Eiger Adventure Land, Untuk Rakyat atau Untuk Konglomerat?



PT Eigerindo MPI atau lebih dikenal brand EIGER melebarkan sayap bisnisnya dengan membangun kawasan ekowisata Eiger Adventure Land (EAL) yang terletak di kaki Gunung Pangrango, Kabupaten Bogor. EAL direncanakan mulai beroperasi dan dibuka untuk umum pada tahun 2023. Ekowisata tersebut didukung dan dibantu oleh pihak-pihak terkait seperti Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), PT Perkebunan Nusantara VIII (PTPN VIII), dan Pemprov Jawa Barat, (Suara.com, 18/10).

Menjamurnya komersialisasi ekowisata di Kabupaten Bogor, dikarenakan letak geografis kondisi alam yang menawan berupa pegunungan dan lahan terbuka hijau. Tak heran jika komersialisasi ekowisata akan banyak ditemukan. Komersialisasi ini bertujuan untuk meningkatkan sektor ekonomi. Bahkan digadang-gadang mampu memutar roda perekonomian rakyat pedalaman. Karena komersialisasi ekowisata akan menarik kedatangan wisatawan domestik maupun mancanegara sehingga membuka peluang peningkatan pendapatan.

Menparekraf Sandiaga Uno pun mengandalkan ekowisata untuk membangkitkan kembali ekonomi kreatif di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor. Terlebih kawasan Puncak memiliki sejumlah tempat ekowisata seperti Agrowisata Gunung Mas PTPN VIII dan Eiger adventure land yang sangat berpotensi membangkitkan ekonomi, (Radar Bogor, 18/10).
Eiger Adventure Land akan memiliki jembatan gantung terpanjang di dunia sepanjang 530 meter yang melebihi jembatan Arounca Bridge Portugal sebagai iconic landmark-nya. Selain itu ada beberapa landmark seperti kereta gantung dengan panjang 835 meter serta petualangan di iklim tropis seperti petualangan tropis, jalan-jalan budaya, hutan, desa tradisional, permainan ruang terbuka, tempat penginapan dengan nuansa alam, jelajah nusantara, hingga naik gunung.

Landmark tersebut juga dibangun sesuai dengan misi Eiger Adventure Land, yakni membangun pariwisata alam berstandar internasional yang berkontribusi dalam pelestarian alam dan budaya, juga meningkatkan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat. Serta mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi daerah yang sejalan dengan tujuh aspek utama EAL yaitu aspek ekologi, etnologi, ekonomi, edukasi, estetika, etika dan entertainment. (Radar Bogor, 17/10).

Tak ketinggalan dukungan dari Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, yang ikut meninjau lokasi pembangunan Eiger Adventure Land (23/10). Ridwan Kamil mengatakan, kehadiran Eiger Adventure Land dapat berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang akan berdampak positif untuk ekonomi Jabar. Dengan adanya wisata alam yang memiliki jembatan gantung terpanjang di dunia, pariwisata Jabar siap bangkit, (Harapanrakyat.com, 25/10).

Ekonomi kreatif khususnya pariwisata alam menjadi harapan baru untuk bangkit pasca Corona. Ekowisata memiliki daya tarik tersendiri, yang menjadikannya banyak dieksploitasi untuk komersialisasi. Sayangnya, komersialisasi ekowisata ini sering kali meninggalkan luka, baik bencana setelahnya -longsor atau banjir-, atau "ganti untung" yang kadang justru merugikan, saat lahan warga terkena proyek pembangunan wisata. Bahkan luka sosial karena pariwisata seringkali menjadi simpul maksiat, menjadi tempat muda-mudi ber-khalwat, beredarnya minuman keras, serta berbagai hiburan lain yg jauh dari syari’at.

Kawasan Eiger Adventure Land berada di lahan seluas 325,89 Ha yang terdiri dari lahan PTPN VIII dan Zona Pemanfaatan Barubolang Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Izin pengelolaan lahan tersebut lewat akad hak guna usaha (HGU) dan skema perjanjian kerjasama.

Cengkraman kuat penerapan kapitalisme saat ini membuat komersialisasi terhadap ekowisata menjadi sah-sah saja. Walau dengan tabiat keuntungan -materi- diatas segalanya. Karena sandaran yang digunakan adalah siapa yang memiliki uang/modal, boleh memiliki apa saja. Tanpa mempertimbangkan lingkungan sekitar atau hak kepemilikan, akibat dari kebebasan yang dijamin negara.

Maka, privatisasi lahan milik umum sangat mudah didapatkan oleh individu. Begitu pula swastanisasi pengelolaan gampang diperoleh pihak swasta yang memiliki modal besar. Hanya perlu legalitas sebagai perizinan. Baik lewat perjanjian kerjasama maupun hak guna usaha, ekowisata menjadi legal dimiliki dan dikelola.
Padahal lahan tersebut seharusnya milik rakyat yang dimanfaatkan oleh rakyat tanpa ada sekat penghalang dalam pemanfaatannya. Maka, saat lahan tersebut dikontrak oleh Eiger Adventure Land, masyarakat tidak diperbolehkan untuk memanfaatkannya lagi. Itulah wujud nyata kapitalisme. Dimana siapa yang memiliki modal -kapitalis- bisa memutuskan dan menghalangi pemanfaatkan lahan rakyat.

Tentu saja hal ini berbeda 180 derajat dengan Islam. Dimana cagar alam, taman nasional, dan sejenisnya merupakan kepemilikan umum (public ownership). Yang pemanfaatannya dinikmati oleh komunitas masyarakat tanpa kecuali. “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api” HR. Abu Dawud dan Ahmad.  Maka ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu, pengelolaannya wajib dilakukan oleh negara. Tentu saja menjadi keharaman saat kepemilikan umum ini diprivatisasi (dimiliki oleh individu) yang membuat masyarakat lain terhalang untuk memanfaatkannya. Juga diswastanisasi saat pengelolaannya diambil alih oleh pihak swasta.

Pandangan Islam terhadap pariwisata berbeda dengan Kapitalisme. Dimana Islam memiliki kekhasan dalam memahami dan mengoptimalkan kawasan pariwisata. Baik melihat dari aspek objek wisata dan subjek wisatawan, Islam juga memiliki tujuan yang berkaitan erat dengan aqidah Islam sendiri.
Berdasarkan aspek objek wisata terdapat objek wisata alam, peninggalan sejarah Islam, dan peninggalan sejarah peradaban lain. Pertama, objek wisata alam dengan keindahan alamnya bukan hanya dijadikan sebagai tempat memanjakan mata. Tetapi ada tujuan utama dibaliknya, yakni menanamkan kesadaran akan Maha Besar Allah SWT yang menciptakannya dengan sangat indah.

Kedua, objek wisata berupa peninggalan sejarah peradaban Islam dijadikan sebagai sarana untuk memahamkan sejarah dan keanggunan peradaban Islam yang gemilang kepada wisatawan yang sedang berkunjung. Bukan hanya mengagumi bangunannya saja, melainkan terdapat motivasi bagaimana Islam bisa melahirkan peninggalan agung tersebut.

Ketiga, objek wisata berupa peninggalan sejarah peradaban lain yang merupakan tempat peribadatan dan bukan tempat peribadatan. Jika tempat tersebut merupakan tempat peribadatan agama lain dan masih digunakan, maka akan dibiarkan. Namun, jika sudah tidak digunakan lagi maka akan ditutup. Sedangkan bukan tempat peribadatan maka akan ditutup, dihancurkan, atau diubah. Tidak ada penggunaan tempat tersebut dengan dalih pariwisata.

Berdasarkan aspek subjek wisatawan terdapat wisata muslim dan non muslim. Bagi wisatawan muslim obyek wisata digunakan untuk mengokohkan keyakinan mereka kepada Allah, Islam, dan peradabannya. Sedangkan bagi wisatawan non muslim obyek wisata digunakan sebagai sarana untuk menanamkan keyakinan mereka kepada Kemahabesaran Allah, juga untuk menunjukkan keagungan dan kemuliaan Islam, umat Islam, dan peradabannya.

Pengoptimalan obyek wisata bisa menjadi sarana dakwah dan di’ayah. Dakwah menuju keimanan kepada Allah, melalui ketakjuban akan keindahan ciptaan Allah, sehingga tumbuh keyakinan dan ketundukan kepada sang Pencipta. Di’ayah (propaganda) dengan menyaksikan secara langsung peninggalan sejarah peradaban Islam, sebagai bukti yang tak terbantahkan lagi. Maka siapapun yang sebelumnya tidak yakin akan disa diyakinkan dan menjadi yakin akan keagungan dan kemuliaan Islam, umat dan peradabananya.

Inilah perbedaan yang sangat mendasar antara sistem Khilafah Islam dan sistem Kapitalisme dalam hal pariwisata, yang menjadikan terjadinya perbedaan kebijakan masing-masing. Jika negara kapitalis menjadikan pariwisata sebagai sumber perekonomiannya. Apapun akan dilakukan demi kepentingan ekonomi dan bisnis. Dan membiarkan terjadinya berbagai praktik kemaksiatan.

Berbeda dengan  Khilafah Islam menjadikan pariwisata sebagai sarana dakwah dan propaganda, maka Khilafah tidak akan mengeksploitasi pariwisata untuk kepentingan ekonomi dan bisnis dalam membiayai perekonomiannya. Karena Khilafah memiliki sumber utama pemasukan negara yaitu pertanian, perdagangan, industri, dan jasa. Selain itu ada juga sumber lain seperti zakat, jizyah, kharja, fai’, ghanimah, dan dharibah. Kebijakan-kebijakan Khilafah memang selalu menunjukkan keagungan, karena memang datang dari dzat yang Maha Agung.

Lantas, kebanggaan akan adanya jembatan gantung terpanjang atau ekowisata berstandar internasional hanya kebanggaan semu. Akibat pariwisata hanya dijadikan sebagai tempat penghasil rupiah yang minus visi misi peradaban. Bahkan bisa menjadi tempat maksiat akibat kebebasan yang justru menimbulkan dosa. Satu-satunya jalan untuk mengoptimalkan pariwisata adalah menerapkan sistem Islam dalam bingkai Khilafah, dimana pariwisata akan diatur sedemikian mulia hingga memancarkan pesona Islam ke seluruh dunia. Wallahu'alambisawab.


Oleh Anita Irmawati
(Pengamat Kebijakan Publik)

Posting Komentar

0 Komentar