Moderasi Beragama Sebagai Agenda dari Clash of Civilizations


Clash of Civilizations adalah sebuah teori yang diungkapkan oleh ilmuwan politik Amerika, Samuel Phillips Huntington. Teori ini dituliskannya dalam buku yang bertajuk The Clash of Civilization and The Remaking of Worid Order, yang terbit pertama kali tahun 1996. Dalam bukunya, Huntington menyampaikan hipotesa  bahwa akan terjadi benturan antar peradaban yang mendominasi politik global. Huntington menyatakan bahwa di masa yang akan datang, sumber konflik dunia bukan lagi masalah ekonomi, tetapi peradaban, dengan negara sebagai aktor utamanya.

Buku Huntington yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi: Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia berisi hipotesa akan terjadinya benturan peradaban antara Timur dengan Barat. Salah satu pembahasannya adalah bahwa, akan lahir sebuah tatanan dunia baru dengan peradaban sebagai landasannya. Peradaban ini memiliki persamaan budaya dan saling mendukung lewat kerja sama yang harmonis antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain.

Berbicara seputar benturan peradaban yang dilakoni oleh negara, ternyata hal ini sangat nyata dapat dibuktikan lewat propaganda agenda yang diaruskan. Di negara ini, agenda besar dari pusat tampak nyata diarusutamakan hingga ke daerah-daerah. Agenda ini adalah Moderasi Beragama yang belakangan ini berupaya naik panggung kembali. Moderasi Beragama saat ini berusaha untuk eksis kembali sebagai agenda yang diaruskan secara kompak oleh berbagai elemen di pemerintahan. Bahkan ternyata, tak sedikit pula pendakwah yang ikut serta dalam mengaruskan agenda ini.

Salah satu contoh pendakwah ini adalah KH Buya Syakur Yasin MA. Dalam ceramahnya dalam acara bertajuk ‘Moderasi Beragama Merajut Nasionalisme dan Toleransi Beragama’ Buya Syakur menyampaikan beberapa pernyataan yang kemudian memicu kontroversi di berbagai kalangan. Acara tersebut diselenggarakan di Mabes Polri Jakarta yang disiarkan langsung lewat channel You Tube pada 1 Juni 2021.

Dalam acara itu, salah satu poin yang disampaikan oleh Buya Syakur adalah soal kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang menyatukan umat Islam selama 23 tahun dengan upaya yang sempurna. Namun selanjutnya Buya Syakur menyatakan kalimat yang memicu kontroversi. Menurutnya, kalau Islam dianggap sebagai agama yang sempurna, hal itu tidak mungkin. Ini karena –menurutnya- di dunia ini mana mungkin ada kesempurnaan. Pernyataan ini sontak mendapat banyak kritikan, diantaranya oleh Habib Abu Bakar Asegaf lewat akun Twitter-nya @abubakarsegaf pada Senin (01/11/2021). Jadi menurut Buya Syakur, yang sempurna itu adalah tugas dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, bukan agama Islam-nya.

Pemikiran moderasi dengan menyertakan kelihaian dalam beretorika juga dapat ditemukan dalam pernyataan KH Syamsul Yakin, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok. Syamsul Yakin pada Jurnal Depok, Kamis (01/11/2021) menyatakan dukungannya atas gagasan program kota religius di Depok. Menurutnya, masyarakat Depok sudah waktunya untuk mulai berpikir secara dialektif, analitik, dedukatif, refleksif dan spekulatif agar memiliki pemikiran yang mendalam, menyeluruh, sistematis dan rasional terhadap ikhwal ketuhanan.

Lebih lanjut Syamsul Yakin menyatakan bahwa eksistensi kota religius adalah kenyataan yang sosio-antropologis dan tak kuasa disangkal. Ini berarti, religiusitas agama-agama harus diakui dan dipayungi secara legal oleh peraturan daerah. Peraturan ini penting untuk menjamin setiap sikap religius bisa ditampilkan oleh para penganut agama di muka publik. Menurutnya, memahami kota religius secara epistimologis dapat mendaratkan masyarakat dari sekadar menjadi konsumen ilmu kepada produsen ilmu. Ini karena masyarakat jadi terus belajar sehingga tidak lagi dapat diprovokasi dan dimobilisasi untuk menolak kebijakan populis pemerintah.

Sampai di sini, pernyataan Syamsul Yakin mulai terdengar ganjil. Dari permainan retorika kata sarat istilah yang terdengar berlebihan, ternyata pada akhirnya ia mengatakan bahwa secara aksiologis, hakikat dan manfaat diimplementasikannya program kota religius adalah untuk membuat kehidupan antar agama menjadi kian harmonis. Hal ini adalah untuk tercapainya akselerasi praksis moderasi beragama. Sebab, moderasi beragama akan dapat tumbuh subur di kota religius.

Pada akhir paparannya, Syamsul Yakin mengungkapkan, “Pilihannya adalah disahkannya Perda Kota Religius. Secara ontologis, sumber ilmu pengetahuan tentang kota religius bukanlah kitab suci suatu agama, melainkan dari sumber yang didapat dari fenomena alam raya, sosial masyarakat, akal pikiran dan intuisi manusia berkelas.” Paparan Syamsul Yakin yang sekilas terdengar mengandung kebenaran, pada akhirnya terlihat nyata maksud yang tersembunyi di belakangnya. Hal ini karena pada kesimpulannya, kota religius dicanangkan untuk menjadi lahan subur bagi disemainya moderasi beragama.

Dari tatapan fakta di atas, penting untuk diketahui bersama tentang apa itu moderasi beragama. Mengapa moderasi beragama menjadi agenda yang patut diwaspadai oleh umat Islam? Menilik dari asal katanya, dalam KBBI kata moderasi berarti pengurangan kekerasan, atau bisa juga berarti penghindaran keekstreman. Sehingga, bisa diartikan bahwa orang yang bersikap moderat berarti orang tersebut mempunyai sikap wajar, biasa-biasa saja dan tidak ektrem.

Sedangkan dalam istilah bahasa Arab, para pendukung moderasi beragama menculik istilah wasathiyah yang ada dalam al-Quran Surah al-Baqarah ayat 143 sebagai klaim bahwa wasathan berarti adil, di tengah-tengah, atau dengan kata lain moderat. Padahal sejatinya, arti wasathan di dalam ayat tersebut adalah adil menurut Islam, bukan diartikan berada di tengah-tengah antara kebenaran dan kesesatan! Adil menurut Islam adalah menjalankan atau menempatkan segala sesuatu menurut apa yang telah Allah dan Rasul-Nya  tetapkan.

Arti adil yang sebenarnya telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya di Quran Surah an-Nisa ayat 135, “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Maha Teliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.”

Terkait klaim berada di tengah-tengah (adil) atau bersikap moderat ini, menurut paparan dalam buku Building Moderat Muslim Network yang diterbitkan tahun 2007, Rand Coorporation mengungkapkan karakter Muslim Moderat. Ciri-cirinya diantaranya adalah: mendukung Demokrasi, mendukung Hak Azazi Manusia, Kesetaraan gender, kebebasan beribadah (memeluk agama), menghargai keberagaman, menerima sumber non-sekterian (non agama), membenarkan perilaku LGBT, menentang terorisme dan semua bentuk kekerasan sesuai tafsiran Barat dan lain-lain. Inilah sedikitnya penggambaran ciri-ciri seorang Muslim Moderat.

Dalam perilakunya seorang Muslim Moderat dituntut untuk menolak diberlakukannya syariat Islam secara kaffah, membiarkan terjadinya penyimpangan akidah, tidak boleh mendiskriminasi pelaku maksiat, agama Islam tidak ada bedanya dengan agama lain, menentang Islam politik, menentang pemberlakuan syariat Islam, memutarbalikkan sejarah peradaban Islam, menentang jihad fi sabilillah dan lain-lain.

Dari sini tampaknya agenda pengerdilan dan pengobok-obokan ajaran Islam dianggap kurang efektif, sehingga dirasa perlu sebuah agenda kerja nyata yang mereka akan gencarkan. Program moderasi beragama inilah yang dicanangkan dengan tekanan yang semakin kuat oleh berbagai elemen masyarakat yang dijadikan corong. Akidah dan syariat Islam diambil sebagian dan ditinggalkan sebagian kemudian menjadi aktulisasi dalam program moderasi beragama.

Agenda moderasi beragama ini akan menjadi sangat berbahaya bagi kaum Muslimin karena akan dapat menghilangkan identitas hakiki seorang Muslim. Bayangkan, jika seorang Muslim tidak lagi menganggap perbuatan maksiat yang diancam oleh Allah dengan azab yang pedih sebagai perbuatan yang salah! Maka di mana hakikat dirinya sebagai seorang Muslim yang harus menegakkan kebenaran berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah?

Jika kaum Muslimin kehilangan identitas hakikinya, maka itulah kesempatan bagi musuh-musuh Islam untuk mengalahkannya. Kiranya inilah yang bisa digarisbawahi dalam benturan peradaban (clash of cililizations) yang akan terjadi. Kafir Barat sangat takut terhadap kekuatan umat Islam dan ingin memenangkan pertempuran peradaban ini. Karenanya, dengan membayar para komprador, mereka menderaskan program Moderasi Beragama di negeri-negeri kaum Muslim. []

Oleh: Dewi Purnasari
Aktivis Dakwah Politik

Posting Komentar

0 Komentar