Semangat Perubahan Iklim Global Apakah Murni Jauh dari Tangan Oligarki?



Dalam Conference of The Parties (COP) 21 yang lebih dikenal dengan Perjanjian Paris 2015, negara-negara di dunia berkomitmen atas perubahan iklim global yang ada saat ini. Mereka berupaya untuk menahan laju pemanasan global di bawah 2 derajat Celsius atau bahkan ditekan sampai 1,5 derajat celsius di bawah tingkat pra-industrialisasi.

Usaha untuk menekan emisi karbon ini, sekaligus mendorong semua negara untuk menggunakan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan meninggalkan energi berbahan bakar fosil. Energi baru terbarukan ini dianggap menjadi energi yang lebih bersih dibanding energi fosil yang telah banyak menyumbang polusi udara.

Indonesia dipercaya menjadi sepuluh negara penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca dengan tingkat emisi 2%. Jumlah ini didapat dari konsumsi energi pada industri, transportasi, perumahan, perkantoran dan penyediaan energi. Oleh karena itu pemerintah pun telah menyepakati bahwa pada tahun 2025 penggunaan EBT akan mencapai 23 persen.

Sehingga Indonesia dipandang perlu sesegera mungkin untuk menurunkan bauran listrik dari Pembangkit Lisrik Tenaga Uap (PLTU) dengan cara menutup PLTU yang dibatasi hingga tahun 2040.  Namun untuk mempensiunkan PLTU lebih awal butuh dana tinggi, Sri Mulyani mencatat dana yang diperlukan adalah sekitar 25-30 milyar dolar AS atau sekitar Rp 357-228 trilyun.

Upaya mengubah energi fosil menuju energi terbarukan ini dipercaya mengharuskan komitmen kuat dari pemerintah. Sehingga dibutuhkan langkah ambisius untuk pengesahan langkah ini dengan memberikan payung hukum untuk memaksimalkannya dengan membuat RUU EBT.

Seperti yang dinyatakan oleh anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim bahwa jangan terburu-buru dalam implementasi EBT karena masih banyak kendala. Seperti komponen pendukung panel surya yang diimpor, regulasi, teknologi, dan sumber daya yang belum dieksplorasi dengan baik (Tempo.co 5/8/2021).

Terkait dengan pembuatan draft RUU EBT, Direktur Eksekutif IRRES Marwan Batubara menyayangkan sikap Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang hanya sepihak dalam penyusunannya. Juga pemerintah terkesan tidak mau mendengar pendapat dari para ahli di bidangnya.

Dilansir oleh Tempo.co bahwa pakar energi ITS Prof. Ir. Mukhtasor M.Eng., Ph.d khawatir terhadap RUU EBT yang telah dibuat. Karena menurutnya ada beberapa persoalan dalam tata kelola bisnis di RUU EBT, khususnya pasal 39, 40, dan 51 (5/8/2021).

Dalam pasal 40 RUU EBT dinyatakan bahwa Perusahaan Listrik Negara (PLN) diwajibkan membeli produksi listrik swasta dan asing. Lalu pada pasal 51 menyatakan adanya feed-in tariff (tarif masukan) sebagai harga jual listrik dari swasta oleh PLN yang akan membuat harga jual listrik meningkat.

Masih dalam pasal yang sama, pasal 51 juga tertera bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara legal wajib digunakan guna menutup kerugian apabila PLN membeli listrik lebih mahal dari swasta dan asing. Hal tersebut akan membebani APBN, bahkan berisiko tarif dasar listrik naik.

Hal ini juga ditegaskan oleh Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Herman Darnel Ibrahim mengakui bahwa RUU EBT sangat terkesan membela kepentingan oligarki dan asing. Dia juga mendengar sejumlah pihak yang menduga ada sindikat internasional mencoba menguasai berbagai sektor perekonomian Indonesia, termasuk energi.

Padahal urusan energi merupakan kebutuhan dan kepentingan rakyat banyak. Indonesia dikenal sebagai penghasil energi fosil yang besar, bila salah kelola energi pasti akan merugikan. Penggunaan energi yang tidak berbahan fosil pun juga diharapkan menjadi salah satu alternatif di kala suhu bumi saat ini sudah meningkat.

Peningkatan emisi gas rumah kaca pada dasarnya juga merupakan hasil ketamakkan manusia. Kapitalis memahami bahwa manusia harus dipenuhi kebutuhannya dengan mengadakan keberadaan barang, sehingga stok barang pun terus digenjot. Bukan memikirkan bagaimana mendistribusikan barang tersebut agar seluruh rakyat dapat menikmatinya.

Selain itu gaya hidup mewah juga telah mendarah daging pada masyarakat. Meledaknya penggunaan kendaraan bermotor, belum lagi kejuaraan kendaraan tingkat dunia. Tak ketinggalan penggunaan pesawat jet yang sekali terbang melepaskan 2000 ton karbon ke udara, seperti yang digunakan oleh peserta COP 26 di Glasgow, Norwegia.

Sehingga kerusakan alam yang berimbas pada berubahnya iklim dunia ini memang merupakan buah dari kerakusan manusia. Padahal Allah telah berfirman dalam QS Ar Rum, 41,”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Dalam ayat selajutnya Allah berfirman,”Katakanlah (Muhammad): “Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)”.

Dalam surat tersebut Allah mengingatkan bahwa manusia memang diberi keistimewaan berupa potensi akal untuk berfikir dan membangun peradaban. Namun bila dalam pengelolaan kekayaan SDA tidak mengikuti aturan syariat, pasti kerusakan akan mengintai. Benarlah, dalam ayat berikutnya diperlihatkan bukti nyata telah nampak dari kasudahan orang terdahulu di banyak belahan bumi bagaimana mereka tidak taat terhadap ayat-ayat Allah.

Pada dasarnya kekayaan melimpah ini adalah milik umum dan bukan milik pribadi yang dapat seenaknya diambil alih oleh pihak swasta. Sehingga hasilnya pun harus dikembalikan lagi pada keumuman pemiliknya, yaitu rakyat banyak. Kemudian, pengelolaannya juga tidak boleh semaunya, namun harus sesuai ketentuan syariat.

Karena bumi dan semua isinya merupakan ciptaan Yang Maha Kuasa dan hanya Dia lah yang tau bagaimana cara pengelolaannya agar tidak timbul kerusakan, maka manusia hanya bisa tunduk dan patuh. Semua itu hanya bisa berjalan dengan dasar ketaqwaan. Baik ketakwaan individu maupun ketakwaan negara yang mempunyai perangkat untuk mengelola SDA.

Saat ini untuk menciptakan ketakwaan individu adalah hal yang sulit tanpa ditopang oleh negara. Negara telah banyak mengeluarkan UU yang sangat jauh dari nilai moral apalagi syariat. Sehingga menjadi hal yang urgen adalah membangkitkan kembali syariat di tengah manusia dengan terbentuknya negara yang berlandaskan syariat, yaitu Daulah Khilafah Islamiyah.

Wallahu’alam.


Oleh Ruruh Hapsari

Posting Komentar

0 Komentar