Islam dan Hakikat Kekuasaan



Berbeda dengan sistem demokrasi yang melahirkan ambisi terhadap kekuasaan dan meniscayakan adanya koalisi dan oposisi, sistem politik Islam justru melahirkan politisi yang tawadlu. Hal ini disebabkan oleh pemahaman mengenai hakikat kekuasaan yang berbeda secara diametral dengan sistem demokrasi dan para politisinya saat ini.

Memudarnya hubungan mesra Anies dan PKS baru-baru ini adalah dampak dari penerapan sistem demokrasi yang meniscayakan adanya perpecahan antar sesama kaum muslimin. Sekalipun pada awalnya, mereka memiliki tujuan dan keinginan yang sama yang konon kabarnya juga untuk kepentingan umat Islam, namun sistem politik demokrasi yang diterapkan hari ini justru berperan dalam memecah belah kekuatan kaum muslimin.

Karenanya penting bagi umat Islam untuk belajar dan kembali menelaah langkah mereka dalam upaya pemenangan pemilu 2024. Tentu bukan sekadar menelaah langkah praktis dan teknisnya saja, tetapi perlu mengkaji lebih jauh terkait landasan filosofisnya.

Tentu semua sepakat bahwa Islam harus memiliki kekuasaan, sebab tanpa kekuasaan syariat Islam takkan bisa diterapkan secara kaffah. Namun, bagaimana umat Islam sendiri memandang kekuasaan dan bagaimana cara meraih kekuasaan ini harus jelas di benak umat. Jika tidak mereka akan tergelincir kembali dalam sistem demokrasi yang tidak pernah memberi jalan bagi Islam untuk berkuasa.

Islam memberikan kekuasaan pada umat dan khalifah adalah pihak yang dibaiat untuk menerapkan semua aturan syariah tanpa kecuali. Karenanya khalifah memiliki tugas untuk itu. Kekuasaan yang dimilikinya adalah kekuasaan untuk menjalankan semua hukum Islam. Bukan untuk mendapatkan keuntungan material, popularitas dan naiknya elektabilitas.

Tanggung jawab kekuasaan ini juga memiliki makna bahwa khalifah kelak akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah swt atas segala kebijakan yang dibuatnya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda:

إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإِمَارَةِ وَسَتَصِيرُ نَدَامَةً وَحَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَنِعْمَتِ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ

“Sungguh kalian akan berambisi terhadap kepemimpinan (kekuasaan), sementara kepemimpinan (kekuasaan) itu akan menjadi penyesalan dan kerugian pada hari kiamat kelak. Alangkah baiknya permulaannya dan alangkah buruknya kesudahannya.” (HR al-Bukhari, an-Nasa’i dan Ahmad).

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh at-Thabrany dan al-Bazzar dengan sanad shahih melalui ‘Auf bin Malik bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:

أَوَّلُهَا مَلَامَةٌ، وَثَانِيهَا نَدَامَةٌ، وَثَالِثُهَا عَذَابٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، إلَّا مَنْ عَدَلَ

“Awalnya (dari jabatan) ialah celaan, (lalu) kedua penyesalan, (lalu) ketiga siksa pada hari kiamat, kecuali (bagi) yang adil. ”

Atas dasar inilah para sahabat dulu kerap menolak amanah untuk menjadi pemimpin, sebab mereka mengetahui konsekuensi dan resiko menjadi pemimpin. Mereka sangat memahami tanggung jawab ini. Rasul saw bersabda:

ألَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ 

"Ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin,…” (HR. Bukhari)

Demikianlah pandangan Islam tentang hakikat kekuasaan. Berbeda dengan sistem demokrasi yang justru menyulut ambisi pada kekuasaan semata hanya karena kenikmatan duniawi. Walhasil karena motif dalam menjalankan kekuasaan sejak awal sudah berbeda, maka wajar jika dalam upaya meraih kekuasaan dan bahkan setelah menjalankan kekuasaan, langkah dan kebijakan yang dikeluarkan juga berbeda.

Tak dapat dipungkiri, hal terdekat dari seorang pemimpin yang berkuasa adalah munculnya popularitas, banyaknya pujian dan juga sanjungan. Apalagi sistem hari ini justru menganggap meningkatnya popularitas sebagai indikator keberhasilan seorang pemimpin. Baik buruknya kinerja diukur dari hasil survei, yang sangat memungkinkan untuk dimainkan. Akibatnya pencitraan adalah hal yang sangat lekat pada mereka yang berkeinginan untuk menduduki posisi-posisi tertentu.

Sementara Islam sangat berhati-hati terhadap hal ini. Benar, bahwa secara naluriah setiap orang senang dipuji dan selalu ingin mempertahankan kekuasaannya. Namun naluriah ini diarahkan untuk tunduk pada aturan syariat. Allah swt berfirman,

لَا تَحْسَبَنَّ ٱلَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَآ أَتَوا۟ وَّيُحِبُّونَ أَن يُحْمَدُوا۟ بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا۟ فَلَا تَحْسَبَنَّهُم بِمَفَازَةٍ مِّنَ ٱلْعَذَابِ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.” (QS. Ali ‘Imran: 188)

Oleh karena itu, para ulama dahulu melarang orang untuk memuji mereka atas amal-amal mereka dan perbuatan baik mereka kepada manusia. Mereka juga memerintahkan agar orang-orang memuji Allah swt saja, karena segala kenikmatan berasal dari-Nya.

Atas dasar ini, sampainya seorang muslim pada puncak kekuasaan bukanlah didasarkan pada meningkatnya popularitas, tingginya elektabilitas, pencitraan dan lain sebagainya, tetapi karena ketaqwaannya dan keterikatannya pada syariat di samping kemampuan dan kecakapannya dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinan. Dan itu hanya mungkin jika sistem yang digunakan adalah sistem Islam.

Ketika sistem Islam diterapkan, maka siapapun yang menjadi pemimpinnya, dia berhak untuk ditaati. Taat kepada pemimpin adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa ditawar atas alasan apapun. Ketataan kepadanya adalah ketaatan mutlak selagi tidak untuk melakukan kemaksiatan.

Karena kewajiban ini Nabi Muhammad saw juga banyak menyebutkan hadis-hadis tentang kewajiban taat kepada pemimpin.

من أطاعني فقد أطاع الله ومن يعصني فقد عصى الله ومن يطع الأمير فقد أطاعني ومن يعص الأمير فقد عصاني

“Barang siapa yang mentaati aku sungguh ia telah mentaati Allah, dan barang siapa yang durhaka padaku sungguh ia telah mendurhakai Allah, barang siapa yang taat pada pemimpin sungguh ia telah taat padaku, dan barang siapa yang durhaka pada pemimpin sungguh ia telah durhaka padaku” (HR. Muslim).

دعانا النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ فبايعناه، فقال فيما أخذ علينا : أن بايعنا على السمعِ والطاعةِ، في منشطِنا ومكرهِنا، وعسرِنا ويسرِنا وأثرةٍ علينا، وأن لا ننازعَ الأمرَ أهلَه، إلا أن تروا كُفرًا بَواحًا، عندكم من اللهِ فيه برهانٌ

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah memanggil kami, kemudian membaiat kami. Ketika membaiat kami beliau mengucapkan poin-poin baiat yaitu: taat dan patuh kepada pemimpin, baik dalam perkara yang kami sukai ataupun perkara yang tidak kami sukai, baik dalam keadaan sulit maupun keadaan lapang, dan tidak melepaskan ketaatan dari orang yang berhak ditaati (pemimpin). Kecuali ketika kalian melihat kekufuran yang jelas, yang kalian punya buktinya di hadapan Allah.” (HR. Bukhari Muslim).

Ketaatan ini bukan berarti menghilangkan kritik ketika pemimpin melakukan kesalahan. Islam mengatur pula mekanisme untuk meluruskan pemimpin. Bukan dengan demo atau membuat partai oposisi, namun dengan melakukan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Rasulullah saw bersabda

ثم إنها ستكون بعدي أثرة وأمور تنكرونها قالوا يا رسول الله كيف تأمر من أدرك منا ذلك قال تؤدون الحق الذي عليكم وتسألون الله الذي لكم

“Akan datang banyak kezaliman sepeninggalku. Dan perkara-perkara yang kalian ingkari”. Lalu para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah apa nasehatmu bagi orang yang mendapat masa itu?”. Lalu beliau bersabda: “Tunaikan kewajiban yang dibebankan kepada kalian, dan mintalah kepada Allah sesuatu yang baik untuk kalian.” (HR. Muslim).

من خرج عن طاعة الامام وخرج عن الجماعة، ثم ماتَ ، ماتَ ميْتةً جاهليةً . ومن قُتِلَ تحتَ رايةٍ عميةٍ ، يغضبُ للعصبةِ ، ويُقاتِل للعصبةِ ، فليسَ من أمّتي . ومن خرجَ من أمّتي على أمّتي ، يضربُ برّها وفاجرها ، لا يتحاش من مؤْمنها ، ولا يفي بذي عهدها ، فليسَ مني

“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin dan meninggalkan jama’ah, kemudian meninggal, maka ia mati jahiliyah. Barangsiapa yang mati di bawah bendera fanatik buta, ia mengajak pada ashabiyyah (fanatik golongan), atau membantu untuk ashabiyah, maka ia bukan bagian dari umatku. Barangsiapa dari umatku yang memberontak melawan umatku juga, ia memerangi orang yang baik dan jahat semuanya, ia tidak menjauhkan diri dari memerangi orang mukmin, dan tidak memenuhi perjanjian, maka ia bukan bagian dari umatku” (HR. Muslim).

Itulah hadis-hadis tentang keharusan taat kepada pemimpin atau penguasa kaum muslimin dan tidak melawan syariat Allah. Dengan demikian dalam sistem Islam takkan dikenal adanya partai oposisi, yang kontra dengan penguasa bahkan memungkinkan untuk mengambil alih kepemimpinan. Sebab pada dasarnya Islam hanya satu, negaranya juga hanya satu dan pemimpinnya juga satu. Wallahu a’lam.


Oleh Kamilia Mustadjab

Posting Komentar

0 Komentar