjadikan besarnya kecurigaan selama ini.
Namun, kecurigaan itu ditepis oleh Bio Farma. Direktur Utama Bio Farma, Honesti Basyir menyampaikan bahwa berubahnya harga tes PCR ini berkaitan erat dengan faktor supply dan demand. Di awal pandemi, alat untuk melakukan tes PCR dan juga laboratoriumnya juga masih sangat terbatas, sehingga turut mempengaruhi harga layanan. Saat mesin PCR pertama didatangkan Bio Farma yang kemudian diserahkan kepada Rumah Sakit.
Pertama, SDM yang mengoperasikan mesin tersebut juga harus dilatih terlebih dahulu. Sementara itu, di laboratorium swasta, saat itu juga belum banyak yang bisa mengoperasikannya. Dalam perjalanannya, akhirnya semakin diketahui struktur biaya yang paling efisien agar para pemain di bisnis tes PCR juga tidak merugi (Beritasatu.com, 9/11/2021).
Merdeka.com, 11/11/2021, melansir bahwa idealnya penertiban harga tes PCR sudah dilakukan sejak awal pandemi. Mengingat PCR sangat dibutuhkan pemerintah dalam melakukan tracing. Sebagaimana disampaikan anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Herryawan, ketika DPR menggelar rapat dengan pemerintah, dia merasa heran, mahalnya harga PCR tidak ditindaklanjuti. Baru belakangan ini, setelah 1,5 tahun Indonesia dilanda pandemi.
Mahalnya harga PCR membuatnya mempertanyakan political will pemerintah dalam penanganan Pandemi Covid-19. Termasuk pengawasan yang longgar dalam menyikapi tidak seragamnya harga tes PCR di fasilitas kesehatan publik. Wajar kiranya muncul sinyalemen ada penumpang gelap, mafia atau pemburu rente.
Bahkan, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan, tergabung pula ICW, YLBHI, LaporCovid-19 dan Lokataru, pada 31 Oktober 2021 lalu, mengungkap dari seluruh rangkaian perubahan tarif pemeriksaan PCR sejak awal hingga akhir. Koalisi mencatat setidaknya ada lebih dari Rp23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut. Diprediksi total potensi keuntungan yang didapatkan adalah sekitar Rp10 triliun lebih. Ketika ada ketentuan yang mensyaratkan penggunaan PCR untuk seluruh moda transportasi, perputaran uang dan potensi keuntungan yang didapatkan tentu akan meningkat tajam (pikiranrakyat.com, 4/11/2021).
Katadata.com,11/11/2021 menyebutkan pada awal pandemi kisaran Maret-April 2020, keuntungan dari tes PCR mencapai 300 - 500 kali lipat. Bisa dibayangkan sekarang turun lebih dari separuh masih mungkin meraup keuntungan sekali tes, kisaran 150 kali lipat, sekalipun nantinya harga tes PCR turun hingga Rp195 ribu nantinya pengusaha masih bisa meraih keuntungan.
Ketika kita telisik lebih jauh teori supply dan demand memang sangat berpengaruh dalam kasus bisnis PCR ini. Supply dan demand adalah aktivitas inti dalam kegiatan ekonomi kapitalis, tidak peduli bahwa barang atau jasa tersebut sangat dibutuhkan rakyat termasuk dalam kondisi darurat.
Ekonom senior Faisal Basri mengingatkan agar Badan usaha milik negara (BUMN) jangan 'mengambil kesempatan dalam kesempitan' di tengah pandemi virus Corona. Maksudnya, BUMN jangan menjadikan bencana kesehatan yang terjadi saat ini menjadi peluang bisnis karena itu kezaliman negara untuk rakyatnya (Finance.detik.com,23/12/2020).
Maka, tidak dibenarkan jika negara hanya memposisikan diri sebagai pelaku ekonomi, bukan pelayan bagi rakyat. Negara mengambil peluang bisnis terkait hajat rakyat, tidak peduli suasana pandemi atau bukan. Selama ada permintaan, maka ada penawaran. Kalau demand tinggi supply rendah, maka harga mahal. Sementara jika supply tinggi, demand rendah, maka harga murah.
Inilah fakta yang terjadi sekarang di dunia. Ketika kapitalisme sudah menjadi haluan kehidupan, maka profit akan menjadi hitungan. Rakyat yang seharusnya diurus dan dilayani, justru menjadi pasar yang sangat menguntungkan bagi kepentingan pengusaha yang sekaligus merangkap penguasa.
Kontan.co.id merilis, beragam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebagai wakil negara hingga kini masih menunjukkan ketidakberpihakan kepada rakyat. Tindakan, pilihan, strategi, atau keputusan terkait ekonomi yang seharusnya untuk kebaikan bersama, kini telah disalahgunakan untuk kesejahteraan segelintir orang.
Kongkalikong antara pelaku ekonomi dan aktor politik serta penguasa tidak luput telah melahirkan tatanan ekonomi yang hanya menguntungkan kepentingan diri dan kelompok, tanpa memperdulikan kepentingan rakyat banyak. Salah satu contohnya adalah proyek PCR di tengah pandemi Covid melanda.
Begitulah potret kehidupan kapitalistik, kondisi yang sangat berbeda dengan Islam. Dalam Islam, negara adalah pengurus urusan rakyatnya. Kesejahteraan rakyat adalah yang utama termasuk kesejahteraan masing-masing individu warga negara, terlebih dalam keadaaan darurat kesehatan. Dalam masa kekuasaan Islam, kesehatan selalu digratiskan untuk seluruh warga negara.
Bagaimana dulu ketika Rasulullah SAW diberi hadiah seorang dokter dari Raja Mesir, maka Rasulullah menjadikan dokter itu adalah dokter untuk umat Islam semua. Pada zaman pertengahan, hampir semua kota besar dalam Daulah Islam memiliki rumah sakit.
Di Kairo, rumah sakit Qalaqun dapat menampung hingga 8000 pasien. Rumah sakit ini juga sudah digunakan untuk pendidikan universitas serta untuk riset. Rumah Sakit ini juga tidak hanya untuk yang sakit fisik, namun juga sakit jiwa. Rumah-rumah sakit ini bahkan menjadi favorit para pelancong asing yang ingin mencicipi sedikit kemewahan tanpa biaya, karena seluruh rumah sakit di Daulah Islam saat itu bebas biaya.
Demikianlah tanggung jawab negara terkait pelayanan kepada rakyat. Bukan menjadikan rakyat sebagai lahan bisnis, tetapi diurusi, dicukupi semua kebutuhannya dan disejahterakan, Wallahu a'lam bi asshawwab.
Oleh Hanin Syahidah
0 Komentar