Sudah bukan menjadi hal yang tabu lagi. Ketika rezim memproduksi sebuah kebijakan lalu menuai kontroversi. Seolah kebijakan yang kontroversi adalah lumrah atau alamiah adanya. Dengan alasan setiap manusia punya isi kepala yang berbeda-beda. Maka tak perlu lagi katanya mempersoalkan munculnya pro kontra terhadap kebijakan-kebijakan yang ada. Benarkah demikian?
Seperti baru-baru ini, kisruh yang terjadi setelah diluncurkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi yang ramai ditanggapi oleh sejumlah kalangan.
Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 itu menuai kritik, sebagaimana diberitakan Kompas.com, Jumat (12/11/2021). Beberapa kalangan yang menilai Permendikbud Ristek ini melegalkan seks bebas. Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menilai aturan tersebut berpotensi melegalkan zina.
Menurut, Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Lincolin Arsyad salah satu kecacatan materil ada di Pasal 5 yang memuat consent dalam frasa ”tanpa persetujuan korban. Pasal 5 Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan,” kata Lincolin dalam keterangan tertulis, Senin (8/11/2021).
Anggota DPR RI dari Fraksi PAN, Guspardi Gaus, pun mengapresiasi hasil ijtima ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang meminta agar Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dicabut. Dia meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, untuk mematuhi hasil rekomendasi ijtima ulama MUI tersebut.
Guspardi menegaskan, dirinya sangat mendukung dikeluarkannya Ijtima Ulama MUI melalui komisi Fatwa MUI yang merekomendasikan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 dicabut. Hal itu karena telah menimbulkan polemik dan kontroversi di tengah masyarakat.
Regulasi kontroversial dari peraturan menteri ini wajar saja terjadi mengingat sang induk rezim ini pun hobi memproduksi banyak regulasi yang menuai kontroversi. Revisi UU dan RUU yang dibahas pemerintah bersama DPR itu pun menuai banyak kritik dan protes dari publik. Namun, hal itu tak menghentikan pemerintah dan DPR dalam pembahasannya. Bahkan, beberapa di antaranya sudah sampai disahkan menjadi UU.
Berikut beberapa regulasi yang menuai kontroversial belakangan ini, di antaranya:
1. UU KPK
Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapatkan tentangan dari sejumlah pihak. Demo penolakan di sejumlah daerah terjadi karena dianggap melemahkan KPK.
Namun, UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK tersebut akhirnya pun disahkan pemerintah bersama DPR pada 17 September 2019. Tak ada satu pun partai di legislatif yang menolak pengesahan revisi UU KPK ini.
2. UU Minerba
Selain revisi UU KPK, yang menuai kontroversi kedua yakni regulasi terkait pertambangan mineral dan batubara (Minerba). RUU Minerba disahkan menjadi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba pada 13 Mei 2020. Ada sejumlah poin di UU Minerba tersebut yang dinilai hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.
3. Omnibus Law UU Cipta Kerja
Masih hangat dalam benak kita, bagaimana drama kontroversi Omnibus Law UU Cipta Kerja. Yang menuai aksi dan demonstrasi dari masyarakat berkali-kali. Pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja mendapat sorotan masyarakat. Betapa tidak, UU bagian dari omnibus law itu dinilai banyak merugikan rakyat, khususnya kaum buruh.
4. UU Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19
Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Persoalan timbul ketika Perppu 1/2020 dinilai memberikan hak imun kepada penyelenggara negara dalam mengambil keputusan. Hal itu tertuang di dalam Pasal 27 beleid tersebut, dimana pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan kebijakan itu tak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana, asalkan dalam melaksanakan tugasnya didasari pada itikad baik. Aturan di dalam perppu itu kemudian digugat oleh sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi. Namun, akhirnya disahkan di DPR pada 12 Mei 2020.
5. UU MK
DPR mengesahkan RUU Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi UU MK. Dikutip dari Kompas.com, 14 April 2020, beberapa poin kedua kontroversial yang diubah dalam UU MK adalah masa jabatan hakim MK yang sebelumnya berlaku selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya, dihapuskan.
Tak cukup sampai di situ, adanya UU Ormas, UU ITE dan tak dapat terhitung lagi jumlahnya deretan kebijakan yang menuai kritik, protes hingga penolakan dari tubuh masyarakat. Bahkan tak jarang yang menolak jumlahnya adalah mayoritas dari masyarakat tersebut.
Mengapa kontroversi terus saja terjadi? Hal yang mendasar tentu saja akibat sistem atau aturan dalam demokrasi merupakan produk dari akal manusia yang lemah. Salah satu kelemahan yang ditunjukkan oleh akal yakni adanya perbedaan dari satu kepala dengan kepala lainnya. Maka wajar aturan produk demokrasi akan melahirkan perselisihan, perseteruan dan pertentangan. Serta mustahil bagi demokrasi untuk membuat aturan demi kemaslahatan rakyat. Meski UU dibuat sesuai prosedur konstitusi, namun tetap saja tidak akan bebas dari kepentingan. Parahnya lagi, demokrasi tabiatnya akan mengakomodir banyak kepentingan.
Begitulah cara kerja politik demokrasi. Ada dukungan, ada mahar yang harus dibayar. Utang balas budi akan didahulukan dan kemaslahatan rakyat adalah prioritas akhir. Maka adakah kebaikan dari demokrasi? Dengan segunung aturannya yang terus saja melahirkan kontroversi, menyesakkan dada rakyat tiada henti hingga rakyat pun terpaksa menerimanya.
Berbeda dalam khilafah, aturan kontroversi tidaklah menjadi tabiat seperti halnya demokrasi. Dalam konteks kenegaraan, kedaulatan dalam khilafah yang artinya adalah pembuatan hukum dan perundang-undangan merupakan milik Allah Swt. Manusia hanya menjalankan ketentuan dan peraturan yang sudah ditetapkan Allah dalam syariat-Nya. Pemerintah hanya melaksanakan dan menjalankan syariat Allah sebagai hukum yang berlaku atas manusia.
Berbeda dengan demokrasi tadi yang kedaulatannya adalah milik rakyat. Artinya rakyatlah yang membuat aturan dan hukum itu sendiri melalui wakil yang dipilihnya dalam parlemen. Dan para wakil inilah yang membuat UU. Maka aturan yang berasal dari Allah Swt yang menciptakan alam semesta dan isinya ini merupakan aturan terbaik karena Allah Swt yang Maha Mengetahui aturan yang layak bagi umat-Nya. Dan aturan tersebut akan mengakomodir kemaslahatan bagi seluruh manusia. Bukan hanya segelintir kepentingan kepala.
Aspek mendasar lainnya yang memunculkan pertentangan ialah dalam demokrasi, dasar pengambilan keputusan produk hukum dan undang-undang bukan pada kebenaran yang baku, namun dari suara mayoritas yang mewakili rakyat di DPR/MPR. Pengambilan suara menjadi cara yang digunakan terhadap pengesahan undang-undang. Benar dan salah diputuskan melalui suara terbanyak.
Sedangkan dalam Islam, standar yang dipakai tergantung kedudukannya. Yakni di antaranya; pertama, jika menyangkut status hukum syara, standarnya adalah dalil yang terkuat. Kedua, jika menyangkut aspek-aspek teknis dari suatu aktivitas, standarnya boleh dari suara mayoritas. Serta jika menyangkut hal-hal yang memerlukan keahlian atau kepakaran, standarnya adalah pendapat yang paling tepat dari ahlinya tersebut.
Dalam negara Khilafah, Alquran dan Sunah menjadi rujukan hukum yang bersifat tetap. Hukum Islam tidak akan berubah dari masa ke masa karena hukum Islam memiliki sifat yang relevan untuk diterapkan di semua masa hingga berakhirnya dunia. Sehingga sifat dari hukum Islam ini pasti dan tetap. Sementara dalam demokrasi, tidak ada kepastian hukum. Karena pemikiran manusia itu relatif dan berubah-ubah. Ditambah lagi pemikiran yang relatif tadi lahir dari banyak kepala. Hukum pun dibuat mengikuti hawa nafsu manusia demi kepentingan tertentu. Dalam demokrasi, hukum bisa direvisi berulang kali.
Maka aturan mana yang layak akan kita pilih? Regulasi kontroversi dalam demokrasi yang memiliki cacat bawaan ataukah undang-undang yang dibuat oleh manusia dengan merujuk pada Sang Pembuat Hukum, Allah Swt. Apa yang akan kita jawab di hari akhir kelak? Ketika Allah mengingatkan kembali pada kita tentang ayat-Nya: “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (TQS al-An’am [6]: 57). []
Wallahu a'lam biashshawab.
Oleh Novita Sari Gunawan
0 Komentar