Keberadaan Undang-undang (UU) Cipta Kerja dari awalnya telah banyak menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya, UU Cipta Kerja ini sarat dengan muatan berbagai kepentingan baik kepentingan pengusaha maupun kepentingan penguasa. Dan yang paling merasakan dampak dari UU Cipta Kerja adalah masyarakat, yang notabene para pekerja atau buruh. Walaupun dipenuhi dengan pro kontra dari berbagai kalangan, tidak menyurutkan langkah penguasa negeri ini untuk tetap mengesahkan UU tersebut.
Bukan hanya menuai pro dan kontra, UU Cipta Kerja ini juga berdampak pada sektor perekonomian daerah. Efek yang ditimbulkan UU tersebut membuat pemerintah Kota Bogor harus melakukan evaluasi terhadap kebijakan yang dikeluarkan dari UU ini. Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja menggelar Round Table Discussion membahas hambatan dalam implementasi UU Cipta Kerja di Gedung Utama Sekretariat Negara (Setneg) RI pada hari Jumat 19/11/2021. Dalam rapat ini dihadiri para wakil menteri juga perwakilan pemerintah daerah kota/kabupaten. Kota Bogor yang diwakili oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor, Syarifah Sofiah menyatakan bahwa dari UU Cipta Kerja, ada 42 Peraturan Daerah (Perda) dan 50 Peraturan Walikota (Perwali) yang harus dievaluasi dan ini merupakan pekerjaan besar yang harus diselesaikan, ujarnya.
Di antara dampak yang paling dirasakan oleh Pemda dari pemberlakuan UU Cipta Kerja adalah perubahan nama Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Hal ini mengakibatkan Pemkot Bogor mengalami penurunan pendapatan daerah sebesar 30%. Pasalnya penerapan IMB dengan aturan baru PBG, biaya mendirikan bangunan menjadi lebih murah. Harapannya dengan biaya izin bangun lebih murah, maka investasi akan bertambah. Namun hal ini justru berdampak menurunnya pendapatan daerah. Kasubag Perundang-undangan Bagian Hukum dan HAM Setda Kota Bogor, Roni Ismail pun menyatakan hal yang sama. Terkait UU Cipta Kerja harus dilakukan revisi terhadap Perda dan Perwali yang terdampak, untuk disesuaikan dengan UU Cipta Kerja. Namun karena keterbatasan anggaran, SDM dan lain sebagainya, maka revisi terhadap Perda dan Perwali dilakukan secara bertahap dan menunggu jawaban dari DPRD. (RadarBogor, 20/11/2021)
Fakta di atas menunjukkan bahwa tidak ada kesinkronan antara Perda dan Perwali dengan UU Cipta Kerja, bahkan bisa dikatakan bahwa kebijakan pemerintah pusat dalam UU Cipta Kerja membuat Pemda harus melakukan revisi. Diantaranya perubahan retribusi perizinan pendirian bangunan yang menjadi salah satu pemasukan Pemda. Pemda menopang biaya operasional daerah dari sektor pajak. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini, mengharuskan daerah untuk secara mandiri membiayai kebutuhan daerahnya. Dan daerah pun banyak mengandalkan sektor pajak dan hutang untuk dijadikan sumber pemasukan daerah. Kota Bogor sendiri sebagai kota jasa dan pariwisata, menjadikan sektor ini sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tentunya sangat berkaitan dengan pajak.
Jika kita melihat sengkarut permasalahan perekonomian sebagai dampak dari berbagai UU yang telah disahkan oleh pemerintah, termasuk UU Cipta kerja, menunjukkan bahwa UU yang ada justru melahirkan permasalahan yang baru dan menambah deretan panjang permasalahan negeri ini. Hal ini adalah sesuatu yang wajar dikarenakan dua hal. Pertama, bahwa UU yang ada merujuk pada sistem kapitalisme yang hanya berorientasi pada materi semata. Artinya keberadaan UU ini hanya untuk menjembatani kepentingan para korporasi tanpa memikirkan dampak yang akan ditimbulkan dari pemberlakuan UU tersebut. Apalagi memikirkan nasib rakyat yang senantiasa menjadi 'korban' dari UU yang memang tidak pro kepada rakyat melainkan hanya berkhidmat kepada korporasi. Kedua, berbagai UU yang ada terus menuai masalah dikarenakan UU ini dibuat oleh manusia yang memiliki keterbatasan dan kekurangan, dan sangat mungkin berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat. Sehingga pada pelaksanaannya UU ini banyak mengandung pasal karet yang bisa ditarik-ulur dan diubah sesuai kepentingan penguasa dan pengusaha. Ketika membuat hukum/aturan, para anggota DPR (lembaga legislasi), menyerahkan standar baik dan buruknya pada akal manusia yang bersifat terbatas dan berbeda-beda satu sama lain.
Inilah yang terjadi jika manusia sebagai makhluk yang lemah dan serba kurang diberi wewenang untuk membuat hukum/aturan, maka yang nampak hanyalah kekacauan, kesengsaraan, penderitaan rakyat dan masih banyak lagi hal buruk yang ditimbulkannya. Sistem kapitalisme yang notabene berisi aturan buatan manusia tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan kehidupan manusia, karena posisi manusia sebagai makhluk yang diciptakan. Sehingga manusia seharusnya hanya menerapkan aturan yang berasal dari zat yang menciptakannya yaitu Allah Swt., yang paling mengetahui apa yang terbaik untuk setiap makhluk yang diciptakan. Allah Swt. sebagai Al Khaliq sekaligus Al Mudabbir, artinya Allah Swt. bukan hanya menciptakan tapi sekaligus menyiapkan seperangkat aturan. Aturan yang bersumber dari Alquran dan Assunah-lah yang layak untuk diterapkan. Bukan malah sebaliknya, mencampakkan aturanNya.
Allah Swt. berfirman yang artinya, ”Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS Al-Maidah; 47 dan 50). Kedua ayat ini merupakan penegasan dari Allah Swt. bahwa setiap muslim diwajibkan untuk mengambil hukum yang berasal dari Allah, dan jika seorang hamba mengambil hukum selain dari hukum Allah maka ia disebut orang yang fasik.
Oleh karena itu, yang layak dijadikan hukum perundang-undangan bagi umat manusia adalah hukum Islam yang bersumber dari Allah Swt. Rasulullah Saw. sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik) telah mencontohkan bagaimana beliau berhasil mendirikan daulah khilafah di Madinah dan diikuti oleh Khulafaur Rasyidin hingga para Khalifah sesudahnya, mampu membawa umat manusia hidup sejahtera dan membangun peradaban yang mulia. Bahkan ini terjadi dalam rentang waktu berabad-abad lamanya.
Masa kegemilangan Islam dalam naungan khilafah ini dikarenakan khilafah menerapkan aturan yang bersumber dari Alquran dan Assunah. Lahirnya berbagai UU yang dilegalisasi oleh Khalifah semata-mata merujuk pada Alquran dan Assunah. Aturan ini bersifat baku dan tidak berubah-ubah mengikuti kehendak manusia. Posisi manusia (Khalifah) hanyalah pelaksana hukum Allah dan kewenangannya melaksanakan hukum Allah merupakan bagian terpenting dari tupoksi Khalifah.
Keberadaan wakil rakyat dalam sistem khilafah bertugas untuk mengoreksi kebijakan Khalifah, menerima keluhan masyarakat dan memberi masukan kepada Khalifah meski masukan tersebut tidak bersifat mengikat Khalifah. Dalam sistem khilafah, wakil rakyat ini disebut Majelis Umat. Mereka dipilih karena kapasitasnya mampu merepresentasikan kepentingan umat. Majelis Umat tidak memiliki kewenangan membuat dan menyusun UU seperti halnya yang terjadi dalam sistem demokrasi. Penetapan hukum dalam Islam disesuaikan dengan pandangan syariat. Inilah yang menjadi keunggulan Islam dibanding sistem yang lain. Hukumnya jelas dan terukur berdasarkan nash-nash syara'.
Islam juga menetapkan kedaulatan di tangan syara' bukan di tangan rakyat. Islam hanya mengakui bahwa Allah sebagai otoritas tunggal dalam membuat hukum yang menyangkut seluruh aspek kehidupan umat manusia. Bahkan hukum tersebut bukan hanya diperuntukkan untuk umat Islam saja, tetapi juga untuk non muslim yang hidup dalam naungan khilafah. Syara' juga menetapkan tidak ada paksaan bagi non muslim untuk memeluk Islam, karena khilafah menjamin perkara akidah dan ibadah mereka tetap berjalan sesuai keyakinan mereka. Hanya saja mereka dilarang untuk mensyiarkan keyakinan dan ritual ibadah mereka kepada masyarakat luas.
Dengan mekanisme hukum seperti ini, maka tidak ada celah hukum yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir orang atau untuk menzalimi rakyat. Islam pun menetapkan sanksi tegas bagi siapa pun yang melakukan pelanggaran, tanpa pandang bulu.
Kehidupan dimana ditegakkannya hukum Allah secara kafah inilah yang dirindukan oleh umat saat ini. Hubungan penguasa dan rakyat dipenuhi dengan suasana keimanan dan ketakwaan serta saling ta'awun dalam kebaikan. Penguasa bervisi akhirat yang memahami bahwa semua kebijakannya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat nanti. Hal inilah yang membuat khalifah sangat berhati-hati dalam menunaikan hak dan kewajiban rakyatnya. Karena syariat Allah diterapkan bertujuan untuk memberi kemaslahatan bagi umat manusia dan mereka pun hidup dalam keberkahan dan keridaan dari Rabb-nya. Semoga dengan izin dariNya, kehidupan yang didambakan oleh umat segera terwujud. Wallahu a’lam.
Oleh Siti Rima Sarinah (Studi Lingkar Perempuan dan Peradaban)
0 Komentar