"Women support women" adalah sebuah slogan yang kita kenal saat ini untuk membela sesama kaum perempuan. Karena tidak dipungkiri, hari ini perempuan kerap menjadi korban kekerasan. Termasuk kekerasan yang terjadi di dunia kampus. Atas dasar itulah, Permendikbudristek no 30 tahun 2021 dikeluarkan.
Pada pasal 5 no 30 tahun 2021 terdapat poin, jika dilakukan sama-sama suka dan rida, maka gas aja. Mengingat tren sexual consent, kata: Tanpa persetujuan korban, tidak disetujui korban, memaksa atau memperdayai (detik.com, 10/11/2021) terus diulang pada permen ini.
Belakangan kita tidak lagi asing dengan masifnya kampanye "my body my authority", "love my self", selangkangan urusan private bukan negara" dll. Dua hal ini menjadi perpaduan yang sangat klop. Jika kasusnya tidak menjadi kekerasan seksual. Dilakukan dengan asas suka sama suka atau saling rida maka tidak perlu diusut karena hal itu termasuk pada ranah privasi. Negara tak perlu andil di sana.
Negara hanya difokuskan saja pada kekerasan seksual. Maksudnya, berzina tidak menjadi problem asal sama-sama suka. Aborsi tidak masalah pula jika dilakukan secara sadar tanpa tekanan. Sehingga, apapun, jika itu membela kaum wanita atas nama kekerasan, adalah sebuah keadilan.
"Kalau hubungan seks dengan persetujuan enggak dilarang, bukan berati semua mahasiswa nge-se*s dong?" Bunyi cuitan dari @muslimahreformisf********n. Pernyataan tersebut sebenarnya lucu sekaligus munafik. Mari cek, tidak ada legalitas perzinaan namun sudah banyak memakan korban. Terjadinya pembunuhan pada pasangan, merusak kehormatan dan psikologis perempuan, membunuh janin, dll. Eljibiti yang dilarang secara kultur namun kini banyak berkembang. Merupakan dampak dari legalnya perzinaan tersebut. Maka bisa saja setelah legalitas permen ini sudah diketok, mereka makin gencar mencari kader perjuangan.
Ketimpangan di atas terjadi akibat pola pikir liberal. Standar baik dan buruk ditimbang dari manfaat dan kepuasan yang dirasa oleh manusia. Mempercayakan keputusan besar dengan akal manusia yang terbatas dan penuh nafsu dunia karena bebas dari aturan agama. Niatnya membela korban, tapi sayang, ternyata membawa air bah baru bagi polemik kemanusiaan.
Ganti Sudut Pandang Sekularisme dengan Islam
Jika standar halal dan haram menjadi acuan, tentu permen ini menjadi wadah perzinaan. Dalilnya jelas, al isra ayat 32 : "Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk".
Allah sudah mewanti-wanti kita, apa saja yang mendekati perzinaan adalah sebuah larangan. Misal pacaran, kholwat (berdua-duaan), ikhtilat (bercampur baur) dan membuka aurat adalah sesuatu yang dilarang. Baik dilakukan pada ranah publik atau privasi. Baik dilakukan secara suka, dengan persetujuan, dan sadar. Tetaplah dilarang.
Aktifitas zina sangat besar dampak dan juga dosanya. Dampaknya seperti meniadakan nilai sakral dalam pernikahan, memutus nasab, berpeluang besar melakukan aborsi dan memiliki penyakit kelamin serta mengalami gangguan psikologis (Republika, 24/10/2020).
Dosa zina adalah dosa yang sangat besar. "....dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya) (68) (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina (69)." (QS Al-Furqan: 68-69).
Allah pun sudah menetapkan sanksinya di dunia dengan rajam dan jilid, "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kamu kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman." (QS. An-Nur: 2).
Sanksi ini hanya dapat dilaksanakan oleh aparat negara. Pelaksanaan hukumnya dilakukan secara terbuka. Ini menunjukkan keseriusan Allah dalam bingkai negara menjaga manusia. Sebab hukum yang diterapkan memiliki efek jera bagi mereka yang gemar melakukan perzinahan. Pandangan ini sangat dihindari oleh mereka yang gemar maksiat sehingga menginginkan aturan islam jauh dari kehidupan bernegara.
Lantas bagaimana nasib korban?Bagaimana negara mengatur agar kekerasan seksual berhenti? Islam tidak bisa dikerdilkan dengan wacana hanya dapat diterapkan dalam ranah privasi. Namun, Islam hakikatnya ikut andil dalam urusan negara. Islam hadir bukan sekedar memberi sanksi. Namun perangkat aturannya dapat mencegah terjadinya kekerasan seksual.
Paling tidak, ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh negara agar tidak terjadi kekerasan seksual. Pertama, negara pendidikan berbasis aqidah islam. Alih-alih fokus pada keilmuwan, pendidikan karakter dengan asas aqidah islam harus dilakukan. Harapannya terbentuk generasi yang memiliki akhlak, menjaga kemaluan dan memahami kemuliaannya dihadapan rabb-Nya. Sebab takut terhadap siksa Allah di yaumil akhir nanti.
Kedua, negara mengcounter segala hal yang bisa membangkitkan syahwat manusia. Seperti diberhentikannya film, drama, lagu yang mengajak pada aktifitas pacaran dan perzinaan.
Ketiga, negara ikut andil menjaga pergaulan antara lawan jenis di ranah publik. Seperti pemisahan transportasi laki-laki dan perempuan. Turut serta mengedukasi laki-laki untuk menghormati, menjaga dan memuliakan perempuan. Begitu juga sebaliknya. Agar terjadi kehidupan yang rukun dan tolong menolong dalam bermasyarakat.
Keempat, negara membantu administrasi pernikahan. Seperti yang pernah dilakukan khalifah harun arrasyid. Dimana negara membayar mahar pemuda yang tidak memiliki biaya pernikahan.
Kelima, negara menerapkan jilid dan rajam. Sebab sanksi itu dapat memberi efek jera dan juga sebagai penggugur dosa.
Keenam, jika terlampau terjadi. Negara wajib menyediakan konsultasi untuk korban. Menanamkan aqidah islam. Memahamkan bahwa Allah mengukur kemuliaan tergantung dari ketaqwaan yakni terikat pada hukum quran. Mengikut sertakan masyarakat dalam penjagaan dan pembinaan pada korban.
Setidaknya itulah sedikit gambaran tentang peran negara. Kita tidak akan pernah dapati negara yang loyal memberikan perlindungan, penjagaan dan pengayoman seperti dalam negara Islam. Sebab asas demokrasi adalah kebebasan. Standar hukumnya akal manusia yang sarat akan kepentingan. Berbeda dengan islam dimana asas peraturannya adalah terikat pada syariat pencipta.
Maka janganlah kita berharap aturan manusia yang terbatas penuh kepentingan dapat memanusiakan manusia. Namun kembalilah pada aturan pencipta agar hidup kita berjalan selayaknya manusia dan mulia di sisi pencipta. Sebagaimana surah al a'raf : 179 dan al maidah : 48. Mari membela dengan tuntunan Allah agar berkah sisa usia dan hidup mulia.
Wallahua'alam.
Oleh Siti wahyuni
Aktivis Dakwah
0 Komentar