Gencarkan Label Islami Demi Bisnis, Wajah Asli Sekuler Kapitalis


Konsumsi produk halal Indonesia pada 2019 mencapai 144 miliar dolar AS yang menjadikan Indonesia sebagai konsumen terbesar di sektor ini. Kemudian, sektor pariwisata ramah muslim menjadikan Indonesia menduduki posisi ke-6 dunia dengan nilai 11,2 miliar dolar AS. Di sektor busana muslim, Indonesia merupakan konsumen ke-3 dunia dengan total konsumsi 16 miliar dolar AS. Lalu, sektor farmasi dan kosmetika halal Indonesia menempati peringkat ke-6 dan ke-2 dengan total pengeluaran masing-masing 5,4 miliar dolar AS dan 4 miliar dolar AS. (voi.id, 18/11/2021)

Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Arsjad Rasjid menyebut industri fesyen muslim di Indonesia cukup menjanjikan untuk menembus pasar global. Menurut dia, popularitas busana muslim modern di Indonesia semakin meningkat dan dikenal. Hal ini karena busana muslim telah berkembang menjadi tren fesyen hingga tingkat dunia. (cnbcindonesia.com, 18/11/2021).

Sri Mulyani menjelaskan pada dasarnya ekonomi dan keuangan syariah telah menunjukkan fundamental yang kokoh dan tetap tangguh di tengah pandemi ini. (kompas.com, 17/11/2021). Sri Mulyani memaparkan bahwa ekonomi syariah dapat pulih dengan baik pasca pandemi karena sejumlah faktor, mulai dari potensi besar masyarakat muslim global hingga nilai-nilai dalam Islam yang membuat praktik ekonomi syariah berjalan dengan relatif adil. (bisnis.com, 26/10/2021).

Sekilas kondisi di atas menunjukkan adanya kemajuan ke arah yang lebih baik. Bahwa nilai-nilai islam sudah mulai diterima, oleh para petinggi negara bahkan masyarakat dunia. Benarkah demikian?

Mari kita lihat sisi yang lain. Riba tetap menjadi asas ekonomi negeri ini dan dunia. Hampir semua lini kegiatan ekonomi terseret riba dalam berbagai bentuknya. Kemudian, di negeri dengan mayoritas muslim, babi menjadi salah satu komoditi ekonomi. Data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019 menyebut konsumsi per kapita daging babi lebih tinggi dibanding daging sapi. OECD menyebut konsumsi per kapita daging babi di Indonesia mencapai 2,4 kilogram (kg) atau naik dibandingkan 2018 yang 2,3 kg. Sedangkan daging sapi pada 2018 dan 2019 tetap 1,8 kg. (Solopos.com, 31/05/2020).

Sementara itu, minuman keras (miras) juga bukan barang yang sulit ditemui dinegeri ini. Bahkan presiden tergiur membuka kran investasi miras dengan mengeluarkan peraturan presiden. Hingga akhirnya dicabut karena derasnya penolakkan publik. Miras yang jelas haram di dalam Islam dan diposisikan sebagai induknya kejahatan justru “dihalalkan” dan jadikan tumpuan ekonomi. Meskipun dalam faktanya, peredaran barang haram tersebut tak pernah bisa dibendung.

Nah, apa hikmah dari dua fenomena di atas? Di satu sisi label islami begitu gencar digaungkan, namun disisi lain bisnis haram tetap jalan. Jawabannya sederhana, jika bisnis bersyariah tadi diambil karena motivasi materi semata, maka inilah yang disebut dengan sistem ekonomi kapitalis. Apapun yang menghasilkan uang, materi, keuntungan, manfaat, maka akan diambil, diadopsi, diterima, dijalankan. Sebagaimana riba, babi, miras dan lainnya, yang penting menghasilkan keuntungan, maka akan tetap jalankan meskipun haram.

Sistem ekonomi kapitalis sendiri lahir dari sebuah pemahaman yang disebut sekulerisme. Yaitu paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Prinsipnya, agama hanya mengatur hubungan manusia dalam beribadah dengan Tuhannya. Dan makna ibadahpun dipahami secara sempit, yaitu sebatas ritual semata.

Maka berekonomi dianggap bukan bagian dari ibadah, tidak ada hubungannya dengan Tuhan, sehingga tidak perlu menggunakan aturan agama. Manusialah kemudian yang merumuskan aturan tanpa hukum halal haram, tapi kalkulasi untung rugi.

Apakah manusia lebih tahu dari Tuhan, hingga merasa berhak membuat aturan?. Faktanya manusia adalah makhluk yang lemah dan terbatas. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nidzamul Islam menjelaskan, pemahaman manusia dalam mengatur naluri dan kebutuhan jasmani selalu berpeluang terjadi perbedaan, perselisihan, pertentangan dan terpengaruh lingkungan. Apabila manusia dibiarkan membuat aturan sendiri, tentu aturan tersebut akan memungkinkan terjadinya perbedaan, perselisihan dan pertentangan, yang justru akan menjerumuskannya ke dalam kesengsaraan.

Dan gambaran tersebut tepat tengah terjadi hari ini. Kerusaan moral dan kenakalan remaja terus terjadi. Hukum tajam ke bawah tumpul keatas sudah menjadi pemandangan biasa. Kesenjangan ekonomi tak bisa dihindari. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin terjepit. Sebagian besar rakyat berjuang bertahan hidup, sebagian kecil elit berlomba pamer gaya hidup.

Jadi jelas jika tidak ingin terjadi kerusakan, aturan tidak boleh datang dari manusia. Aturan haruslah datang dari yang menciptakan manusia dan alam semesta. Dia yang menciptakan, Dia pula yang Maha Tahu bagaimana mengatur apa-apa yang telah Dia ciptakan. Dialah Allah SWT.

Allah SWT telah menurunkan aturan yang begitu sempurna, yaitu syariat Islam. Yang tidak hanya mengatur bagaimana berhubungan dengan Allah. Namun juga memberi petunjuk bagaimana berinteraksi dengan manusia dan alam semesta, termasuk dalam hal bisnis.

Jika dilihat dari sisi duniawi, tujuan orang berbisnis relatif sama. Yaitu kemaslatan, keuntungan yang berujung pada tercapaikan kesejahteraan. Namun, ada prinsip dasar di dalam Islam yang tidak bisa ditawar. Yaitu tidak semata mengejar kesejahteraan dunia, namun juga keselamatan diakhirat.

Bisnis di dalam Islam motivasinya adalah keimanan. Standar yang digunakan adalah dalil halal dan haram. Target utama adalah mendapatkan rihdo Allah yang otomatis akan membawa keberkahan. Prinsip fundamental ini tidak dimiliki oleh sistem (ideologi) manapun di dunia ini.

Saat berbisnis dengan label serba islami semata karena untung, bukan karena iman, bukan karena dalil, bukan karena sadar ini perintah Allah, meskipun berhasil sejahtera, maka tidak akan ada nilainya dihadapan Allah. Apalagi jika dalam praktiknya ada pelanggaran hukum Allah yang lain. Karena Islam bukanlah prasmanan yang aturannya boleh diambil sebagian tapi sebagian lagi ditinggalkan. Islam menjamin kesejahteraan tanpa harus menempuh jalan haram ataupun mencampurkan yang haq dan batil. Adakah yang berani meragukan jaminan dari Allah SWT?.

Wallahu’alam bishawab.


Anita Rachman – Muslimah Peduli Peradaban

Posting Komentar

0 Komentar