Kebijakan Penuh Kontroversi, Kembalikan pada Aturan Illahi. Aktivis Muslimah: tidak seharusnya kita sebagai hamba menganut kebijakan dan peraturan dari manusia

 


Sudah bukan menjadi hal yang tabu lagi. Ketika rezim memproduksi sebuah kebijakan lalu menuai kontroversi. Seolah kebijakan yang kontroversi adalah lumrah atau alamiah adanya. Dengan alasan setiap manusia punya isi kepala yang berbeda-beda. Maka tak perlu lagi katanya mempersoalkan munculnya pro kontra terhadap kebijakan-kebijakan yang ada.

Seperti baru-baru ini, kisruh yang terjadi setelah diluncurkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi yang ramai ditanggapi oleh sejumlah kalangan. Termasuk pada kalangan tokoh muslimah, dan kali ini Muslimah Jakarta telah Mewawancarai seorang aktivis Muslimah yang aktif di Pemuda Dewan Dakwah - DKI Jakarta, yaitu Siti Maryam. Berikut wawancaranya.

Tanya: Dalam Permendikbud no 30; Negara hanya difokuskan pada isu korban. Namun tidak melihat bagaimana dampak dari UU ini yang akan menambah kasus maraknya perzinaan di dunia kampus dengan adanya frasa "tanpa persetujuan" dalam poin-poinnya, sehingga maknanya ambigu, jika dengan persetujuan maka tidak dipersoalkan. Maka hal ini akan berdampak buruk pada generasi yang semakin liberal, jauh dari nilai-nilai syariat agama. Bagaimana menurut Ibu?

Jawab: Saya sangat setuju karena dengan frasa tanpa persetujuan bagi para pelaku kekerasan seksual sangat ambiguitas. Pasalnya, banyak muda-mudi kampus yang bahkan sukarela melakukan hal seksual tersebut. Jadi itu akan berdampak buruk pula bagi generasi milenial dan akan semakin bobrok.

Tanya: Salah satu hasil ijtima ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) yakni meminta agar Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dicabut. Dia meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, untuk mematuhi hasil rekomendasi ijtima ulama MUI tersebut. Kalau kita menoleh ke belakang, banyak sekali isu-isu atau kebijakan yang juga terkait dengan pandangan agama, dan rujukan yang seharusnya diambil yaitu MUI seringkali tidak diambil oleh pemerintah. Bagaimana tanggapan Ibu?

Jawab: Iya sangat benar sekali MUI seolah hanya dijadikan label di negara semata namun kebanyakan yang dikeluarkan selalu dianggap angin lalu dan tidak diaplikasikan oleh pemerintah.

Tanya: Bukan sekali dua kali rezim melahirkan kebijakan yang kontroversi. Seperti Omnibus Law UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU ITE Bagaimana dampak yang terjadi apabila kebijakan yang kontroversi ini terus saja dipaksakan ke tengah-tengah masyarakat?

Jawab: Dampak yang terjadi pastinya sistem kapitalisme ini akan mengubah di semua kalangan. Dampaknya akan sangat signifikan yakni para pemangku kepentingan akan berkuasa dengan sewenang-wenang dan keadilan kini sulit didapat.

Tanya: Ada pernyataan bahwa demokrasi merupakan produk dari akal manusia yang lemah. Salah satu kelemahan yang ditunjukkan oleh akal yakni adanya perbedaan dari satu kepala dengan kepala lainnya. Maka wajar aturan produk demokrasi akan melahirkan perselisihan, perseteruan dan pertentangan. Selayaknya kita mengambil aturan Islam yang berasal dari Wahyu Allah Swt.  yang paling mengetahui apa aturan yang dibutuhkan manusia yang merupakan ciptaan-Nya. Setujukah Ibu dengan hal ini?

Jawab: Setuju, tidak seharusnya kita yang hanya sebagai hamba atau manusia yang menganut kebijakan dan peraturan dari manusia juga yang akalnya terbatas, dan isi kepalanya berbeda apalagi hanya dipenuhi nafsu dan kepentingan dunia semata, titik. Sudah seharusnya kita kembali merujuk dan diatur oleh Sang Maha Pencipta Allah subhanahu wa ta'ala yang lebih tahu dan terbaik untuk kita yang dengan Firman-Nya yang tercantum dalam Alquran atau dengan sunah-sunah yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ajarkan.


Reporter: Novita Sari Gunawan

  

Posting Komentar

0 Komentar