Galau, Tarik Ulur GLOW



Polemik eduwisata malam hari di Kebun Raya Bogor (KRB) terus bergulir. Setelah menuai penolakan dari para mantan pengelola, budayawan, hingga warga Bogor yang tertuang dalam berbagai tulisan, surat, hingga petisi online, akhirnya Walikota Bogor, Bima Arya Sugiarto, mengeluarkan surat pernyataan sikap pada Kamis, 28 Oktober 2021. Dalam surat itu, beliau menyatakan permintaan agar aktivitas GLOW dihentikan selama proses evaluasi berlangsung. https://www.radarbogor.id/2021/10/28/bima-minta-aktivitas-glow-krb-dihentikan-hasil-kajian-sudah-keluar/

Selanjutnya, Walikota Bogor menyerahkan keputusan apakah atraksi malam GLOW dilanjutkan atau tidak kepada BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) serta masukan dari Pemkot Bogor. Karena KRB berada dalam kewenangan BRIN. Padahal, Pemkot sudah menerima hasil kajian cepat dari Tim IPB University. Dalam kajian itu ditemukan bahwa menurut data yang ditemukan, aktivitas GLOW pada malam hari akan berpotensi lmemberikan dampak pada ekosistem. Tidak hanya di KRB tapi Kota Bogor pada umumnya.

Dalam hal ini, Bima Arya meminta kepada BRIN dan PT Mitra Natura Raya (MNR) selaku pihak swasta yang diberikan ijin untuk mengelola KRB agar melakukan evaluasi secara keseluruhan terhadap konsep GLOW dan pengelolaan KRB bersama-sama dengan pihak IPB University. Pak Walikota pun berpesan kepada BRIN agar semua kebijakan terkait pengelolaan KRB harus sesuai dengan kearifan lokal dan masukan dari Pemkot.

Jika dicermati, sejauh ini belum ada keputusan yang tegas mengenai GLOW. Pemkot sebagai representasi penguasa pengurus warga Bogor terlihat galau dan menyerahkan keputusan pada pihak lain yaitu BRIN. Padahal penolakan sudah terjadi dimana-mana. Hasil riset pun sudah ada. Potensi tarik ulur aktivitas GLOW bisa saja terjadi. Ditarik ketika banyak yang protes. Dan diulur ketika mereda. Atau kompromi dijadikan jalan pengambilan solusi. Aktivitas GLOW tetap jalan tapi dengan penyesuaian. Sebagaimana biasanya yang terjadi di alam penerapan kapitalisme ini.

Sebenarnya polemik semacam ini tidak perlu terjadi. Jika penguasa yang mengampu KRB yakni Pemkot Bogor dan LIPI ataupun BRIN tidak menyerahkan pengelolaan KRB pada pihak swasta. Walaupun aspek wisatanya saja. PT MNR merupakan pihak swasta. Tabiatnya perusahaan swasta adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Dan ini bertentangan dengan marwah KRB yang diceritakan dalam surat terbuka dengan judul “Menjaga Marwah Kebun Raya”. Dalam surat yang digagas oleh mantan Kepala Kebun Raya Indonesia yang terdiri dari Prof. Dr. Made Sri Prana, Prof. Dr. Usep Soetisna, Dr. Ir. Suhirman, Prof. Dr. Dedy Darnaedi, dan Dr. Irawati menyatakan bahwa marwah KRB adalah menjadi tempat konservasi alam dan edukasi yang tidak komersil. https://www.radarbogor.id/2021/09/27/menjaga-marwah-kebun-raya-bogor-stop-komersialisasi-krb/

Seharusnya, lahan tempat konservasi alam yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia diproteksi oleh negara dan tidak diserahkan kepemilikannya atau pengelolaannya pada swasta. Dalam hal ini Kebun Raya adalah lahan milik umum yang bisa diproteksi oleh negara. Karena dia menyangkut kemaslahatan umat. Dan bentuk penguasaan seperti ini diperbolehkan dalam Islam.

Dalam buku “Sistem Keuangan Negara Khilafah” karya Syaikhuna Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa diriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Sha’bi bin Jatsamah, dia berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak ada penguasaan (pemagaran) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya”. Makna dari “Tidak ada penguasaan (pemagaran) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya” adalah tidak boleh ada penguasaan/pemagaran kecuali dilakukan oleh negara seperti yang dilakukan oleh Allah dan RasulNya. Hal tersebut dilakukan untuk keperluan jihad, menyantuni fakir miskin, serta untuk kemaslahatan umat secara keseluruhan. Ini berbeda dari penguasaan/pemagaran yang terjadi pada masa jahiliyah, dimana penguasa melakukannya untuk kepentingan pribadi.

Hanya saja, Rasul Saw. dan para pemimpin kaum muslim setelahnya (Khalifah) pada saat itu menerapkan syariat Islam secara kaffah (utuh menyeluruh) dalam naungan sistem pemerintahan khilafah. Maka mereka dapat melakukan proteksi tadi. Dalam penerapan sistem ekonomi kapitalis demokrasi saat ini, hal demikian tak mungkin terjadi. Karena dalam sistem ini individu (swasta) bisa bebas memiliki seluruh alat produksi dan kendalikan jalur distribusinya. Termasuk lahan-lahan konservasi yang dianggap bisa mendatangkan pundi-pundi kekayaan. Sedangkan negara menjamin kebebasan itu dengan berbagai regulasi.

Sampai di sini jelas, jika ingin menuntaskan sengkarut GLOW ini hingga keakar-akarnya, maka kita harus berani berpikir out of the box. Berpikir untuk merevolusi tatanan hidup sekuler kapitalis ini. Berpikir untuk melakukan perubahan mendasar hingga ke asas kehidupan. Berpikir untuk beralih dari sistem sekuler kapitalis kepada sistem Islam kaffah dalam naungan khilafah. Wallahu a'lam bishshowab. []


Oleh: Rini Sarah


Posting Komentar

0 Komentar