Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN, Otoriterianisme Merambah Dunia Riset?



Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik anggota Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarno Putri didapuk menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN. Menteri Keuangan, Sri Mulyani dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfo menjadi Wakil Ketua Dewan Pengarah BRIN ex-officio.

Turut dilantik juga pengusaha yang juga bos Garudafood Sudhamek Agoeng Waspodo Soenjoto menjadi Sekretaris Dewan Pengarah BRIN. Seperti diketahui bahwa BRIN merupakan lembaga baru yang dibentuk Jokowi menggantikan Kementerian Riset dan Teknologi yang dilebur bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021, BRIN memiliki tugas membantu presiden dalam menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan, serta invensi dan inovasi secara nasional yang terintegrasi. Selain itu melakukan monitoring, pengendalian dan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) (Kontan.co.id,14/10/2021).

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menugaskan sejumlah pelaksana tugas kepala organisasi riset yang merujuk pada lembaga pemerintah non kementerian (LPNK) dan unit penelitian dan pengembangan dari kementerian/lembaga lain yang diintegrasikan ke dalam struktur organisasi BRIN. Sebanyak empat LPNK diintegrasikan ke dalam tubuh BRIN yakni LIPI, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Selain itu, sebanyak 44 unit penelitian dan pengembangan dari kementerian/lembaga lain juga dialihkan ke BRIN (suara.com, 2/9/2021).

Banyak pihak merespon hal ini, seperti dilansir dari CNNIndonesia.com, 14/10/2021, adanya sinyalemen meresahkan masyarakat ilmiah, pasca ditunjuknya Megawati. Hal ini lantaran dianggap tidak memiliki latar belakang keilmuan dan kompetensi. Sehingga, tetap perlu didampingi kalangan ilmuwan yang profesional, ujar anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Berry Juliandi.

Kritik keras juga diberikan oleh guru besar UIN Syarif Hidayatullah, seperti dikutip dari detikNews,13/10/2021, Azyumardi Azra, melalui akun Twitternya menilai, semestinya posisi Dewan Pengarah dipegang oleh peneliti kaliber internasional. Itu jika BRIN mau serius melakukan riset atau inovasi unggul. Tidak pada tempatnya Ketua Dewan Pengarah BRIN adalah ketum parpol yang tidak punya kepakaran soal riset dan inovasi. Boleh jadi BRIN menjadi alat politik. Jika BRIN seperti itu, nantinya bisa bernasib seperti BPIP. BPIP, menurutnya, menjadi partisan dan membuat kepercayaan publik hilang.

Bahkan, dalam kanal beritasatu.com,19/8/2021, Azyumardi Azra menyebut kebijakan ini sebagai negara yang rakus (greed state). Negara yang rakus itu adalah negara yang ingin menguasai segala sesuatu. Peleburan ini akan menyalahi kebijakan otonomi ilmu pengetahuan dewasa ini.

Bahkan, Menurut Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI 2006-2011 Jan Sopaheluwakan, lanskap iptek di Indonesia dewasa ini kian tidak jelas. Iptek didikte para politikus dan dihela oleh kepentingan politik yang transaksional. Ini membuat arah kebijakan iptek amat pragmatis dan tidak sinkron.

Terlebih, diambil dari laman LIPI.go.id, 27/1/2021 Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko, menyebut bahwa saat ini produktifitas riset Indonesia masih rendah. Dalam hal ini Handoko menyampaikan bahwa upaya meningkatkan produktifitas riset dan inovasi Indonesia sangat memerlukan ketersedian sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.

Dari Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Satryo Soemantri Brodjonegoro menilai, meskipun riset terus berjalan dan berkembang di Indonesia dan banyak temuan dan inovasi lahir dari hasil riset di Indonesia, sayangnya masih belum ideal. Kecepatan dan perkembangan riset di Indonesia tidak secepat di negara lain yang lebih maju. Padahal, dia menyebut banyak peneliti asal Indonesia yang dihormati di dunia internasional. Satryo menyebut ekosistem riset di Indonesia belum mendukung. Misalnya, dana riset yang ada tidak didukung dengan sistem keuangan yang memadai. Di negara lain dana riset 2-3 persen dari GDP, sementara di Indonesia masih 0,08 persen GDP, masih jauh dibawah mereka (CNNIndonesia.com, 26/4/2021).

Maka tidak heran, Indeks Inovasi Global 2020, Indonesia berada di peringkat 85 dari 131 negara, tidak berubah sejak 2018. Indonesia hanya menempati posisi ke-14 dari 17 negara di Asia Tenggara, Asia Timur, dan Oseania (cnbcIndonesia.com, 13/4/2021).

Dalam kesempatan lain, Satryo juga menjabarkan terkait peleburan atau pengintegrasian lembaga penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (Litbangjirap) ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah kemunduran ilmu pengetahuan teknologi (Iptek) dan inovasi di Tanah Air. Cara tersebut menghilangkan esensi kegiatan riset dan inovasi. Kemunduran iptek dan inovasi bisa terjadi jika ihwal ini berada dalam kendali penuh BRIN. Apalagi, pendekatan yang digunakan sangat birokratis dan penganggaran yang sudah didesain BRIN saat ini (sindonews.com, 1/9/2021).

Alih-alih menghasilkan inovasi dalam penelitian, malah terseok-seok mensinkronkan arah penelitian dalam lembaga raksasa yang besar karena terkumpul dalam satu pintu BRIN. Jika kita berbicara tentang Riset atau penelitian, menurut beberapa ahli seperti Suhardjono, dkk, mengutip dari buku Metodologi Penelitian Pendekatan Kuantitatif (2021) karya Abd. Mukhid, dituliskan pengertian penelitian menurut Suhardjono,  adalah upaya pencarian informasi untuk memecahkan suatu masalah dengan metode ilmiah. Menurut Kerlinger, penelitian merupakan proses penemuan informasi secara sistematis dan terkontrol yang didasarkan pada hipotesis dan teori.

Sehingga, tidak sembarang orang yang bisa didapuk sebagai pejabat yang mengarahkan hal ini. Karena perlu pengalaman dan kompetensi khusus yang terkait dengan penelitian dan kebutuhan terkait benda atau hal yang diteliti. Tatkala Megawati Soekarnoputri yang sebelumnya sudah didapuk sebagai ketua dewan pengarah BPIP dan sekarang diarahkan pula menjadi ketua dewan pengarah BRIN sangat wajar bermunculan spekulasi "aji mumpung". Terkait hal ini, maksudnya mumpung berkuasa dan arahan menuju otoritarianisme negara cukup kental dengan mengarahkan semua lini ke satu pintu kekuasaan.

Hal ini juga disampaikan akademisi dan pengamat politik, Rocky Gerung. Dia menyebut negara Indonesia kini sedang mengarah ke otoriter, di mana ada dewan pengarah yang mengarahkan ideologi. Ia menyebut hal tersebut merupakan kekerasan verbal. Rocky menjelaskan dengan adanya dewan pengarah, artinya BRIN ada yang mengarahkan, agar tidak mengarah ke mana-mana. Padahal sebagai lembaga riset, BRIN membutuhkan berbagai macam perspektif dan tidak bisa hanya dari satu arah. Lebih lanjut, Rocky mengatakan itulah yang membuat negara menuju pada otoriter (galamedianews.com, 14/10/2021).

Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto menyebut Indonesia telah memenuhi empat kriteria negara penganut otoritarianisme lewat sejumlah kebijakan pemerintah (CNNIndonesia.com,14/6/2020).

Salah satunya ditunjuknya Megawati yang merupakan ketua umum partai yang berkuasa di negeri ini, menjadi ketua dewan pengarah dua lembaga bergengsi sekaligus yakni BPIP dan BRIN. Sehingga, dominasi kekuasaan akan semakin kuat ke depannya, termasuk dalam masalah riset (penelitian) ilmiah.

Hal ini sangat berbeda secara diametral dengan Islam. Pada masa kejayaan peradaban Islam, negara tidak melakukan intervensi langsung ke dalam aktifitas riset para ilmuwannya, tapi memfasilitasi dan mendukung secara  penuh terkait hal ini. Sehingga, menghasilkan Ilmuwan-ilmuwan Islam yang masih harum namanya hingga saat ini. Siapa yang tidak mengenal Aljazari (Bapak robotic), Ibnu Al haytam (Bapak optik), al-idrisi (geografer dan kartografer, bapak peta dunia ), Al-zhrawi(Fisikawan), Abbas Ibnu Firnas (peletak dasar dunia penerbangan), Ibnu Sina (Bapak kedokteran) dan masih banyak lagi yang lain.

Maka, intervensi politik tidak seharusnya dominan dalam sebuah riset dan penelitian, tetapi terbukanya ruang riset dan suasana riset yang didukung penuh negara dengan fasilitas, pendanaan yang optimal akan menghasilkan negara yang maju dan mumpuni untuk menghasilkan karya dan siap menjadi rujukan peradaban, bukan negara yang hanya menjadi konsumen dan menunggu hasil riset negara lain, Wallahu a'lam bi asshawwab.


Oleh Hanin Syahidah

Posting Komentar

0 Komentar