Terorisme maupun radikalisme tidak pernah padam dari pemberitaan. Menjadi perbincangan yang panas untuk di bahas. Baik pada lingkup akademisi maupun non akademisi. Mengapa demikian karena proyek radikalisme merupakan agenda barat yang sejak lama digaungkan. Berbagai survei kerap dilakukan untuk melihat sejauh mana potensi radikalisme itu ada dan berkembang ditatanan kehidupan.
Survei yang dilakukan oleh Alvara dan Mata Air Fondation dilakukan pada tahun 2018-2019 yang termasuk Indeks Potensi Radikalisme di PNS 19.4 persen. Sejumlah Indikator potensi Radikalisme adalah dia tidak setuju atau anti terhadap Pancasila, Pro Khilafah, anti terhadap penerintahan yang sah, intoleran, eksklusif, anti budaya dan kearifan lokal keagamaan. (Tribunnews, 05/11/2021)
Radikalisme dalam pandangan ini lebih menjurus kepada nilai-nilai negatif. Dimana, mereka mengopinikan bahwa Radikalisme disini orang-orang yang bebal terhadap ajaran Islam itu sendiri. Kita dapat menilai dari fakta diatas bahwa PNS yang pro khilafah terkategori indikator Radikalisme itu sendiri. Indikator-indikator ini dibuat sesuai dengan kepentingan mereka. Tatkala kepentingan mereka terusik pada akhirnya orang-orang yang pro Khilafah ini dianggap sebagai ancaman yang perlu untuk disingkirkan.
Padahal tidaklah demikian, negara ini dikatakan sebagai negara yang menganut Islam terbanyak di dunia, seharusnya mencintai dan memuliakan ajaran Islam itu sendiri yakni Khilafah. Karena Islam itu bukan hanya sebagai agama spiritual semata yang fokus ditatanan ibadah mahdhah saja.
Seseorang atau sekelompok orang yang pro Khilafah dan mendakwahkannya sesungguhnya sebagai bentuk kecintaan dan kepedulian terhadap agama, bangsa dan negaranya. Memberikan solusi yang tuntas dalam menjawab problematika umat yang ada saat ini. Menjelaskan sistem shahih yang berasal dari Sang Pencipta. Sebuah sistem yang menghendaki secara fitrah kita diatur oleh peraturan yang berasal dari Sang Khalik.
Tatkala peraturan itu tercetus dari Sang Pencipta kita sudah tentu akan dirasakan keadilannya. Ketika ada suatu kejadian dimasa lalu bahwa khalifah itu melanggar hukum syara itu merupakan sebuah kesalahan yang sifatnya individual. Tetapi ranah peraturannya berada dalam koridor yang benar yakni sistem yang berasal dari Sang Khalik.
Kendati demikian, segencar apapun opini publik yang mengarahkan bahwa PNS pro khilafah itu dianggap sebagai ancaman. Akan tetapi, pada faktanya tidaklah demikian dan membuat orang-orang yang berada di dekat mereka tersadarkan akan ajaran Islam ini. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa khilafah merupakan bagian ajaran Islam yang tidak bisa dipisahkan dengan ajaran-ajaran Islam yang lainnya.
Bahkan ketika diterapkannyapun akan menjadikan penerapan hukum ketatanegaaran dan kemasyarakatan yang tertuang dalam Al-Qur´an dan As-Sunnah bisa dilakukan secara sempurna. Contohnya ketika seseorang mencuri dalam takaran yang besar sebut saja koruptor akan di hukum potong tangan. Hukuman ini akan menjadikan mereka jera dan beribu kali berpikir jika melakukannya lagi.
Berbeda dengan kondisi umat Islam saat ini ketika hukuman itu tidak diterapkan menjadikan korupsi sebagai budaya di Indonesia dan merekapun (koruptor) semakin menampakan kejahatannya. Seharusnya hal inilah yang menjadi ancaman negara. Bukan mereka yang memahami ajaran agamanya.
Wallahu A´lam Bishawab.
Oleh Sri Mulyati
Mahasiswa
0 Komentar