Mobil listrik Hyundai Genesis G80 dipilih pemerintah Indonesia sebagai mobil resmi VIP bagi para pemimpin negara yang akan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali pada kuartal akhir 2022. KTT G20 ini mengambil tema "Recover Together, Recover Stronger" (merdeka.com, 26/10/2021).
Informasi tersebut disampaikan langsung Presiden Indonesia Joko Widodo di pameran "The Future EV Ecosystem for Indonesia", kemarin (25/10). Di momen yang sama, presiden turut menyampaikan road map atau peta jalan masa depan kendaraan listrik dan berbagai kebijakan ramah lingkungan di Tanah Air.
Merek otomotif asal Korea ini juga telah membangun pabrik Hyundai Motor di Deltamas, Cikarang, Jawa Barat dan Bekasi. Pabrik yang akan berproduksi pada akhir tahun ini tidak hanya memenuhi pasar domestik, tapi juga kawasan ASEAN.Terdapat 4 hal yang mendorong investor untuk turut serta menjadikan Indonesia sebagai ekosistem mobil listrik.
Pertama, Indonesia merupakan market yang besar. Berdasarkan hasil sensus BPS tahun 2020, jumlah penduduk Indonesia mencapai 270.203.917 jiwa, tentu saja ini merupakan pangsa pasar yang amat besar. Kedua, Indonesia memiliki 80% bahan baku baterai.
Ketiga, kemudahan berusaha di Indonesia pasca penetapan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah membuat birokrasi perizinan terpusat. Keempat, untuk membentuk ekosistem mobil listrik di Indonesia, pajak pun dibebaskan, khususnya kendaraan listrik berbasis baterai, sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 74 Tahun 2021.
Inilah realitas yang tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran kendaran listrik yang menurut klaim penguasa untuk mengurangi emisi karbon, justru makin menjebak pengendara kendaraan di Indonesia. Terdapat 4 alasan mengapa pengendara makin dibebani dengan keharusan mengonversi kendaraan konvensional ke listrik.
Pertama, biaya yang harus dikeluarkan pengendara pemilik motor konvensional mahal, berada pada kisaran Rp11,5 juta - Rp19,9 juta. Sedangkan mobil, pengendara harus merogoh kocek senilai Rp600 juta - Rp4,4 miliar tergantung keamanan, inovasi, merek, kecepatan tempuh, dan ini makin memberatkan pemilik kendaraan, seperti yang dilansir Liputan6.com, (20/5).
Kedua, minimnya stasiun pengisian daya, sehingga mempersulit pengendara. Bukankah kendaraan listrik mengharuskan setiap 50 km pengendara harus mengisi daya. Ketiga, daya beli pengendara yang sangat rendah menjadi faktor utama minimnya minat pengendara Indonesia terhadap kendaraan berbasis listrik (KBL).
Keempat, pengendara terpaksa dan dipaksa untuk beralih ke kendaraan listrik karena dihadang oleh regulasi untuk uji emisi khusus kendaraan diatas 3 tahun. Pengendara yang melanggar kewajiban uji emisi atau tidak lolos uji maka akan dikenakan Pasal 285 UU Nomor 22 Tahun 2009 berupa pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250 ribu.
Sedangkan untuk kendaraan roda empat, pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp500 ribu sesuai ketentuan Pasal 286 dan dipertegas dengan Pergub DKI Jakarta Nomor 66 Tahun 2020 tentang uji emisi gas buang.
Inilah hasil kolaborasi antara pemerintah pusat, Pemprov DKI Jakarta dan seluruh stakeholder agar dapat mewujudkan transportasi terintegrasi yang lebih optimal dan terciptanya fasilitas integrasi fisik kelas dunia, khususnya di wilayah Ibukota meski harus mengorbankan rakyat.
Agar keinginan dan harapan penguasa terwujud, salah satu syarat yang harus ditempuh Pemprov DKI Jakarta dengan integrasi transportasi berkelas dunia adalah mengganti seluruh moda konvensional menjadi moda berbasis listrik, ini merupakan rekomendasi dari Institute for Transportation Development Policy (ITDP) yang telah menganugerahi Jakarta penghargaan sebagai kota transportasi terbaik di dunia.
Olehnya, Pemprov DKI Jakarta pun telah mengajukan anggaran untuk pembangunan infrastruktur hingga 2030 dengan 9 proyek yang menjadi prioritas untuk mendukung kebijakan integrasi transportasi berbasis listrik antarmoda, yakni senilai Rp571 triliun (detik.com, 10/4/2019).
Proyek yang dimaksudkan di antaranya, pembangunan jaringan MRT sebesar Rp214 triliun, pengembangan jaringan rel LRT senilai Rp60 triliun, pengembangan panjang rute TransJakarta senilai Rp10 triliun, pembangunan jaringan rel elevated loopline senilai Rp27 triliun, penyediaan pemukiman hingga 600.000 unit senilai Rp90 triliun dan revitalisasi angkot hingga 20.000 unit, senilai Rp4 triliun.
Penguasa berdalih pelaksanaan proyek integrasi antarmoda transportasi bukan hanya memangkas waktu tempuh, menghemat biaya perjalanan dan mempermudah mobilitas orang serta barang. Namun, juga untuk mewujudkan target pengurangan emisi karbon sampai dengan 29 persen.
Bahkan pidato kenegaraannya di Gedung MPR/DPR, Jumat (16/8/2019), Presiden Joko Widodo menyebutkan keinginannya akan industri otomotif berbasis listrik dengan tujuan untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% pada 2030 (unair.ac.id, 20/8/2019).
Bukan hanya itu, BloombergNEF (BNEF) mengaku, mobil listrik menghasilkan lebih sedikit emisi karbon jika digunakan dalam jangka panjang. Perbedaan besar emisi ini bahkan dapat mencapai 40%.
Namun, penelitian lain justru menunjukkan bahwa KBL memiliki dampak yang tidak kalah buruk bagi lingkungan. Harapan penguasa untuk mengurangi emisi karbon dengan KBL yang ramah lingkungan justru jika dilihat dari hasil penelitian di beberapa negara menunjukkan hasil yang sebaliknya.
Hasil riset yang dilakukan di Tiongkok menunjukkan hasil yang mengejutkan. Dalam sebuah jurnal dari University of Michigan Transportation Research Institute, kendaraan dengan bahan bakar fosil dengan konsumsi bahan bakar yang kurang dari 14,3 km/liter menghasilkan emisi lebih rendah daripada kendaraan bermotor listrik.
Penelitian lain dari Harvard University dan Tsinghua University di Beijing menunjukkan bahwa produksi mobil berbasis listrik di Tiongkok melepaskan emisi gas rumah kaca yang 50% lebih besar daripada kendaraan konvensional (unair.ac.id, 20/8/2019).
Itulah sebabnya polemik terus bermunculan. Hal itu karena klaim penguasa terbantahkah oleh hasil penelitian Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung yang menyebutkan bahwa sektor terbesar penyumbang emisi berasal dari perubahan fungsi hutan menjadi non-hutan, yakni sebesar 48 persen bukan transportasi (beritasatu.com, 24/5/2012).
Namun motif utama penguasa dengan ngototnya mengonversi kendaraan konvensional ke kendaraan listrik, karena besarnya keuntungan nilai investasi yang didapatkan. Menurut Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, Indonesia akan menjadi pusat ekosistem mobil listrik dunia. Sebab, aliran modal mencapai US$ 8,7 miliar atau setara Rp123,97 triliun (kurs Rp14.250).
Sedangkan, Konsorsium Hyundai-LG dan IBC menanamkan investasi dengan membangun pabrik baterai mobil listrik di Karawang, Jawa Barat, dengan nilai US$ 1,1 miliar atau setara Rp15, 95 triliun dan pabrik mobil listrik Hyundai pun telah terbangun di Bekasi dengan modal sebesar Rp 21 triliun (kontan.co.id, 18/9/2021).
Demikian alasan sebenarnya dari penguasa mengundang investor berbondong-bondong menanamkan uangnya di Indonesia dengan segudang privilege. Di antaranya, pembebasan pajak dan dukungan regulasi UU Cipta Kerja yang mampu mengakomodasi kepentingan pemodal secara mudah dan leluasa. Keseriusan pemerintah pusat sebagai regulator dan fasilitator bagi investor asing disambut hangat pemerintah daerah, khususnya Pemprov DKI Jakarta dengan membuka seluruh keran penghambat investasi.
Ini merupakan bukti bahwa sulit sekali para pemangku kepentingan menunjukan kapabilitasnya dalam mengelola aset negara. Penguasa lebih suka mengambil langkah taktis-pragmatis untuk memperoleh dana segar, entah dengan cara menjual aset negara, memberi akses kepada pihak asing dan swasta atau negara penjajah untuk menguasai kekayaan alam agar mereka mau berinvestasi di negeri ini.
Bercermin pada realitas di atas, sudah saatnya rakyat memutus kepercayaan mereka kepada penguasa zalim. Dari fakta di atas, tampak bahwa negeri ini adalah representasi kegagalan sistem demokrasi-kapitalistik dengan menggunakan legitimasi hukum untuk menunjukkan kuasa mereka. Proyek kendaraan listrik dan eksploitasi bahan baku baterai adalah langkah jitu untuk melegalkan dan menghidupi oligarki yang sedang sekarat, wallahu a'lam bishawab.
Oleh Rabihah Pananrangi
0 Komentar