Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) menjadi pembahasan yang hangat di tengah-tengah masyarakat saat ini. Pembahasan tentang upah minimum baik skala kota/kabupaten ataupun skala provinsi menjadi polemik yang tak kunjung usai.
Kota Bogor mengalami hal yang sama, dilansir dari republika.co.id Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat sudah menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk tahun mendatang. Namun sejumlah daerah termasuk Kota dan Kabupaten Bogor, masih mengkaji besaran Upah Minimum Kota atau Kabupaten (UMK) bagi daerahnya masing-masing.
Kepala Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kota Bogor, Elia Bintang, menyatakan meski Pemprov Jawa Barat sudah menetapkan kenaikan UMP Jawa Barat untuk tahun 2022, pihaknya masih belum bisa berkomentar mengenai hal tersebut. Sebab masih dalam tahap pembahasan.
Pemprov Jawa Barat sudah menetapkan besaran UMP dari Rp1.810.351 menjadi Rp1.841.487 naik sekitar 1,72 persen dari tahun sebelumnya. (republika.co.id 21/11/2021)
Gelombang penolakkan datang dari kaum buruh karena mereka beranggapan kenaikan ini terlalu kecil. Pada akhirnya mereka berencana untuk mogok kerja. Maka terjadilah polemik dari tahun ke tahun yang tak pernah usai. Pengusaha menginginkan upah tak bertambah, sedangkan buruh menuntut kenaikan. Hal ini terjadi karena besaran upah ditetapkan berdasarkan kompromi antara pengusaha dengan buruh menyesuaikan kenaikan biaya kebutuhan hidup. Mengacu pada sistem kapitalis yang dianut oleh negara.
Seharusnya tidak demikian. Polemik upah minimum ini membutuhkan solusi mendasar, solusi sistemik. Dalam sistem Islam, aturan tentang upah yang diberikan kepada pekerja, disesuaikan dengan kemanfaatan yang diberikan oleh pekerja kepada perusahaan. Sehingga terjalin keharmonisan dan keadilan di antara pengusaha dan pekerja. Pengusaha membutuhkan pekerja begitupun sebaliknya. Ada saling memberi dan menghargai di antara mereka, tidak akan terjadi konflik berkepanjangan. Namun sayangnya hal ini tak mungkin terjadi dalam sistem kapitalis.
Sistem sekuler kapitalis yang memang telah cacat sejak lahir, menghasilkan sistem ekonomi yang hanya menguntungkan satu pihak saja sementara pihak lain terzalimi. Kehadiran negara yang diharapkan dapat menyelesaikan polemik nyatanya tidak pernah bisa menuntaskan masalah. Negara hanya memposisikan diri sebagai regulator saja.
Hal ini berbanding terbalik dengan sistem ekonomi Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, keadilan akan dirasakan oleh kedua belah pihak baik pengusaha maupun pekerja. Negara hadir sebagai pemberi kebijakan sesuai hukum syara. Tidak ada korporasi antara pengusaha dan penguasa/negara. Hal ini pernah dipraktikan oleh Khalifah Umar bin Khatab ra, dimana sang pemimpin saat itu mengalokasikan setiap pekerja sesuai kemampuannya dalam bekerja. Beliau akan mempekerjakan seseorang di bidang yang memang dikuasai sehingga hasil kerjanya memuaskan dan mendapatkan upah yang sesuai dengan akad didasari keridaan di antara pengusaha dan pekerja.
Dalam sistem Islam, khilafah bukan hanya hadir untuk menyediakan lapangan kerja, ataupun menyelesaikan permasalahan pekerja dengan pengusaha, namun lebih dari itu khilafah menjadi garda terdepan untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Khilafah menjamin terpenuhinya sandang, pangan dan papan dengan mekanisme ekonomis dan non-ekonomis (bantuan langsung tanpa kompensasi).
Khilafah juga menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar yang bersifat kolektif yakni pendidikan, kesehatan dan keamanan. Hal ini tentunya menjadikan beban hidup tidak seberat seperti saat ini, dimana kebutuhan dasar rakyat harus ditanggung sendiri mulai dari kebutuhan dasar hingga fasilitas umum yang sangat urgen. Rakyat harus membayar mahal untuk memenuhi kebutuhan akan air, listrik, gas. Ditambah dengan biaya pendidikan, kesehatan, keamanan serta transportasi yang tidak murah. Semua biaya hidup ini ditanggung sendiri oleh rakyat. Inilah yang menyebabkan para pekerja menuntut upah yang tinggi, sehingga membebankan perusahaan. Sementara negara berlepas tangan dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Negara hanya hadir sebagai regulator bukan pengayom ataupun pelindung dan penjamin kesejahteraan rakyat. Inilah ciri khas negara yang menganut sistem kapitalis, dimana asas manfaat materi menjadi dasar segala sesuatu.
Selama sistem ekonomi kapitalis masih diterapkan, suatu kemustahilan masalah upah akan terselesaikan dengan tuntas. Alhasil harus ada perubahan secara sistemik, yakni mengganti penerapan sistem kapitalis dengan sistem Islam. Penerapan sistem Islam secara kafah hanya bisa diwujudkan dalam bingkai khilafah.
Sistem ekonomi Islam terintegrasi dengan seluruh sistem kehidupan. Penerapannya secara menyeluruh telah terbukti mampu membawa kesejahteraan rakyat, lahir maupun batin, baik muslim maupun nonmuslim. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dalam kepemimpinannya, serta dilanjutkan oleh para Khalifah sesudahnya. Akhiri polemik upah dengan menerapkan sistem Islam secara menyeluruh. Karena hanya Islam solusi atas segala problematika manusia. Wallahu a'lam.
Oleh Titin Kartini
0 Komentar