Berapa jam anak-anak kita dan remaja hari ini umumnya betah bergumul dengan gadgetnya? 1 jam? 2 jam? atau mayoritas waktunya tak bisa lepas dari benda tipis ini? Apa yang membuatkan tak beranjak? Kajian remajakah? Sirah Nabawiah? Konten sains dan ilmu pengetahuan alam? Atau justru aplikasi yang menyihir hampir sebagian besar generasi muda kita? Yaitu game?
Jika ternyata game, apakah kemudian sepenuhnya salah mereka? Tentu tidak. Banyak faktor yang kesemuanya berkelindan saling menyumbang peran. Termasuk kita, orangtua adalah yang menjadi batu pertama mereka mengenal gadget. Apakah kemudian salah kita semata? Maka kita pasti sudah menyiapkan banyak dalih.
Tidak mungkin menyembunyikan gadget 24 jam, sementara kita membutuhkannya untuk keperluan pekerjaan dan komunikasi. Atau kondisi lingkungan dimana teman-temannya pegang gadget, kasian anak-anak dan mana mungkin mengurung anak agar tak berinteraksi dengan teman-teman. Bisa-bisa mereka stress dan akan mencari pelampiasan diluar, dan lain-lain. Apalagi hari ini untuk keperluan pendidikan justru semakin banyak menggunakan gadget.
Alasan-alasan tersebut benar adanya. Ditambah fakta bahwa fungsi teknologi memang untuk mempermudah kehidupan manusia. Mustahil kita menutup diri dan tetap primitif. Lantas bagaimana?
Perubahan zaman dan perkembangan teknologi adalah sebuah keniscayaan, seiring meningkatnya taraf berpikir manusia. Sesungguhnya teknologi posisinya netral. Bisa diarahkan ke hal yang positif ataupun sebaliknya. Maka hal ini tergantung dari pemahaman atau konsep yang digunakan manusia sebagai pemegang kendali atas teknologi. Untuk apa, untuk siapa, dan bagaimana maka jawabannya tergantung pemahaman masing-masing.
Di dunia ini ada tiga pemahaman atau konsep hidup yang mampu menentukan arah perubahan teknologi khususnya dan peradaban manusia pada umumnya.
Yang pertama adalah pemahaman sosialis komunis. Mereka menyimpulkan bahwa semua unsur dalam kehidupan berasal dari materi. Semua ada dengan sendirinya, sehingga mereka tak percaya adanya Tuhan. Maka hidup pun hanya untuk mencari materi. Peraturan-peraturannya dibuat mengikuti alat produksi yang digunakan untuk mencari materi tadi. Ketika alat produksinya tradisional, cangkul misalnya, maka aturan dikendalikan oleh tuan tanah. Namun saat alat produksi berkembang dengan teknologi yang lebih modern, maka aturannya ikut berubah.
Bukan tuan tanah yang berperan tapi digantikan siapapun yang bermodal besar yang mampu menyediakan alat produksi tersebut. Konsep yang justru akhirnya mengarah kepada pemahaman yang kedua, yaitu kapitalisme sekuler. Hal ini pula yang membuat sosialis komunis tak bertahan lama, karena sempitnya pemikiran, mengukur segala sesuatu hanya dari materi dan alat produksi (teknologi) semata.
Pemahaman kedua, yang menggantikan sosialis komunis adalah kapitalis sekuler. Disini, keberadaan Tuhan sebagai pencipta dan agama tidak diingkari, namun dibatasi. Agama hanya mengatur urusan ibadah ritual, selebihnya manusia berhak membuat aturan sendiri. Konsep dasarnya adalah memisahkan agama dari kehidupan.
Sekulerisme menjamin empat kebebasan bagi setiap individu manusia, yaitu kebebasan beragama, kepemilikan, berpendapat dan berperilaku. Kebebasan beragama terwujud dalam paham pluralisme, yang memandang semua agama adalah sama. Maka murtad tidak dianggap sebagai sebuah masalah dalam sistem ini. Kepemilikan menjadi jalan siapapun bebas memiliki apapun, bahkan pulau pun bisa dibeli. Di sistem inilah, orang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin terjepit.
Kebebasan berpendapat terwujud dalam sistem pemerintahan demokrasi. Dengan jargonnya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Realitanya jauh panggang dari api, dari oligarki oleh oligarki untuk para oligarki. Kemudian yang ke empat kebebasan berperilaku. Asas ini menjadi dalih bahwa setiap individu punya otoritas penuh atas dirinya, alias berbas berbuat apa saja. Salah satunya muncullah pelaku eljibiti yang menuntut pengakuan dengan dalih hak asasi.
Maka bermain game pun sama. Pertama, dianggap bukan bagian dari ibadah, sehingga tak perlu aturan agama. Kedua, bermain game adalah hak individu, tidak boleh orang lain ikut campur. Istilahnya, “HP-HP gue, pulsa-pulsa gue, mata-mata gue, apa hak loe nglarang-nglarang gue”. Atau lontaran senada lainnya. Wajar jika kemudian remaja hari ini gandrung dengan game. Saking bebasnya, tidak jarang muncul penghinaan dan pelecehan terhadap Islam, rasulullah dan alquran di dalam alur permainan. Kejadian yang terus berulang dan tanpa ada tindakan tegas.
Pernahkah terpikir bahwa melalui game ini sesungguhnya kita telah menjadi bagian dari obyek bisnis? Karena konsekuensi logis dari sistem kapitalis adalah apa saja yang mendatangkan pundi-pundi materi maka akan terus dikejar, termasuk game. Tak peduli ada pihak yang harus dikorbankan.
Apa yang harus dikorbankan? Tidak lain adalah masa depan generasi muda. Tidak kurang-kurang para ahli telah membahas dampak negatif dari bermain game yang berlebihan. Sebagian mengklaim berhasil hidup mapan dari bermain game, maka sungguh itu sifatnya hanya duniawi semata. Tak sebanding nilainya ketika mereka diposisikan sebagai aset bangsa, terlebih bagi generasi muda muslim yang harusnya bervisi jauh dunia dan akhirat.
Bagaimana Islam memandang hal ini? Islam tidak sama dengan agama-agama yang lain, ataupun paham-paham di atas. Islam adalah agama sekaligus pandangan hidup. Tak hanya mengatur shalat, zakat, haji, namun seluruh aspek kehidupan, pendidikan, ekonomi, sosial politik, hingga hukum dan keamanan.
Maka, di dalam Islam tidak ada konsep kebebasan berperilaku. Karena setiap perbuatan terikat dengan aturan Allah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Bermain game sebagai salah bentuk hiburan, hukumnya mubah atau boleh, selama tidak ada unsur pelanggaran hukum syara, baik konten maupun proses bermainnya.
Sesuatu yang mubah tentu tidak harus dikerjakan. Apalagi jika motivasinya sekedar mengejar materi, hingga melalaikan yang wajib dan sunnah. Karena jika demikian, maka bermain games justru menjadi sebuah kemaksiatan. Selain itu, masih banyak hal yang harusnya menjadi prioritas generasi muslim. Bagaimana membuktikan kepeduliannya terhadap agama dan umatnya hingga kelak benar-benar layak menempati posisi sebagai generasi pemimpin peradaban.
Secara komprehensif Islam menuntun individu (bersama keluarga), masyarakat dan negara untuk menggunakan aturan atau pandangan hidup yang sama, yaitu Islam. Keimanan dan ketaqwaan individu akan selalu membentengi perbuatannya dengan standar halal-haram. Masyarakat yang beriman dan bertaqwa akan saling peduli, mengingatkan agar tak muncul kemaksiatan demi keselamatan bersama. Negara yang beriman dan bertaqwa akan mengeluarkan kebijakan dalam rangka menjaga aqidah umat, dan menutup total apapun yang menjauhkan umat dari ketaatan.
Jadi bukan hanya tanggung jawab individu saja, atau orangtua saja, atau masyarakat saja, atau negara saja. Tapi keseluruhan. Itulah sempurnanya Islam. Aturannya khas, jelas, tegas untuk menyelesaikan seluruh problematika manusia.
Wallahualam bishawab.
Anita Rachman
Muslimah Peduli Peradaban
0 Komentar