Perjalanan pendidikan vokasi di Indonesia memasuki era baru. Kali ini, siswa tidak hanya diberikan pendidikan agar bisa jadi tenaga kerja handal. Tapi, sudah diarahkan untuk mempunyai usaha sendiri di bawah program Student Company.
Program Student Company digagas untuk mereduksi tingginya angka pengangguran di negeri ini. Sama seperti tujuan pendidikan vokasi sebelum-sebelumnya. Program yang digagas oleh Prestasi Junior Indonesia (PJI) dengan dukungan City Foundation, PT Aig Insurance Indonesia, dan PT Marsh Indonesia ini telah melibatkan 13.358 pelajar SMA/SMK sejak 12 tahun lalu. Serta, memfasilitasi pengembangan keterampilan berwirausaha para peserta melalui pengalaman langsung mencetuskan dan mengoperasikan usaha mikro di sekolah.
Pada implementasi tahun ini, 549 pelajar dari 9 kota/kabupaten di Indonesia ditantang membuat ide bisnis yang dapat memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah di komunitasnya. Serta, mengoptimalkan teknologi digital dalam strategi dan operasionalnya. https://repjabar.republika.co.id/berita/r27jef327/kemdikbud-nilai-program-kewirausahaan-buat-pelajar-kreatif
Program ini seakan menjadi jawaban bagi tingginya angka pengangguran lulusan SMK walaupun program pendidikan vokasi telah dijalankan. Data pada tahun 2020 mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang paling tinggi ada pada level SMK yaitu 8,49%. (Webminar Youtube Kementrian Ketenagakerjaan, detikfinance, 14 Juli 2020). Daripada susah mencari pekerjaan, lebih baik siswa diajari membuka usaha sendiri.
Pendidikan vokasi sendiri memang mengalami sejarah yang cukup panjang hingga hari ini. Inisiatif pendidikan vokasi ini sudah ada pada era Mesir Kuno sekitar 2000 tahun SM. Program magang terorganisir untuk belajar keterampilan pada ahli yang berpengalaman menjadi ciri khas pada saat itu. Cara ini menyebar ke seluruh dunia hingga abad ke-19.
Ketika revolusi industri di Inggris pecah, dunia membutuhkan banyak tenaga kerja terlatih. Dan kebutuhan itu tidak bisa lagi dipenuhi dengan sistem magang. Karena waktu dan biaya yang diperlukan relatif lama dan besar. Akhirnya muncul pemikiran untuk mengembangkan pendidikan kejuruan. Salah satu pencetusnya adalah Victor Della Vos.
Sedangkan pendidikan vokasi di Indonesia diawali pada masa Belanda ada di Nusantara. Secara historis, pendidikan kejuruan di Indonesia berakar pada zaman penjajahan Belanda. Sekolah kejuruan pertama di Indonesia didirikan tahun 1853 oleh pemerintah Belanda dengan nama Ambachts School van Soerabaia (Sekolah Pertukangan Surabaya) yang diperuntukkan bagi anak-anak Indo dan Belanda.
Pada abad ke-20 Van Deventer mencetuskan gagasan “Politik Etis” yang mendasari kebijaksanaan pendidikan di Indonesia. Pemberian pendidikan rendah bagi golongan Bumiputera disesuaikan dengan kebutuhan Belanda. Jalur pertama adalah pendidikan bagi lapisan atas untuk memenuhi kebutuhan industri dan ekonomi, dengan tenaga terdidik bermutu tinggi. Selain itu, mereka juga menyediakan pendidikan untuk memenuhi kebutuhan tenaga menengah dan rendah yang berpendidikan.
Penyediaan tenaga tersebut sebenarnya dilakukan untuk kepentingan kaum feodal Belanda. Tujuannya untuk memperoleh tenaga kerja yang murah. Oleh karena itu, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan lembaga pendidikan vokasi yang bervariasi. Mulai dari sekolah pertukangan, teknik, keguruan, dagang, pertanian, kerajinan untuk mendidik pekerja home industry. Uniknya bahasa pengantar bagi sekolah-sekolah tersebut berbeda. Untuk pendidikan pertukangan kelas rendah bahasa pengantarnya bahasa daerah. Sementara untuk kelas lanjutan bagi lulusan HIS, HSC untuk mencetak mandor bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda. Penamaan lembaga pendidikan vokasi pun terus berkembang seiring dinamika politik Indonesia. Sampai saat ini pendidikan vokasi ada pada lembaga yang dinamai dengan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) dan diperluas ke jenjang perguruan tinggi dengan nama Perguruan Tinggi Vokasi. https://id.scribd.com/document/399434623/SEJARAH-PERKEMBANGAN-PENDIDIKAN-VOKASI-DI-INDONESIA-rev-pdf
Kurikulum pendidikan vokasi ala penjajah berideologi kapitalis sekuler ini dipertahankan oleh para kapitalis dunia hingga saat ini. Program-programnya bervariasi mulai dari Education For All (EFA) yang digagas UNESCO, program pendidikan inklusi, hingga Student Company. Tapi ruhnya tetap sama. Mengebiri potensi anak negeri. Membonsai potensi-potensi generasi. Generasi muda yang seharusnya dibentuk menjadi generasi yang berkepribadian mulia dan ahli di berbagai bidang kehidupan, akhirnya hanya diarahkan untuk menjadi tenaga terampil yang siap kerja (hal ini pun kadang belum terbentuk).
Jika ingin menyelamatkan generasi kita harus berani mengubah pendidikan Indonesia dari akarnya. Kita harus ubah paradigma pendidikan sekuler kapitalis saat ini dengan paradigma pendidikan Islam. Karena pendidikan dalam asuhan kapitalis sungguh berbahaya. Ia menegasikan hakikat pendidikan dalam kehidupan manusia, yaitu untuk mencetak insan berkepribadian mulia pemimpin peradaban, bukan sekedar mencetak tenaga kerja atau wirausahawan.
Selain itu, paradigma pendidikan kapitalisme sekuler rawan dimanfaatkan oleh pihak tertentu. Dalam hal ini para kapitalis yang ingin menuai keuntungan lebih dengan menekan berbagai faktor produksi. Salah satunya tenaga kerja. Jika mereka dilatih menjadi usahawan pun, tujuannya agar mereka berdaya, sehingga tetap bisa menjadi pasar bagi produk-produknya. Mereka tidak akan dibiarkan menjadi pengusaha kelas paus seperti halnya para kapitalis.
Inilah jejak penjajah dalam dunia pendidikan vokasi kita. Wajah penjajahannya telah berubah. Tapi hakikit dominasinya kian menggurita. Jika ingin bebas dari jeratannya, kita harus bangkit dengan pemikiran. Pemikiran yang bisa membangkitkan secara hakiki hanyalah pemikiran Islam.
Dalam pemikiran Islam, pendidikan ditujukan untuk menghasilkan generasi berkepribadian Islam yang kuat, berjiwa pemimpin, bahkan mempunyai visi memimpin peradaban dunia, serta menguasai sains dan teknologi yang mumpuni. Sedangkan kurikulum vokasi dalam Islam disusun untuk membekali siswa dengan keterampilan yang dibutuhkan masyarakarat dalam ruh penegakkan hukum syara. Demikian pula pengembangan teknologi disusun dalam napas yang sama.
Kurikulum akan disusun sesuai dengan kebutuhan manusia dan mempermudah pelaksanaan hukum syara. Bukan atas pesanan korporasi yang memperbudak generasi. Sarana dan prasarana pendidikan pun disediakan secara layak dan berkualitas yang didanai sepenuhnya dari kas negara yakni baitul mal, sehingga jauh dari komersialisasi dunia pendidikan sebagaimana yang terjadi di era kapitalis saat ini.
Berangkat dari hal di atas, maka kurikulum vokasi Islam harus dibingkai oleh penerapan hukum syara yang lain. Yaitu sistem ekonomi Islam yang mandiri dan sistem politik yang menjaga dari hegemoni asing sekaligus mengayomi rakyat, yaitu sistem khilafah. []
Oleh Rini Sarah
0 Komentar