Sistem Sekuler, Mudahkan Orang untuk Murtad dan Menolak Syariah Islam



Kurang lebih dalam sebulan terakhir, telah terjadi tiga fenomena isu keagamaan yang cukup membuat masyarakat mengurut dada dan membaca istighfar.  Mirisnya lagi-lagi terjadi praktik penistaan agama ternyata malah dilakukan oleh umatnya sendiri. Mulai dari tidak percaya akan syariah agamanya yaitu Ade Armando. Dia menyatakan dirinya memang beragama Islam, namun dengan tegas menolak syariah Islam. “Saya tidak percaya umat Islam harus menjalankan syariah Islam.” Dia mengungkapkan sikap beragamanya itu dalam video berjudul, “Mengapa Saya tidak Percaya pada Syariah”, yang tayang di Cokro TV, Senin, 25 Oktober 2021 (Democrazy.id, 26/10/2021).

Begitu juga penistaan terhadap ibadah ritual, dilakukan seorang selebriti kontraversial, Nikita Mirzani. Sejumlah pihak menduga ia melecehkan bacaan shalat. Yang yang terparah salah satu putri mantan Presiden Soekarno, Sukmawati secara terbuka menyatakan niatnya berpindah agama (murtad) dari Islam ke Hindu. Tepat Selasa kemarin dia telah resmi memeluk agama Hindu (Detik.com, 26/10/2021).

Jika kita mau berpikir kritis saat melihat beberapa fenomena di atas, mengapa semua ini bisa terjadi? Hal itu biasa terjadi tak lain dan tak bukan karena paham sekularisme (keyakinan dasar yang memisahkan agama dari kehidupan). Tanpa disadari masyarakat telah mengambil paham sekuler sebagai cara hidup mereka. Sekularismelah yang merupakan biang kerok dalam melahirkan orang-orang yang Murtad dari Islam dan membuat orang-orang mudah melecehkan Islam dan menolak syariah Islam.

Sekularisme menjadi dasar ideologi kapitalisme. Dari kapitalisme melahirkan sistem demokrasi. Nah, dalam sistem demokrasilah dikenal sejumlah kebebasan yang dijamin oleh undang-undang. Di antaranya kebebasan beragama, kebebasan berpendapat/beropini dan kebebasan berperilaku.

Dalam konteks kebebasan beragama, misalnya, setiap orang memang dibiarkan memeluk agama dan keyakinan apa pun. Mereka juga dibebaskan untuk gonta-ganti agama. Hari ini Islam, besok Hindu, lusa Budha, dan seterusnya. Begitu juga dalam berpendapat/beropini dan berperilaku. Setiap orang dibebaskan untuk berpendapat/beropini dan berperilaku meski itu menistakan Islam, Al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW dan syariah Islam. Semua itu tidak ada persoalan dalam sistem demokrasi.
Karena itu dalam sistem sekuler saat ini tidak mengherankan jika ada Muslim begitu mudahnya murtad dari Islam. Mereka tidak merasa takut jika azab bagi yang murtad itu akan kekal abadi di neraka. Tsuma nau’dzu billah.

Jauhnya masyarakat dari Islam menyebabkan seakan merasa sanksi akhirat itu masih jauh, ada yang ragu dan bahkan bagi orang yang atheis, hal itu tidak akan terjadi. Mereka menganggap semua orang mati, jasadnya akan hancur. Dimensi akhirat tidak sampai pada akalnya yang dijejali paham materialisme.

Padahal jika seseorang itu menyakini siksa itu benar-benar nyata dan Allah akan menghisab kita kelak di pengadilan di akhirat nanti maka tentunya orang akan berfikir dua kali untuk melakukannya. Tidak hanya itu sanksi dunia akan dirasakan yaitu dengan hukuman mati. Sebagaimana firman Allah SWT, “Wahai orang-orang yang beriman, siapa saja di antara kalian yang murtad (keluar) dari agama kalian, pasti Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan mereka pun mencintai Dia. Mereka bersikap lemah-lembut kepada kaum Mukmin dan bersikap keras terhadap kaum kafir”(TQS al-Maidah [5]: 54).

Menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullâh, melalui ayat ini Allah SWT menginformasikan tentang kekuasaan-Nya yang agung, siapa saja yang berpaling dari upaya menolong agama-Nya dan menegakkan syariah-Nya, maka sesungguhnya Allah SWT pasti akan mengadakan penggantinya dengan orang yang lebih baik. Mereka lebih sungguh-sungguh dalam melindungi (agama-Nya) dan lebih lurus jalannya. Menurut beliau pula, mengutip Imam al-Hasan al-Bashri, ayat ini turun berkaitan dengan orang-orang yang murtad (keluar) dari Islam pada masa Khalifah Abu Bakar ra. (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 3/135).

Terkait ayat di atas, menurut Imam ath-Thabari rahimahullâh, sesungguhnya kaum yang murtad tersebut, yakni setelah Nabi Muhammad SAW wafat, mengatakan, “Terkait shalat, maka kami akan tetap shalat. Adapun terkait zakat, maka demi Allah, kami tidak akan menyerahkan harta-harta kami.” Mendengar itu, Khalifah Abu Bakar ra. Berkata, “Demi Allah, aku tidak akan memisahkan perkara yang telah Allah satukan (shalat dan zakat, red.). Demi Allah, andai mereka menolak untuk menyerahkan kepadaku zakat unta dan kambing yang telah Allah dan Rasul-Nya wajibkan (atas mereka), aku pasti akan memerangi mereka karena penolakan mereka itu (Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, 21/431).

Berdasarkan penjelasan Imam ath-Thabari tersebut, orang-orang yang menolak salah satu syariah Islam (di antaranya zakat) diperlakukan sama dengan orang-orang yang murtad. Mereka sama-sama dibunuh/diperangi.

Hukuman mati atas orang murtad juga ditegaskan di dalam sabda Nabi Muhammad SAW “Siapa saja yang mengganti agamanya (murtad dari Islam, red.), bunuhlah dia!” (HR al-Bukhari dan an-Nasa’i).

Jelas, hukuman mati atas orang murtad, 100% berdasarkan keputusan Nabi SAW yang tentu berasal dari wahyu Allah SWT, bukan hasil pemikiran manusia. Apalagi dikaitkan dengan latar belakang politik kaum Muslim. Namun, hukuman mati atas orang murtad harus dilakukan oleh penguasa kaum Muslim (khalifah) dengan syarat, penetapan hukuman mati atas orang murtad hanya bisa diputuskan oleh pengadilan syariah.

Kemudian harus ada penundaan hukuman jika pelaku murtad ada harapan untuk kembali ke pangkuan Islam. Imam ats-Tsauri berpendapat, “Ditunda hukumannya jika ada harapan pelaku murtad mau bertobat.” (Ibnu Taimiyah, Ash-Sharim al-Maslul, hlm. 328). Selanjutnya, selama penundaan hukuman, pelaku murtad didakwahi dengan hikmah dan nasihat yang baik, diajak dialog/debat supaya ia mau bertobat dan kembali ke pangkuan Islam.

Tak hanya itu, para pengekor paham sekuler telah memaknai kalimat ‘tidak ada paksaan dalam beragama’ menjadi pembenaran atas sikap mereka. Sebagian kalangan ada yang berpendapat tidak ada paksaan dalam beragama. Karena itu siapapun bebas memeluk agama apapun. Termasuk untuk berpindah-pindah agama. Mereka lalu berdalil dengan ayat, “Tidak ada paksaan dalam beragama (TQS al-Baqarah [2]: 256).

Menurut Imam al-Alusi, ayat di atas bermakna, “Janganlah kalian memaksa (manusia) untuk masuk Islam.” (Al-Alusi, Rûh al-Ma’âni, 2/322).

Dengan demikian memang siapa pun tidak boleh dipaksa untuk memeluk agama Islam. Namun, saat mereka sudah menjadi Muslim, mereka haram untuk murtad (keluar) dari Islam. Jika mereka murtad, sebagaimana penjelasan di atas, mereka wajib dihukum mati, kecuali jika mereka mau segera bertobat dan kembali ke pangkuan Islam.

Sebagaimana haram murtad (keluar) dari Islam, maka haram pula menolak syariah Islam, baik secara keseluruhan maupun sebagiannya. Allah SWT telah mencela dengan keras sikap demikian “Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab dan mengingkari sebagian lainnya? Tidak ada balasan bagi orang yang bertindak demikian kecuali kehinaan dalam kehidupan dunia dan pada Hari Kiamat kelak dia akan dilemparkan ke dalam azab yang sangat keras” (TQS al-Baqarah [2]: 85). []


Oleh: Evi Evy Farlina, Aktivis Dakwah Depok

Posting Komentar

0 Komentar