Era pandemi, tak membuat kenakalan remaja berhenti. Hasrat untuk tawuran, balap liar, pesta minuman keras, dan seks bebas masih mengganas. Meski aktivitas belajar di sekolah masih dilakukan terbatas, nyatanya kenakalan pelajar tetap bebas. Seperti di Bogor, tawuran melibatkan dua kelompok pelajar SMK terjadi di Kampung Babakan Sirna, Desa Cilebut Timur, Kamis (14/10/2021). Aksi serupa terjadi di Kelurahan Tegal Gundul, Kota Bogor menewaskan seorang pelajar sekolah menengah atas (SMA) dengan kondisi mengenaskan akibat sabetan benda tajam.
Kapolres setempat dan bhabinkamtibmas akan melakukan patroli agar tidak terulang kembali tawuran pelajar. Upaya polisi ini untuk meminimalisir kejadian tetapi belum menyentuh akar persoalan. Sehingga aksi tawuran maut kerap terjadi berulang kali tanpa ada solusi.
Seksi Kesiswaan Disdikbud Kota Bogor menyebarluaskan strategi pencegahan tawuran pelajar hingga ke wilayah kecamatan setempat. Salah satu strategi yang dilakukan adalah memantau seluruh siswa dari berangkat hingga pulang sekolah. Hanya saja pengawasan pergerakan pelajar ini dilakukan di awal uji coba sekolah tatap muka saja. Penjagaan hanya dilakukan di wilayah-wilayah rawan terjadi tawuran pelajar. Bukan tidak mungkin tawuran pelajar berpindah tempat dan waktu kejadian. Sebab oknum pelajar yang terlibat tawuran belum bisa memahami pentingnya keamanan, menjaga protokol kesehatan dan toleransi sesama pelajar.
Penyakit Jahiliyah Kontemporer
Kenakalan di usia muda bukan merupakan fase yang harus dilalui para pelajar. Tetapi, sistem masyarakat saat ini yang bertanggung jawab terhadap krisis kepribadian anak muda. Sebagian besar pelajar yang terlibat tawuran tidak mendapatkan panutan yang baik. Mereka cenderung mencari panutan identitas yang trend di lingkungan sekitarnya. Jika lingkungannya dominan dengan hal buruk dan kekerasan, maka kemungkinan besar mereka akan terpengaruh melakukan hal serupa.
Lingkungan yang buruk tidak tercipta begitu saja melainkan efek domino dari tata kelola masyarakat yang buruk. Masyarakat tidak kesulitan mengakses konten kekerasan. Mereka bisa mendapapatkannya di mana saja, melalui tayangan televisi maupun media sosial. Bahkan video game yang saat ini digandrungi anak muda sebagian besar menampilan aktivitas kekerasan. Bukan hal tak mungkin dari tontonan mempengaruhi pemikiran penggunanya lalu tergerak menyalurkannya di dunia nyata.
Penelitian oleh Research Institute of Moral Education, Collage of Psychology, Nanjing Normal University, Nanjing, China menunjukkan bahwa kekerasan di media mempengaruhi remaja dan dapat menyebabkan mereka bertindak agresif. Video game juga meningkatkan pikiran marah dan detak jantung serta tekanan darah pemainnya.
Lingkungan yang tidak terorganisir secara sosial menjadi peluang resiko terbentuk komunitas tawuran (geng). Tidak hanya keluarga, komitmen masyarakat untuk serius terlibat mencegah segala tindakan yang mengarah pada kekerasan jarang dilakukan. Sebagaimana aparat polisi yang baru menindak aksi kekerasan dan kejahatan bilamana telah terjadi. Masyarakat cenderung berpikir individual menyikapi arogansi sikap pelajar. Tidak ada yang mampu mencegah aktivitas yang mengarah pada tawuran. Lagi-lagi karena minimnya masyarakat yang memiliki ilmu dan komitmen dalam mengarahkan anak muda. Lingkungan masyarakat yang tidak terorganisir juga membuat peluang tercipta kekerasan dan kejahatan. Tawuran pelajar adalah penyakit masyarakat jahiliyah. Pelajar adalah bagian dari masyarakat. Eksistensi mereka adalah wujud corak masyarakat yang ada saat ini.
Aksi tawuran pelajar adalah bukti gagalnya sistem pendidikan sekuler. Dalam pendidikan sekuler, pendidikan Islam masih sangat kurang dan cenderung sebagai pelengkap kurikulum pemerintah. Pendidikan agama belum menjadi prioritas. Waktu pembelajaran pendidikan agama lebih sedikit dibandingkan pelajaran umum. Sehingga pelajar harus mencari sendiri ilmu tentang agama karena belum difasilitasi oleh negara. Padahal, pendidikan Islam sangat penting karena lebih mampu membentuk kepribadian Islam dan akhlak yang baik. Pendidikan Islam dapat mengarahkan para pelajar berpikir benar dan mengendalikan nafsu tawuran.
Sebaliknya, kemampuan berpikir benar tidak dimiliki pelajar yang mengenyam pendidikan sekuler. Sebab, pendidikan sekuler hanya fokus mengejar prestasi akademik tanpa memperhatikan nilai-nilai ajaran Islam. Sehingga perilaku mereka lebih banyak terpengaruh dengan hawa nafsu dan hanya sekedar memenuhi dorongan eksistensi diri. Mereka terjebak dalam fanatisme jahiliyah sebab gagal mengelola gahrizah baqa' (ego) sehingga membela kepentingan geng/kelompoknya tanpa mengindahkan standar haq dan batil.
Islam Solusi Tuntas Tawuran Pelajar
Bila dicermati, persoalan kekerasan yang dilakukan pelajar diakibatkan lemahnya kontrol keluarga, masyarakat dan negara. Pelajar yang melibatkan diri dalam tawuran belum mengenal sisi ruhiyah, hati, dan iman. Padahal, ketiga hal inilah yang akan membentuk seorang pemuda memiliki karakter yang baik. Aspek ruhiyah akan mampu membendung dorongan eksistensi diri (gharizatul baqa') yang meledak-ledak di usia muda. Aspek ruhiyah juga mengarahkan kekuatan fisik menjadi kebaikan dan potensi yang bermanfaat untuk masyarakat. Sehingga hati mereka tidak mudah tersulut emosi yang berujung pada unjuk eksistensi diri. Keimanan akan mampu menghadirkan solusi dalam menyelesaikan persoalan pribadi mereka.
Sayangnya, aspek ruhiyah tidak mereka dapatkan dalam pendidikan sekuler saat ini. Aspek ruhiyah tidak dianggap penting sebab orientasi sekolah hanya fokus pada capaian materi. Satu sisi, orang tua belum mengintensifkan pengarahan dan pengawasan. Keluarga belum memiliki komitmen yang tinggi terhadap Islam dan mendidik anak-anak mereka dengan pendidikan Islam.
Orang tua tidak memiliki komitmen dalam mendidik putra-putrinya dengan pendidikan Islam. Sebaliknya, orang tua lebih fokus pada pendidikan sekuler dan cukup puas jika anak-anak mereka berprestasi secara akademik. Namun, orang tua luput membekali anak-anaknya dengan kepribadian yang baik.
Masyarakat seharusnya memiliki kontrol dengan melakukan amar ma'ruf nahi mungkar. Seorang muslim wajib memiliki kepedulian terhadap sesamanya. Tawuran pelajar dapat menyebabkan cedera, luka berat bahkan hilangnya nyawa.
Negara sebagai pihak yang memiliki power kuat dalam mengatur warganya seharusnya membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat. Maraknya tawuran pelajar adalah bukti kegagalan sistem pendidikan sekuler (memisahkan agama dan kehidupan). Pelajaran agama di sekolah sangat minim. Itupun agama hanya dipelajari sebatas pengetahuan bukan sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Orientasi pendidikan sekuler adalah dunia sedangkan yang terkait keagamaan diabaikan. Standar kesuksesan diukur dari keduniawian saja, seperti nilai tinggi, lulus cepat dan prestasi akademik.
Pelajar yang memahami konsep Islam dengan benar tidak akan melibatkan dirinya dengan tawuran pelajar. Islam memandang tawuran pelajar adalah tindak kriminal. Jika sampai melukai atau menghilangkan nyawa seseorang, maka akan ada sanksi (hukuman). Pelaku tawuran harus bertanggung jawab terhadap perbuatan yang ia lakukan. Jika dalam tawuran tersebut ada korban terluka maka berlaku hukum jinayat bagi yang melukai korban. Jik ada korban meninggal maka hukum qishos bagi yang membunuh pelajar lain.
Solusi tawuran remaja tidak hanya menyelesaikan persoalan di hilir, tetapi persoalan hulu harus dituntaskan. Persoalan tawuran pelajar akan tuntas jika akar persoalan yakini sistem pendidikan sekuler diganti dengan sistem pendidikan Islam. Negara juga akan melindungi nyawa para pelajar dengan menerapkan sanksi Islam pada para pelaku kekerasan. Maka, tidak ada cara lain negara harus membuang sistem sekuler dan memberlakukan aturan Islam Kaffah.
Oleh: Mitri Chan (Pemerhati Remaja)
0 Komentar