Konsep Kota Ramah HAM, Tak Seramah Kenyataan


Panitia khusus Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Bogor sebagai Kota Hak Asasi Manusia (HAM) menggelar ekspose pada hari Senin, 18 Oktober 2021 dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor. Ekspose itu bertujuan untuk menjelaskan maksud, tujuan dan isi dari Raperda yang diinisiasi oleh DPRD Kota Bogor. (www.rmoljabar.id, 19/10/2021) Raperda ini dibuat karena terinspirasi atas kasus GKI Yasmin. DPRD Kota Bogor menganggap kasus ini telah mencapai perdamaian setelah 15 tahun menjadi konflik. Penyelesaiannya, Pemkot Bogor menghibahkan lahan sebesar 1.668 meter persegi di jalan KH. Abdullah Bin Nuh, Kelurahan Curug Mekar untuk dibangun rumah ibadah GKI Yasmin. Oleh karena itu, DPRD menganggap perlu melengkapi Kota Bogor dengan Raperda Kota Ramah HAM. (www.antaranews.com, 18/10/2021)

Inisiasi DPRD Kota Bogor ini disambut oleh Pemkot Bogor dengan menggelar lokakarya Pelatihan Tata Kelola Pemerintahan Inklusif. bekerjasama dengan Setara Institut dan United Nations Development Programme (UNDP). (www.radarbogor.id, 22/10/2021) dalam ekspose dan lokakarya ini, ditekankan betapa pentingnya perlindungan atas HAM.  Ketua Pansus Raperda Bogor Kota HAM menegaskan bahwa negara, pemerintah, atau organisasi apa pun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi HAM pada setiap manusia tanpa kecuali. Perda ini nantinya akan jadi dasar setiap upaya Kota Bogor dalam menghormati, memenuhi, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM bagi segenap warganya.

Meskipun isi Raperda Kota Ramah HAM milik Kota Bogor belum diterbitkan ke publik, namun kita dapat melihat Perda yang sama dari Kota lain yang lebih dulu mengesahkannya. Salah satunya adalah Kabupaten Wonosobo. Isi Perda Kota Ramah HAM milik Kabupaten Wonosobo yang terbit pada 2016. Isinya tidak berbeda dengan undang-undang (UU) no. 39 tahun 1999 tentang HAM. Bahwa hak asasi mencakup hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak anak. (www.wonosobokab.go.id, 11/10/2016)

UU no. 39 ini telah diterapkan selama lebih dari 20 tahun di Indonesia dan didukung pula oleh Perda-Perda Kota Ramah HAM di banyak daerah. Namun ternyata pelanggaran HAM terus terjadi di negeri ini. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menerima sebanyak 2.841 pengaduan dari publik selama 2020. Pihak yang paling banyak diadukan adalah kepolisian (758 kasus), korporasi (455 kasus) dan pemerintah daerah (276 kasus). Bahkan institusi yang katanya penegak hukum, yang justru melakukan pelanggaran HAM paling banyak. Jumlah ini belum termasuk yang tidak diadukan. Maka dapat dipastikan realitanya lebih banyak lagi. (www.cnnindonesia.com, 12/08/2021)

Ribuan pelanggaran ini terjadi setidaknya disebabkan oleh dua hal utama, yaitu: 1) ketidakjelasan batasan konsep. Konsep hak untuk sejahtera, bahagia, bebas, dll diserahkan kepada masing-masing individu. Inilah yang justru menimbulkan konflik. Dalam satu kasus yang sama seseorang bisa menyatakan melanggar HAM, sedangkan orang lain bisa berpandangan lain. 2) UU HAM dibuat pemerintah hanya untuk mengatur tapi tidak menjamin terpenuhinya hak seseorang. Negara hanya sebagai regulator. Masyarakat sendiri yang harus berjuang untuk memenuhinya. Berjuang untuk sejahtera, berjuang untuk bahagia, berjuang untuk semua hak. Inilah konsep negara dengan sistem sekulerisme. Yang sudah rusak dari prinsip dasarnya. Maka penyelesaiannya pun harus dilakukan secara mendasar. Bukan membenahi di tingkat Kota atau Kabupaten dengan Perda Kota Ramah HAM. Tapi dengan mengganti sistem sekuler ini dengan sistem yang mampu menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat dengan batasan yang jelas dan tegas.

Hanya sistem khilafah satu-satunya pilihan yang memenuhi kriteria di atas. Sistem yang akan menyelesaikan masalah yang ditimbulkan dari kesalahan konsep HAM. Khilafah dengan syariat Islam yang kaffah, menjadikan akidah Islam sebagai dasar negaranya. Syariat Islam dijadikan sebagai standar pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban masyarakat. Halal dan haram dijadikan satu-satunya standar perbuatan. Syariat Islam yang berasal dari alquran dan assunah yang tidak pernah diamandemen oleh lembaga manapun. Bahkan dijaga keotentikannya langsung oleh Allah Swt. Sehingga tidak terjadi perbedaan pemahaman tentang konsep hak di lingkungan masyarakat maupun para penguasa. Konflik antar masyarakat dapat diminimalisir. Sesuai kaidah ushul fikih:

الأَصْلُ فِي اْلأَفْعَالِ التَّقَيُّدُ بِحُكْمِ اللهِ

“Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum Allâh.”

Tidak hanya memiliki konsep hak yang jelas, dalam sistem khilafah, negara berkewajiban untuk menjamin hak-hak masyarakat agar terpenuhi dengan sempurna. Karena Allah Swt. memerintahkan kepada khalifah, selaku kepala negara di sistem khilafah, menjadi pengurus rakyatnya dan bertanggungjawab atas segala hak rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. berikut:

الإمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Oleh karena itu, tidak perlu ragu lagi untuk mencampakkan sistem sekuler dari kehidupan. Segera beralih ke sistem khilafah yang menyelesaikan segala problematika umat. Wallahua’lam. []


Oleh: Vinci Pamungkas

Posting Komentar

0 Komentar