Perkebunan di Indonesia didominasi oleh perkebunan kelapa sawit yang luasnya mencapai 8,9 hektar. Indonesia pun menjadi pengekspor minyak sawit terbesar dunia. Namun miris, harga minyak justru selangit padahal Indonesia kaya sawit.
Menurut Catatan Biro Pusat Statistik perkebunan besar di Indonesia didominasi oleh tanaman kelapa sawit pada tahun 2020. Jumlahnya mencapai 8,9 juta hektare, naik hampir 300 ribu hektare dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 8,6 juta hektare. Bahkan di tahun 2021 jumlah perkebunan sawit diprediksi semakin meluas.
Luasnya perkebunan sawit di Indonesia ternyata menobatkan Indonesia menjadi negara dengan peringkat pertama eksporti terbesar minyak kelapa sawit di dunia pada 2020. Di mana, total ekspor minyak kelapa sawit Indonesia tercatat mencapai sebanyak 37,3 juta ton dengan market share global mencapai 55 persen.
Namun luasnya perkebunan dan besarnya ekspor minyak sawit nyatanya tak berdampak pada murahnya harga minyak dalam negeri. Justru kenaikan tiap bulan terjadi. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, harga minyak goreng mengalami kenaikan tiap bulannya. Tercatat harga minyak goreng curah naik 11,27% dibandingkan bulan lalu menjadi Rp 15.800 per liter. Kemudian harga minyak goreng kemasan sederhana naik 8,78% menjadi Rp 16.100 per liter, dan minyak goreng kemasan premium naik 6,71% menjadi Rp 17.500 per liter.
Ibarat ayam mati di lumbung padi, bisa melukiskan derita pedagang gorengan yang menjerit ketika harga minyak goreng tinggi. Seperti yang dialami oleh Penjual gorengan di Pasar Koja Baru, Dewi (50) mengaku omsetnya merosot hingga 75 persen dari biasanya selama dua pekan terakhir. Pasalnya, dengan keuntungan yang menipis, tak mampu menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Apalagi untuk membayar sewa lapak yang harganya Rp 50.000/hari, itu tak mencukupi. Begitu juga dengan Reni pemilik angkringan di Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo. Dia mengaku terpaksa tidak berjualan. "Ini terpaksa angkringan tutup dulu, mudah-mudahan harga minyak segera kembali normal," ungkapnya. (Gatra, 02/11).
Harga Minyak Tinggi Ikuti Aturan Pasa Bebas Luar Negeri
Kenaikan harga minyak dalam negeri ternyata bukan dikarenakan kekurangan pasokan. Pasokan minyak goreng dalam negeri masih dalam kondisi aman. Kebutuhanan minyak nasional 5,06 juta ton per tahun, sedangkan produksinya bisa mencapai 8,02 juta ton.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan menjelaskan kenaikan harga minyak goreng lebih disebabkan harga internasional yang naik cukup tajam. Dan meskipun Indonesia adalah produsen CPO terbesar, namun kondisi di lapangan menunjukkan sebagian besar produsen minyak goreng tidak terintegrasi dengan produsen CPO.
Para produsen minyak goreng dalam negeri harus membeli CPO sesuai dengan harga pasar lelang dalam negeri yang mengacu pada harga lelang KPBN Dumai yang juga terkorelasi dengan harga pasar internasional. Akibatnya, ketika terjadi kenaikan harga CPO internasional, harga CPO di dalam negeri turut menyesuaikan harga internasional. Selain itu, Oke mengatakan kenaikan harga minyak goreng turut dipicu turunnya panen sawit pada semester kedua. Imbasnya, suplai CPO menjadi terbatas dan menyebabkan gangguan pada rantai distribusi industri minyak goreng, serta adanya kenaikan permintaan CPO untuk pemenuhan industri biodiesel seiring dengan penerapan kebijakan B30. (Bisnis.com, 6/11).
Sistem Ekonomi Islam Hapuskan Kesengsaraan
Kebijakan pemerintah yang menggunakan harga pasar internasional sebagai acuan harga pasar nasional adalah buah dari neoliberalisme. Yang menjadikan kapitalisme sebagai acuan dalam menentukan setiap kebijakan yang ditetapkan. Sementara negara hanya menjadi regulator dan pemungut pajak saja. Negara tidak terlibat langsung sebagai pemain ekonomi. Pemain utama adalah para investor swasta yang memilki modal besar. Mereka inilah yang mengendalikan perekonomian. Maka, tak heran jika sumber daya alamnya yang melimpah namun tak bisa memakmurkan rakyatnya, sebab bukan negara yang mengelolanya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perkebunan besar swasta mendominasi produksi minyak sawit (CPO) Indonesia pada 2019. 62,08% milik swasta, 33,51% merupakan perkebunan rakyat. hanya 4,41 % milik negara. Padahal sawit yang seharusnya tak dimiliki oleh individu atau perusahaan. Yang sejalan larangan kepemilikan pribadi/swasta atas tanah yang mengandung sumber daya alam yang melimpah, seperti minyak, gas, dan mineral, yang mengklasifikasikannya sebagai milik umum yang seharusnya menguntungkan semua warganya.
Jadi seharusnya negara yang mengelola yang kemudian hasilnya diberikan kepada rakyat. Negara tidak boleh menyerahkan pengurusan atau penguasaan harta milik umum kepada individu atau perusahaan swasta. Negara juga dilarang memberikan hak istimewa bagi individu atau perusahaan swasta untuk mengeksploitasi, mengolah, dan memonopoli pendistribusiannya. Apalagi memberikan kebijakan harga kepada internasional.
Dalam sistem ekonomi islam sangat bertolak belakangan dengan sistem kapitalis yang menguntungkan para pemilik modal sementara rakyat dibiarkan terlantar. Negara menjamin kesejahteraan rakyat setiap individu melalui mekanisme sistem perekonomian berdasarkan aturan yang Allah tetapkan. Sebab, tidaklah sesuatu yang berasal dari Allah SWT akan menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan.
Oleh Nely Merina SP
0 Komentar