Film Jejak Khilafah di Nusantara II baru saja release 20 oktober lalu. Film tersebut menjelaskan dengan terang benderang bahwa ulama di Nusantara membuat jejaring dan berhubungan erat dengan institusi negara kaum muslimin nun jauh di seberang benua, Daulah Khilafah. Sampai saat ini bukti itu nampak nyata, namun tak pernah terungkap karena ada usaha untuk mengubur dan mengkaburkan sejarah keberadaannya masa silam.
Islam datang ke nusantara hingga menyebar luas ke seluruh penjuru negeri tak mungkin tanpa peran para ulama. Mereka datang ke nusantara sejak abad ke 11-12M. Di masa itu peradaban Islam sedang terpuruk, karena datangnya pasukan Mongol yang menyerbu ibukota Khilafah di Baghdad.
Di sebut masa kelam, karena di masa sebelum perang salib dan Mongol menyerbu, di seluruh negeri Muslim terutama pusat Khilafah, keterpurukan pemikiran dialami oleh kaum Muslimin. Terjadi perselisihan juga persengketaan dalam diri kaum muslimin yang menjadipenyebabnya.
Diantaranya pertentangan antar pengikut mazhab, pertentangan antara kaum fuqoha dengan ulama sufi, ahlu kalam dan seterusnya. Akibatnya daya berfikir dan fisik kaum muslimin menjadi lemah sehingga mudah ditaklukan.
Walaupun begitu, pada zaman tersebut sekaligus abad kebangkitan para ulama. Lahir kesadaran dari para ulama sebagai warosatul anbiya untuk membangkitkan umat, Kemudian terjadilah migrasi ulama ke negeri bawah angin, sebutan dalam dunia pelayaran masa itu terkait Nusantara.
Dikabarkan bahwa Nusantara saat itu, merupakan wilayah yang cukup aman dari penyerbuan Mongol, karena dilindungi oleh lautan dan pegunungan. Saat itu juga sudah banyak pemukiman Muslim di pesisir Sumatra, Jawa juga di Maluku. Namun dengan datangnya para ulama ini justru memicu ledakan Islamisasi di seantero nusantara hingga banyak muncul institusi politik berbasis Islam (kesultanan).
Sering disebut bahwa era sebelum Islam di Nusantara adalah era Hindu-Budha, padahal Hindu dan Budha adalah agama minoritas, yang hanya dianut oleh keluarga raja. Menurut KH. Agus Sunyoto, penulis buku “Atlas Wali Songo”, bahwa mayoritas masyarakat nusantara adalah Kapitayan yang menyembah alam semesta, dan menyembah satu tuhan yang disebut Sang Hyang.
Ketika Islam datang, mereka merasa bahwa Islam merupakan kenaikan derajat atau level berikutnya setelah apa yang biasa mereka anut. Sehingga saat mereka masuk Islam, tidak ada perdebatan yang berarti. Ditambah para ulama yang menyebarkan Islam di Nusantara menggunakan cara yang cerdik, sehingga tidak bertentangan dengan kehidupan mereka sehari-hari pada saat itu.
Seperti kosakata sembahyang yang maksudnya adalah menyembah Allah. Mengenalkan pada Orang Kapitayan bahwa Sang Hyang itu bernama Allah. Atau saat Sunan Ampel menggunakan kosakata Langgar, yang sebelumnya kata Sanggar adalah tempat ibadah mereka.
Begitu juga saat orang-orang Kapitayan ingin naik derajat spiritualnya mereka harus menyepi ke gua ataupun tempat keramat lainnya, maka dikenalkanlah Haji. Bertapa dan haji membutuhkan banyak persiapan, justru hajilah yang lebih banyak menguras waktu hingga bertahun lamanya. Karena menunggu angin berhembus dan kapal yang datang. Masyarakat Nusantara pun tak menampik hal tersebut.
Seiring dengan itu, Makkah dan Madinah merupakan pusat keilmuan, sehingga saat menunggu kepulangan kembali ke Nusantara, mereka pergunakan waktu untuk menimba ilmu. Diantaranya yang dikaji mulai dari Bahasa Arab, Ushul fiqih ataupun tasawuf. Setelah mereka yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara ini mengenyam banyak ilmu, kemudian kembali ke daerahnya.
Jadilah mereka ulama nya umat, yang menjadi penerang di kala umat sesat. Mereka juga diberi kepercayaan untuk mengajarakan kembali ilmunya di kesultanan masing-masing. Dengan begitu memunculkan jaringan tsaqofah antar mereka yang telah berhaji, karena ilmu mereka berasal dari satu sumber.
Jejaring tsaqofah para ulama seluruh nusantara yang terbentuk pasca ibadah haji, akhirnya meningkat menjadi jaringan politik, karena saat itu seluruh nusantara sedang dijajah. Menimbulkan rasa yang sama untuk serentak mengusir para penjajah.
Hal ini terbentuk, karena saat mereka berhaji terdapat saluran untuk dapat mengadukan urusan manusia di seluruh dunia kepada pemimpin institusi politik kaum muslimin, yaitu sang Kholifah. Selain itu mereka dapat berbagi cara dan strategi dakwah dari belahan dunia Islam lainnya.
Terlihat dengan adanya jaringan ini Belanda sangat terganggu, sehingga membuat kebijakan untuk mengawasi jamaah haji yang telah pulang dari tanah suci. Bentuk pengawasan Belanda adalah dengan menyandangkan gelar ‘Haji’ di depan nama jamaah.
Kegelisahan Belanda cukup beralasan, karena dari sekitar tahun 1870an jamaah haji dari nusantara jumlahnya sudah sangat besar seperti saat ini, yaitu sepertiga dari total jamaah haji sedunia. Dengan besarnya jamaah, maka Kholifah mengangkat Syeikul Masayikh (pemimpin para syekh) merupakan gelar yang diberikan oleh kekholifahan Utsmani kepada kepala ulama yang berasal dari nusantara.
Kemudian jaringan politik itu meningkat kepada jaringan jihad, pada faktanya ulama lah yang sangat berperan dalam mengobarkan perlawanan. Jaringan para ulama ini memang nyata adanya. Seperti saat Syekh Yusuf Al Makasari, ulama pemimpin perjuangan melawan penjajahan Belanda lintas benua ini saat hijrah dari Makassar untuk memperkuat pasukan Banten. Beliau langsung diterima dengan tangan terbuka oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Perjuangan perlawanan terhadap penjajah di nusantara sangat kental dengan semangat iman. Seperti perjuangan Pangeran Diponegoro, ulama keturunan bangsawan yang bergelar ‘Sutan Ngabdulkamit Erucokro Sayidin Panatagama Kalipat Rasulullah Tanah Jawi (Sultan Ngabdulkamit, Ratu adill, Pemimpin Penata Agama Kholifah Rasulullah).
Ngabdulkamit di sana terinspirasi dari nama Khalifah Utsmaniyah, Sultan Abdul Hamid. Bukan hanya itu, Diponegoro juga menggunakan tanda pangkat dan penyusunan resimen ala Utsmaniyah dalam perang Jawa. Hal ini menandakan bahwa nafas Islam dan Khilafah terus menyatu pada tiap ulama saat itu. Diketahui 17 tahun sebelum perang ini tepatnya pada tahun 1808, sang Pangeran telah melakukan haji yang ketiga kalinya.
Perjuangannya melawan penjajah Belanda dalam perang Jawa (1825-1830) menyisakan kelelahan yang luar bisa di pihak Belanda dan membuat kas VOC ludes, yang efeknya masih terasa hingga kemerdekaan. Pangeran Diponegoro mendeklarasikan perang ini dengan semangat perang fi sabilillah. Dengan semangat yang sama, para ulama dan Kiai di Jawa yang juga melibatkan para santri, turut serta dalam peperangan ini.
Iman Islam akan selalu memberontak tiap ada kedzoliman, disamping itu institusi kuat kaum muslimin selalu dapat menyatukan. Persatuan yang tidak membedakan ras, suku maupun golongan yang dipimpin oleh seorang Kholifah di bawah panji Islam.
Wallahu ‘alam
Oleh Ruruh Hapsari
0 Komentar