Sektor infrastruktur menjadi salah satu fokus utama era Jokowi. Meski ekonomi masih dalam proses pemulihan akibat pandemi Covid-19, pemerintah tetap ‘ngebet’ melanjutkan. Menurut ahli ekonomi Fuad Bawazier, pemerintah perlu selektif karena mayoritas pembangunan infrastruktur hanya menambah beban negara. (Republik Merdeka, 12/10/21)
Sebagaimana proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung menuai kritik publik. Sebabnya, Pemerintahan Joko Widodo berubah haluan karena membuka peluang gunakan dana APBN karena mengalami pembekakakan biaya.
Pembangunan jalan tol yang selalu dibanggakan pun berakhir ’dijual’. Seperti pada 2017 lalu, Menteri BUMN Rini Soemarno kala itu memerintahkan PT Waskita Karya (Persero) Tbk untuk menjual ruas jalan tol yang sudah jadi. (tirto.id, 10/11/17).
Ambisi pembangunan infrastruktur yang menelan biaya fantastis membuat pemerintah mengambil alternatif ini, yakni mengadopsi sistem ‘bangun-jual’ dari Cina. Ini menjadi cara baru BUMN dalam mencari sumber pendanaan agar tak memberatkan APBN. Strategi ini juga ternyata tak lepas dari kritik di antaranya dari kalangan parlemen yang menganggap sistem ‘bangun-jual’ proyek infrastruktur dikaitkan dengan anggapan menjual aset BUMN.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Azman Natawijana khawatir apabila infrastruktur tersebut diswastanisasi maka sasaran dalam pasal-pasal di UUD tentang kesejahteraan rakyat menyangkut sarana dan prasarana perekonomian tidak bisa tercapai. “Jangan sampai membuat defisit APBN dan menjual aset negara untuk memenuhi hasrat ambisinya,” kata Azam kepada Tirto. (Tirto.id/11/17)
Bak kotak pandora, jaminan keuntungan pembangunan infrastruktur yang terlalu terlalu muluk kini menyisakan kekecewaan. Janji terlalu manis pada akhirnya terasa getir karena hanya menyisakan utang dan menggorogoti APBN. Ambisi pembangunan hasil lobi sana sini yang tak tepat pada akhirnya tak terasa bermanfaat bagi rakyat.
Dugaan proyek ini dimanfaatkan oleh segelintir orang pun tak terelakkan. Sistem ‘bangun-jual’ memberi peluang besar swastanisasi. Jika akhirnya pihak swasta yang mengelola semua sarana itu, maka rakyat harus membayar lebih hanya untuk menikmati fasilitas negeri berupa jalan bebas hambatan. Apakah ini yang disebut pembangunan yang dijiwai mandat mengurus rakyat?
Konsep pengelolaan fasilitas publik demikian tak lepas dari prinsip kapitalistik yang menjunjung tinggi profit semata. Bermanfaat atau tidak, yang penting ada cuan di sana. Peran lembaga negara yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, justru berubah menjadi badan bisnis yang bergandengan tangan dengan para kapitalis korporat. Negara hanya sebatas regulator bagi kepentingan mereka. Alih-alih untuk kesejahteraan rakyat, kebijakan yang digulirkan hanya untuk memuaskan keserakahan segelintir orang.
Prinsip ini sangat berlawanan dengan Islam. Islam mengatur terkait sektor infrastruktur negara berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan berdasarkan hukum hasil ‘gesek’ sana-sini. Baitul mal sebagai jantung perekonomian diatur secara detail oleh syariat agar aset publik tetap terjaga dan mengeliminir pembangkrutan negara.
Kemandirian negara sangat ditekankan oleh Islam dengan pengalokasian dana negara yang sempurna yang diatur langsung oleh Allah SWT melalui risalah nabi-Nya, agar tidak terjadi intervensi asing yang hendak meraup keuntungan semata dan kepentingan politik mereka.
Agar tidak seperti sistem hari ini, peran investor asing jelas menjadi benalu di berbagai megaproyek negara. Kedaulatan menjadi problem nyata keterlibatan perusahaan-perusahaan asing pada proyek strategis Indonesia. Sistem kapitalis di negeri kita bekerja nyata. Peran negara tak lain menjadi pelaku bisnis dan rakyat semakin terjarah.
Sudah saatnya Islam menjadi penawar dari berlarutnya problem pembangunan negeri ini. Masihkah kita berharap pada kapitalisme dengan berbagai permasalahan ini?[]
Oleh: Safina An-Najah Zuhairoh An-Nafi’i
0 Komentar