Krisis iklim semakin terasa di bagian dunia mana pun. Banyak pakar menganggap krisis iklim adalah bom waktu terjadinya kiamat ekologis. Banjir terjadi di mana-mana, suhu udara meningkat, kebakaran hutan tak terelakkan, tiap hari ada saja berita baru mengenai krisis iklim yang umat manusia alami. Awal November ini akhirnya para pejabat dan tokoh penting dari berbagai penjuru dunia, bertemu di Glasgow, Skotlandia, Ingagris Raya, untuk KTT Perubahan Iklim PBB atau yang disebut Conference of the Parties (COP26).
Sekitar 25.000 orang hadir di Glasgow, terdiri dari perwakilan pemerintah lebih 190 negara, perwakilan pegiat lembaga swadaya masyarakat, perwakilan dunia usaha, hingga para tokoh adat dari banyak suku di dunia. Tujuan utamanya agar suhu bumi bisa dibatasi kenaikannya pada 1,5°C pada 2100 atau paling tinggi 2°C. Tema utama pertemuan kali ini adalah apa yang bisa dilakukan pemerintah di seluruh dunia agar perubahan iklim tidak membawa dampak yang sangat merusak bagi bumi dan manusia. Namun saat ini upaya untuk mempertahankan suhu 1,5°C disebut sejumlah ilmuwan sudah sulit. Berdasarkan rencana yang ada saat ini, dunia akan melebihi suhu 1,5°C dalam beberapa puluh tahun dan mencapai 2,7°C-3°C pada akhir abad ini.
Sayangnya sekali pun banyak negara yang ikut serta dalam COP26 di Glasgow, realita menunjukkan tiap negara punya kepentingan masing-masing. baik untuk menunda tenggat pencapaian emisi zero, menghalangi ekspansi industri negara lain, atau pun tidak melaksanakan komitmen sebelumnya. Pada COP26 di Glasgow kemarin, gagal melibatkan Cina, India dan AS untuk mengurangi konsumsi batu bara. Padahal, tahun 2020 silam, Cina tercatat mengonsumsi 54,3 persen batu bara di dunia. Adapun India berada di urutan kedua dengan 11,6%. Sementara Amerika Serikat yang juga menolak ratifikasi, menyerap sebesar 6,1% kapasitas batu bara dunia.
Selain 3 negara tersebut, ada Uni Eropa, Rusia, Jepang dan Brazil yang juga bertanggung jawab atas pemanasan global sebagai dampak dari industrialisasi dan globalisasi. Sebelumnya di tahun 2009, 35 negara-negara maju berjanji menyediakan US$100 miliar per tahun untuk negara-negara berkembang, Negara-negara maju tersebut antara lain: Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Australia, Selandia Baru, Kanada, Spanyol, Jepang, Italia, dan lain-lain.
Dana tersebut seharusnya telah disampaikan pada 2020, tetapi hingga 2021 pun mereka baru bisa menyisihkan US$79 miliar, dan sebagian besar berupa utang yang nanti harus dikembalikan, bukan hibah.
Pada Perjanjian Paris tentang perubahan iklim (COP21), negara-negara diminta memperbarui rencana pengurangan karbon mereka setiap lima tahun. Namun PBB mengatakan dari 191 negara yang mengambil bagian dalam Perjanjian Paris, hanya 113 negara yang sejauh ini memperlihatkan kerja yang lebih baik. Menurut World Resources Institute and Climate Analytics menyoroti bagaimana Cina, India, Arab Saudi, dan Turki belum menyerahkan rencana terbaru mereka padahal merekalah yang bertanggung jawab atas 33% gas rumah kaca global. Sementara emisi Brazil, Meksiko, dan Rusia malah akan meningkat dan tidak menyusut.
Dikutip dari hasil penelitian Oxfam, Institut Lingkungan Stockholm dan Institut Kebijakan Lingkungan Eropa, emisi orang-orang super kaya 30 kali lebih tinggi dari yang dibutuhkan untuk menghentikan planet dari pemanasan di atas 1,5°C. Hal ini disebabkan orang-orang super kaya memiliki banyak rumah, jet pribadi, dan super yacht yang mengeluarkan emisi jauh lebih banyak daripada yang lain.
Sebuah studi baru-baru ini yang melacak perjalanan udara para selebriti melalui akun media sosialnya juga menemukan sejumlah emisi lebih dari 1000 ton setiap tahun. Tetapi, kelompok 1% secara global itu bukan hanya miliarder, atau bahkan jutawan saja. Dalam kasus ini, termasuk siapa saja orang yang berpenghasilan lebih dari $172.000 (sekitar Rp2,5 miliar) per tahun. Studi ini juga mengamati 10% orang-orang sangat kaya di dunia atau siapa pun yang berpenghasilan lebih dari $55.000 (sekitar Rp790 juta) dan menemukan kalau emisi yang dikeluarkan mereka masih tinggi. Mereka mengeluarkan karbon sembilan kali lebih banyak. Laporan Oxfam menemukan bahwa malah 40% kelompok menengah yang melakukan upaya paling banyak untuk mengekang emisi.
Disoroti bahwasanya pemerintah sangat perlu berbuat lebih banyak agar menyerukan larangan dan pemberlakuan pajak tinggi atas barang mewah padat karbon, rumah mewah, mobil SUV atau wisata luar angkasa. Oxfam menutup laporan dengan mengatakan orang-orang kaya atau super kaya sangat bertanggung jawab atas krisis iklim.
Tragisnya orang-orang miskinlah yang membayar dampak harga tertinggi atas krisis ini. Negara-negara termiskin yang paling rentan terhadap kenaikan permukaan laut, suhu udara, dan kekeringan ekstrem. Sungguh miris, ternyata orang-orang kaya atau super kaya ini menjadikan kekayaan mereka sebagai golden ticket untuk memenuhi nafsu materialistik mereka. Mereka dengan gampang berkampanye soal menjaga alam tapi tidak diiringi dengan tindakan keseharian mereka yang mengurangi gaya hidup materialistik.
Alkisah dahulu Rasulullah selalu mengingatkan para sahabat agar menjaga lingkungan. Pun pada saat akan melakukan perang, Rasulullah memerintahkan agar tidak menebangi pohon dan merusak lingkungan. Hal ini pun disambut baik oleh para sahabat, karena mereka menyadari hakikat dari firman Allah, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia” (QS ar-Ruum: 41).
Di dalam Al-Qur’an surah al-A’raf ayat 56 Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya.” Mengutip tafsir oleh Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah, maksud ayat tersebut agar kita tidak membunuh manusia, menghancurkan rumah-rumah, membunuh hewan-hewan dan menebang pepohonan, dan mengeringkan sungai-sungai. Dan termasuk berbuat kerusakan di muka bumi juga, kafir terhadap Allah, terjerumus ke dalam kemaksiatan, dan tidak menjalankan aturan sesuai syariat setelah ia ditentukan dan ditetapkan.
Dari fakta-fakta yang sudah mencuat di publik, bisa diasumsikan hal-hal yang lahir dari kapitalisme tidak akan mampu mengurai masalah lingkungan. Ini disebabkan karena kapitalisme selalu mengutamakan keuntungan materi yang bersifat pribadi tanpa memikirkan keberlangsungan bersama. Konferensi-konferensi yang dilakukan pun bisa saja hanyalah basa-basi gengsi belaka, karena sistem kapitalisme ini mewadahi berbagai kepentingan korporasi tertentu.
Berbeda sekali dengan Islam yang menyelesaikan masalah secara sistematik dan satu-satunya kepentingan yang dicari semata beribadah kepada Allah. Islam memiliki konsep kepemilikan, yakni individu, umum dan negara. Konsep tersebut menjadikan pemerintah tidak bisa sembarangan menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum dan negara kepada suatu pihak atau individu tertentu, seperti pengelolaan lahan hutan, laut, dan sebagainya. Hal tersebut menjadi tindakan preventif agar tidak terjadi eksploitasi lingkungan yang akhirnya berdampak pada kerusakan alam.
Selain itu, penerapan ekonomi dan politik sesuai syariat Islam akan dapat merinci prioritas berdasarkan kepentingan umat. Tiap individu diberikan edukasi terhadap pentingnya menjaga pemberian Allah di muka bumi ini, sebagaimana para sahabat di masa lalu yang mendengarkan perkataan Rasulullah untuk menjaga lingkungan dan meresapi firman Allah SWT.[]
Oleh Dyandra Verren
0 Komentar