Khilafah. Satu kata yang masih menjadi perbincangan hangat hingga kini. Di saat ide ini terus-menerus dikerdilkan bahkan dimonsterisasi, khilafah malah semakin menawan. Khilafah serta perjuangan untuk menegakkannya kembali terbukti dapat meraih dan mengambil hati umat satu persatu. Hingga tak butuh waktu yang lama menjadi lautan dengan ombaknya yang kencang, siap menerjang berbagai rintangan.
Ketika masyarakat awam mendengar kata khilafah, maka akan diikuti oleh radikalisme. Karena begitulah arus opini yang terus digaungkan. Pihak-pihak yang ingin menghalangi ide khilafah ini terus memutar otak bagaimana caranya agar ide ini lenyap dari muka bumi ini. Mulai dari melakukan politik pecah belah dan memprovokasi umat. Menstigma radikal terhadap ide, tokoh dan ormas yang mengenalkan ide khilafah pada umat dan memperjuangkannya. Melakukan deradikalisasi ajaran Islam, menggaungkan ide moderasi yang sejatinya merupakan upaya untuk menyerang ide syariah dan khilafah sebagai target bidikan utama.
Upaya untuk menghalangi ide khilafah ini sebenarnya bisa dikatakan gagal. Karena seperti yang telah dipaparkan di atas. Ide khilafah bukannya tergeser, justru semakin moncer. Ide khilafah tak pernah layu, bahkan menjadi harapan baru bagi umat di tengah krisisnya kehidupan khususnya yang menimpa kaum muslimin di era kapitalisme sekularisme saat ini di seluruh belahan dunia.
Hal tersebut pun disikapi oleh pemerintah. Jalan yang ada di depan mata bagi mereka kini ialah melakukan upaya jalan tengah. Mereka menyadari ide khilafah sama sekali tidak bisa dihilangkan dari benak umat. Namun peluang apa yang bisa diusahakan yakni merekonstruksi makna dan kedudukan khilafah. Sehingga diharapkan ide khilafah hanya sebatas romantisme masa lalu. Tidak boleh menjadi tujuan bagi kaum muslimin di era kini.
Pemerintah tentunya membutuhkan legitimasi ulama dalam memuluskan upaya ini. Seperti yang teranyar, selama 3 hari berturut-turut telah berlangsung musyawarah antara seluruh komisi fatwa MUI se-Indonesia yang berlangsung di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis (11/11), MUI akhirnya menyepakati 12 poin penting mengenai persoalan keumatan dan kebangsaan dalam perspektif keagamaan. MUI sudah memutuskan fatwa terhadap 12 topik masalah.
Salah satu topik yang diangkat mengenai jihad dan khilafah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jalan tengah antara pro dan kontra khilafah ini, diputuskan dengan menggunakan manhaj wasathiyah (berkeadilan dan berkeseimbangan) dalam memahami makna jihad dan khilafah. Oleh karena itu, MUI menolak pandangan yang dengan sengaja mengaburkan makna jihad dan khilafah, yang menyatakan bahwa Jihad dan khilafah bukan bagian dari Islam. Sebaliknya, MUI juga menolak pandangan yang memaknai jihad dengan semata-mata perang, dan khilafah sebagai satu-satunya sistem pemerintahan.
Sekilas hal ini menjadi solusi dan penengah dari pro kontra yang bergulir di tengah-tengah umat terkait ide khilafah. Sehingga umat pendukung khilafah tidak lagi sesak dada terhadap kriminalisasi ide khilafah ini karena adanya pengakuan khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam. Namun di sisi lain, pendukung ide khilafah ini diarahkan untuk menghentikan perjuangan penegakan khilafah karena kesepakatan jalan tengah yang diambil tadi, mengakuinya tapi tidak ada lagi peluang penegakannya karena model pemerintahan NKRI yang telah disepakati adanya demokrasi.
Bagaimana sejatinya sikap ulama dalam memandang khilafah? Sikap ulama yang diharapkan ialah senantiasa mendukung dan ikut berjuang menegakkan syariah dan Khilafah. Menyatukan opini Syariah dan khilafah adalah sesuatu yang sesuai dan sejalan dengan pemahaman para ulama di seluruh dunia. Termasuk di negeri ini. Bukan justru terjebak dalam perangkap penjajah yang ingin menjauhkan syariat Islam dari kaum muslimin, karena penjajah sangat memahami bahwa dengan khilafah, kaum muslimin dapat menerapkan syariat Islam secara kafah. Menjadikan Islam sebagai way of life dan tandingan ideologi kapitalisme sekularisme yang saat ini memimpin peradaban dunia.
Tak sampai di situ, diharapkan ulama meyakini bahwa berjuang menegakkan kembali Khilafah --setelah keruntuhannya 28 Rajab 1342 H / 3 Maret 1924 M-- adalah fardhu ain bagi setiap mukallaf. Artinya, penegakan Khilafah berdasarkan metode kenabian adalah kewajiban bagi setiap muslim yang berakal. Meyakini bahwa tegaknya khilafah di atas jalan kenabian tersebut adalah sebuah keniscayaan. Serta momen tegaknya syariat Islam dan khilafah itu hanya masalah waktu. Maka dengan bersatunya para ulama dalam mendukung dan turut memperjuangkannya, tentu saja akan mempercepat tegaknya khilafah di muka bumi ini. Sehingga dengannya syariat Islam dapat tegak secara kafah dan menjadi Rahmatan Lil Al-Amin yang hakiki. []
Wallahu a'lam biashshawab.
Oleh Novita Sari Gunawan
0 Komentar