Rekontekstualisasi Fikih: Pelecehan Agama!


Seringkali kita mendengar seruan agar senantiasa bertakwa kepada Allah. Dengan mengikuti petunjuk Rasulullah. Melaksanakan segala yang diperintahkan, serta meninggalkan apa yang dilarang oleh-Nya. Itulah makna sebenar-benarnya takwa. Dan hanya dengan itu, derajat kita akan ditinggikan oleh Allah Swt.

Namun ikhtiar kaum muslimin untuk menggapai takwa, lagi-lagi terusik. Ketika kita kembali mendengar pernyataan bahwa fikih Islam tak sesuai atau relevan lagi dengan kondisi kekinian. Oleh karena itu, fikih Islam diserukan urgensinya untuk diubah dan disesuaikan dengan keadaan. Dalam bahasa intelektual, kita dapat mengenalnya dengan sebutan rekontekstualisasi agama.

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memberikan apresiasi tema Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) Ke-20 yang digelar di Surakarta, Jawa Tengah.  Tema tersebut adalah “Islam In A Changing Global Contex: Rethinking Fiqh Reactualization and Public Policy”.

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas bukan sekali dua kali menunjukkan kegigihannya dalam mengaruskan upaya moderasi. Dimana rekontekstualisasi agama ini menjadi salah satu agenda untuk tercapainya cita-cita moderasi. Ia berpendapat mengenai pentingnya moderasi beragama dengan alasan masih adanya hukum Islam atau fikih yang tidak menyesuaikan perkembangan zaman saat ini.

Bahkan dalam acara Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Yaqut mengutip sebuah ayat dalam Injil Matius. Yaqut menerangkan, isi ayat ini bersifat universal. Berikut isi ayat Matius Injil 22 ayat 37-40 yang dikutip dan dibacakan Yaqut:

Kasihilah Tuhanmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap akal budimu. Inilah hukum yang terutama dan paling utama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum ini, tergantung semua hukum dan kitab para Nabi.

"Ini kalimat ayat kitab suci yang saya kutip di dokumen, dan ini sangat luar biasa bagaimana kita beragama, tidak boleh hanya didasarkan pada keimanan buta, tetapi harus ada tujuan, yaitu mengasihi Tuhan dan mengasihi umat kita. Ini luar biasa saya kira dan aplikasi ayat kitab suci ini pasti sangat ditunggui umat kita," sebutnya, Senin (25/1/2021).

Kemudian Yaqut berbicara soal tema acara dan masalah moderasi agama. Yaqut mencontohkan lewat studi kasus fikih. "Fikih dalam Islam dibuat atau dikompilasi di zaman ortodoksi agama yang sangat jauh di zaman pertengahan. Tentu ketika membuat konstruksi hukum, fuqaha, ahli fikih merumuskan, menerjemahkan dari situasi yang ada," ujar Yaqut. Oleh karena itu, untuk konteks kekinian dalam kacamata mereka perlu adanya rekontekstualisasi. Karena keimanan pada kemurnian kitab suci Alquran tanpa diutak-atik oleh logika ini disebut dengan keimanan yang buta.

(https://news.detik.com)

Apakah konsep tersebut dapat dibenarkan? Dalam Islam, upaya menafsirkan Alquran dan menentukan sebuah perspektif hukum Islam yang keliru adalah menafsirkan Alquran tersebut dengan logika, akal pikiran, dan tanpa ilmu.

Ibnu Katsir mengatakan, “Menafsirkan Al Qur’an dengan logika semata, hukumnya haram.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 11).

Dalam hadits disebutkan,

وَمَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Tirmidzi no. 2951.

Terlebih lagi, apabila logika yang digunakan justru mengambil dari kitab dan perspektif agama selain dari Islam itu sendiri. Pernyataan rekontekstualisasi fikih ini sama halnya dengan ijtihad pun tak dapat dibenarkan. Dalam Islam sudah sangat jelas pada pembahasan fikih, ada ruang perbedaan dan ruang ijtihad  dalam hukum.

Ketahuilah, rekontekstualisasi berbeda dengan ijtihad. Jangan sampai kita salah tafsir dan salah pikir, sehingga menyamakan rekontekstualisasi dengan ijtihad. Hal ini jauh berbeda sama sekali. Ijtihad hanya berlaku pada nas-nas syariah yang zhanni, yang masih ada ruang ijtihad di dalamnya. Bisa juga terkait nas-nas yang mengandung ‘illat (sebab pensyariatan hukum). 

Ketika sebuah persoalan menyentuh hukum-hukum yang memang tidak mungkin diganggu gugat, tentu saja hal itu tidak boleh diubah. Tetapi apabila hukum-hukum yang memang ada ruang untuk diijtihad kan, ada ruang kita untuk berbeda, maka ada ruang untuk kita untuk menyesuaikannya. Hanya saja kontekstualisasi ini tidak mengenal batasan yang perlu diperhatikan. Sebab, justru hukum yang jelas-jelas sudah pasti status dan kedudukannya inilah yang selalu dipersoalkan agar direkontekstualisasi.

Mari kita lihat contohnya. Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ghanimah, hanya dibagikan kepada kaum Muhajirin dan dua orang Anshar saja. Namun, pada masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ghanimah dibagikan kepada semua umat Islam. Dalam hal ini Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tidak bisa dipandang sedang mengubah atau merekonstektualiasi hukum. Beliau justru sedang menerapkan hukum syariah sesuai dengan ‘illat-nya, yakni agar harta tidak beredar di kalangan orang-orang kaya saja, sebagaimana dinyatakan al-Qur’an:

كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ

“….agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (TQS al-Hasyr [59]: 7).

Contoh lain, pada era Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, beliau memberlakukan kebijakan: ucapan talak tiga sekaligus tetap dipandang sebagai talak satu. Lalu pada masa Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau memberlakukan kebijakan: ucapan talak tiga sekaligus sebagai tiga kali talak. Perbedaan ini terjadi dalam ranah ijtihad. Pasalnya, dalam hal ini tidak ada dalil yang sharih (jelas) sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat.

Kedua contoh itu memberikan batasan yang jelas. Pertama: Harus berdasarkan dalil baik dalil al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat maupun Qiyas syar’í.  “Ijtihad” yang terlepas sama sekali dari dalil, lalu mengikuti hawa nafsu semata, jelas bukan ijtihad.

Kedua: Tidak melanggar nas-nas yang qath’i.  “Ijtihad” yang menabrak nas-nas yang qath’i—baik  qath’i tsubut (yakni al-Quran dan al-Hadis Mutawatir) maupun qath’i dalâlah (penunjukan maknanya)—pada hakikatnya adalah perusakan terhadap agama Islam itu sendiri.

Ini berbeda dengan rekontekstualisasi fikih Islam. Contoh, hukum waris yang sudah jelas dan tegas di dalam Alquran, tanpa ada perbedaan di kalangan para sahabat dan ulama, begitu direkontekstualisasikan dengan feminisme, berubah total. Warisan laki-laki dan perempuan harus sama.

Contoh lainnya ialah, terkait khamar. Mereka, kalangan liberal itu mengatakan: “Keharaman khamar ini bersifat sekunder dan kontekstual. Karena itu vodka di Rusia bisa jadi halal karena situasi di daerah itu sangat dingin.”

Dan yang paling parah, antara iman dan kafir juga direkontekstualisasi. Dengan gegabah sebagian orang berpendapat penggunaan istilah kafir mengandung ‘kekerasan verbal’ kepada non-Muslim. Karena itu istilah kafir mesti diganti dengan sebutan ‘muwathin’ atau warga negara.

Sebagian orang juga melakukan rekontekstualisasi ajaran Islam hingga merusak hukum-hukum yang sudah jelas dengan dalih maqashid asy-syari’ah, demi meraih kemaslahatan atau menolak kemadaratan. Padahal, maqashid as-syari’ah yang dimaksud haruslah sesuai dengan ketentuan syara’. Bukan kemaslahatan menurut akal atau hawa nafsu.

(https://seruanmasjid.com)

Masyarakat pun patut menyadari bahwa seruan rekontekstualisasi fikih Islam dalam rangka mengutak-atik fikih Islam ini tak lain demi untuk mengakomodasi berbagai kepentingan manusia. Terutama kepentingan penguasa. Hal ini merupakan bahaya dan ancaman nyata. Bahkan dapat dikatakan ini merupakan pelecehan terhadap agama.

Sehingga yang terjadi dengan adanya rekontekstualisasi ini justru akan mendekstruksi atau menghancurkan Islam itu sendiri. Dan perlu diingat, bahwa seruan takwa mengejawantahkan agar seharusnya manusialah yang mengikuti syariat Islam. Bukan syariat Islam yang justru dipaksa untuk diubah mengikuti kepentingan manusia. []


Oleh Novita Sari Gunawan

Posting Komentar

0 Komentar