Laut bukan hanya sumber kehidupan bagi manusia, namun juga merupakan rumah bagi berbagai makhluk hidup. Oleh karena itu, penting bagi kita menjaga kelestariannya. Tapi jika menyaksikan fakta saat ini, banyak sekali terjadi pencemaran dan justru disebabkan oleh tangan-tangan manusia tidak bertanggung jawab.
Sebuah artikel berjudul “Konsentrasi Tinggi Paracetamol dalam Limbah yang Mendominasi Perairan Teluk Jakarta, Indonesia” di laman jurnal sciencedirect.com., mengungkap bahwa Pesisir Laut Jakarta tercemar. Jurnal tersebut ditulis peneliti Oseanografi LIPI, Wulan Koagouw, Zainal Arifin, George WJ Olivier dan Corina Ciocan. Penelitian itu melibatkan sampel dari empat wilayah teluk di Jakarta dan satu dari wilayah teluk di Jawa Tengah (cnnindonesia.com, 1/10/2021).
Dari hasil penelitian tersebut, terungkap fakta bahwa kandungan paracetamol di wilayah Ancol mencapai 420 nanogram per liter. Bahkan, di Angke mencapai 610 nanogram per liter. Berdasarkan hasil studi pendahuluan (preliminary study) dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan University of Brighton (UoB) Inggris, jika dibandingkan dengan pantai-pantai di negara lain, konsentrasi paracetamol di Teluk Jakarta relatif tinggi (420-610 ng/L) dibanding di pantai Brazil (34. 6 ng/L) dan pantai utara Portugis (51.2 - 584 ng/L) (cnnindonesia.com, 5/10/2021).
Alih-alih siap sedia, pemprov justru menanggapi dengan santai. Dilansir dari laman kompas.com, 2/10/2021, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria mengungkapkan bahwa laporan itu merupakan temuan lama, yakni 14 Juli 2021. Ariza justru menduga kandungan parasetamol di Teluk Jakarta berhubungan dengan pandemi Covid-19.
Padahal kenyataannya, walaupun laju kontaminasi Covid-19 melanda hampir dua tahun terakhir. Namun, bukan penyebab utama perairan tercemar zat kimia seperti paracetamol. Laman bbc.com, 22/10/2021, mewartakan bahwa paracetamol bukan satu-satunya limbah obat-obatan atau farmaseutikal yang ditemukan di perairan Jakarta. Pada 2016, Dsikowitzky dan kawan-kawan menemukan konsentrasi kafein dan ibuprofen yang relatif tinggi dalam sampel air dari sungai-sungai di Jakarta.
Dari temuan itu menunjukkan bahwa pencemaran perairan terjadi sejak lama, bukan karena Covid-19 semata. Pertanyaannya, mengapa ini bisa terjadi? Apakah hasil penelitian tidak segera ditindaklanjuti oleh pemprov maupun pemerintah? Padahal pada tahun 2013, Prof. Agung Dhamar Syakti, dari Universitas Maritim Ali Haji, sudah menemukan kontaminasi limbah obat. Dia mengatakan bahwa temuan perairan yang tercemar limbah obat-obatan seharusnya mendorong pemerintah untuk melakukan kajian dasar. Selain itu, meninjau kembali Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no. 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut.
Kemudian, Profesor Agung mengatakan bahwa emerging pollutant dapat berdampak pada biota laut. Salah satu dampak yang telah dipelajari adalah "endocrine disruptor" yang mengakibatkan perubahan jenis kelamin pada ikan. Sayangnya, senyawa-senyawa tersebut belum dianggap sebagai polusi menurut peraturan di Indonesia, karena belum ditetapkan baku mutunya (bbc.com, 22/10/2021).
Selain itu, dilansir dari detik.com, 2/10/2021, dalam literatur ilmiah menunjukkan bahwa konsentrasi paracetamol yang tinggi bisa meningkatkan kekhawatiran tentang risiko lingkungan yang terkait dengan paparan jangka panjang. Dampak berbahaya itu terutama pada peternakan kerang di dekatnya.
Tentunya, kekhawatiran masyarakat dengan adanya temuan ini sangat beralasan. Pasalnya, salah satu sumber protein dalam menu makanan sehari-hari berasal dari laut. Jika laut tercemar, tentu akan sangat berpengaruh pada kesehatan.
Terkait kasus kandungan paracetamol di laut Jakarta, menurut Penrliti LIPI, Zainal Arifin, hal tersebut salah satunya diduga karena manajemen penanganan limbah rumah tangga yang kurang baik dan membuat kotoran tidak terurai sempurna. Karena, apabila kita konsumsi obat secara berlebihan, maka akan terbuang melalui air seni atau feses kita kemudian masuk ke septic tank. Apalagi, di masyarakat ekonomi lemah, sistem pengelolaan limbahnya langsung dibuang ke sungai.
Fakta tersebut merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah pusat maupun pemprov untuk menyediakan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) domestik dan jaringan perpipaan yang memadai. Karena kenyataannya, dilansir dari laman bbc.com, 22/10/2021, menurut sebuah kajian pada tahun 2015, baru 2% rumah tangga di Jakarta yang terhubung dengan sistem pengolahan air limbah terpusat. Sekitar 16% populasi menggunakan pengolahan limbah individu, mengolah air limbah mereka di septic tank sebelum menyalurkan air ke selokan sebanyak 71%. Kemudian 11% penduduk urban, terutama di daerah kumuh, membuang air limbah langsung ke sungai.
Dari fakta dan analisis di atas, sesungguhnya masalah pencemaran perairan tersebut ibarat gunung es. Mulai diakibatkan dari penanganan pandemi yang karut-marut, limbah obat-obatan yang tidak tertangani dengan baik, hingga sistem pengolahan limbah rumah tangga yang tidak bagus. Belum lagi kapitalisasi pasar produsen obat dan sektor farmasi oleh swasta yang kian pesat. Menyebabkan peredaran obat-obatan kurang terpantau. Problem tersebut semakin kacau karena kebijakan yang mengatur lebih condong pada oligarki.
Teknologi farmasi saat ini memang penuh inovasi. Seiring dengan perkembangannya, dunia memasuki revolusi industri dengan munculnya berbagai industri-industri obat. Sayangnya, tidak diikuti dengan sistem pengolahan limbahnya. Industrialisasi tersebut digeber habis-habisan oleh sistem kapitalisme yang diadopsi bangsa ini. Sistem kapitalisme terus menggenjot produksi, demi gemuknya pundi-pundi para kapital. Kapitalisme mengabaikan alam yang makin rusak, sehingga timbul berbagai masalah dan bencana. Parahnya, kesejahteraan ekonomi pada segelintir orang telah menciptakan gaya hidup yang semakin abai terhadap lingkungan.
Sungguh ironi, kapitalisasi dan liberalisasi di sektor-sektor tersebut justru memiliki ruang yang subur dalam sistem kehidupan sekuler kapitalisme hari ini. Dari kenyataan itu jelas menunjukkan kelalaian negara. Tapi mau bagaimana, memang watak asli sistem kapitalisme tidak mempertimbangkan baik-buruknya dampak bagi lingkungan. Keuntungan melimpah adalah tujuan utamanya.
Fakta tersebut sangat berbeda dengan sistem Islam yang agung. Peradaban Islam membuktikan bagaimana menjaga kelestarian air dan lingkungan. Selain itu juga menyediakan segala infrastruktur yang dibutuhkan. Kota-kota Islam saat itu sudah memiliki sistem manajemen dan pasokan air yang sangat maju untuk mengalirkan air ke semua tujuan.
Pada abad ke-10, jauh sebelum Barat mengenal toilet seperti saat ini. Umat Islam-lah yang mengajarkan tata cara bersuci kepada bangsa Eropa. Pada abad ke-13, ilmuwan Muslim al-Jazari, menulis sebuah buku yang menjelaskan perangkat mekanis, termasuk alat untuk berwudhu. Air adalah pembersih utama dalam tradisi Islam. Toilet pada masa kejayaan Islam di Abad Pertengahan merupakan model toilet ‘basah’ seperti sekarang.
Dari fakta di atas, jelas permasalahan terkait pencemaran laut ini hanya akan selesai dengan solusi Islam, tentu ditopang oleh sistemnya yang berasal dari Allah Swt. yaitu sistem Khilafah. Penerapan Islam akan mewujudkan rahmatan lil ‘alamin. Sehingga, industrialisasi dalam Khilafah juga akan mewujudkan rahmat bagi semesta. Industri dalam negara Khilafah tidak merusak alam. Khilafah juga akan mengembangkan energi yang ramah lingkungan dengan dukungan dana dari pos fai’ wa kharaj. Sumber dananya berasal dari hasil pengelolaan kekayaan alam.
Oleh karena itu, dengan sistem Khilafah, menciptakan industri ramah lingkungan bukan hanya mimpi. Dengan penerapan Islam kaffah, kebaikan dirasakan manusia, hewan-hewan, tumbuhan, dan seluruh alam. Jelaslah bahwa khilafah mewujudkan rahmatan lil ‘alamin, wallahualam bishawab.
Oleh Anggun Permatasari
0 Komentar