Terapkan Sistem Ekonomi Antikrisis, Pengangguran Dibabat Habis



Pandemi Covid-19 masih mendekap dunia. Seiring bergulirnya wabah, terbit dampak-dampak ikutan. Salah satunya adalah pengangguran. Pengangguran adalah penyakit masyarakat yang tidak hanya diidap selama wabah. Pandemi hanya menjadi faktor pemicu naiknya grafik pengangguran. Hal ini  dialami oleh Kota Bogor. Dikabarkan oleh laman daring Republika.co.id, Walikota Bogor, Bima Arya Sugiarto, menyatakan pandemi Covid-19 telah menyebabkan sekitar 175 ribu orang di Kota Bogor menganggur. Hal itu menaikkan angka pengangguran sampai 12,6 persen. Untuk mengatasi pengangguran, Bima Arya mengajak pemerintah daerah (Disnaker), pengusaha, dan perguruan tinggi untuk berkolaborasi mencari strategi jitu untuk menyelesaikannya. https://m.republika.co.id/berita/r2eblo484/bima-ingin-bangun-kolaborasi-atasi-pengangguran-di-bogor 


Menurut Eri Hariyanto, Widyaiswara Ahli Madya Pusdiklat Keuangan Umum BPPK, dalam makalah daring berjudul “Pengangguran dan Krisis Ekonomi”, secara umum, pengangguran memang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara penawaran lapangan kerja dan pencari pekerjaan. Namun jika ditelusuri lebih mendalam, salah satu penyebab pengangguran adalah turunnya pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh turunnya output dan pengeluaran total. Berkurangnya permintaan produksi atas barang dan jasa oleh masyarakat akan menyebabkan berkurangnya permintaan tenaga kerja yang ujungnya akan menimbulkan pengangguran.


Turunnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi biasanya disebabkan oleh siklus perekonomian yang terkadang berada pada titik puncak (economic boom) atau sedang mengalami penurunan (resesi). Siklus ekonomi yang terus terjadi terkadang menjurus munculnya perubahan secara drastis atas faktor-faktor ekonomi makro yang mengarah kepada krisis ekonomi. Sepanjang abad 20 telah terjadi lebih dari 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Fakta ini menunjukkan bahwa secara rata-rata setiap 5 tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia. Krisis ekonomi biasanya ditandai dengan memburuknya faktor-faktor ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, depresiasi mata uang, melemahnya daya beli, dan sebagainya. Masyarakat umum biasanya menjadi pihak yang paling menderita dalam merasakan dampak krisis ekonomi. Turunnya pertumbuhan ekonomi menyebabkan dampak lanjutan seperti turunnya daya beli masyarakat, pengangguran, turunnya kualitas gizi dan kesehatan, bahkan dapat berujung pada masalah sosial dan kriminal.


Indonesia telah mengalami beberapa krisis besar setelah kemerdekaannya pada 1945. Krisis tersebut menyebabkan peningkatan pengangguran dan kemiskinan. Akhir pemerintahan presiden pertama, Soekarno, diwarnai dengan krisis ekonomi pada kisaran tahun 1960-an. Krisis tersebut disebabkan oleh tingkat inflasi yang sangat tinggi dan menyebabkan jatuhnya daya beli masyarakat serta meningkatnya kemiskinan. Demikian halnya dengan presiden kedua, Soeharto. Akhir masa kepemimpinannya juga diwarnai dengan krisis ekonomi dan moneter. Masyarakat mengalami nasib serupa yaitu kondisi dimana terjadi inflasi besar-besaran, peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan serta kehidupan ekonomi yang sangat berat.


Dalam data BPS dalam bps.go.id menunjukkan bahwa setiap krisis yang terjadi diikuti oleh pengangguran terbuka yang tinggi. Misalnya pada krisis 1998 data pengangguran terbuka sebesar 5,04 juta jiwa, pada 2008 menjadi 9,4 juta jiwa. Pada krisis 2010 sekitar 8,318 juta jiwa menganggur. Pada 2013 7,175 juta jiwa menganggur. Setiap terjadi krisis, pengangguran senantiasa mengalami peningkatan yang cukup tinggi dan memerlukan waktu yang cukup panjang untuk menurunkannya. Pada 2020 ini dunia kembali mengalami krisis yang disebabkan oleh pandemi. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia tercatat pada Agustus 2020 sebesar 7,07 persen, meningkat 1,84 persen dibandingkan dengan Agustus 2019. Karena selama pandemi, negara-negara di dunia berusaha menyelamatkan masyarakatnya dengan mengurangi berbagai aktivitas sosial maupun ekonomi. Akibatnya, sektor ekonomi menjadi terpuruk karena berkurangnya permintaan barang dan jasa dari masyarakat. Sektor riil adalah sektor yang pertama kali terhantam oleh krisis ini. Penutupan aktivitas ekonomi telah menyebabkan meningkatnya pengangguran dan kemiskinan.


Pakar Ekonomi Islam, Dwi Condro Triono, menilai bahwa penyebab utama krisis ekonomi terjadi karena diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan riba atau suku bunga sebagai pompa jantung perekonomiannya. (https://detiksultra.com/ekobis/riba-sumber-krisis-ekonomi-pemerintah-diminta-terapkan-sistem-ekonomi-islam/) Menurutnya, jantung dari sistem ekonomi kapitalisme adalah bank dan pasar modal. Dimana, keduanya sama-sama mengambil keuntungan dari riba atau suku bunga yang terus dilipatgandakan. Riba ini merupakan aktivitas ekonomi non riil, sehingga potensi krisis perekonomian sangat mungkin terjadi. Faktanya juga seperti itu, bahwa riba atau suku bunga selalu menghasilkan krisis dan kegoncangan ekonomi, baik secara nasional maupun internasional. 


Sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di mana-mana sepanjang sejarah, sejak 1930 sampai saat ini. Sistem ekonomi ribawi telah membuka peluang para spekulan untuk melakukan spekulasi yang dapat mengakibatkan volatilitas ekonomi banyak negara. Sistem ekonomi ribawi menjadi puncak utama penyebab tidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah negara. Karena uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riil yang rendah ke negara yang tingkat bunga riil yang lebih tinggi akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana tingkat bunga riil relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini, dalam istilah ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riil disini dimaksudkan adalah tingkat bunga minus tingkat inflasi. Suku bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya pengangguran. Semakin tinggi suku bunga, maka investasi semakin menurun. Jika investasi menurun, produksi juga menurun. Jika produksi menurun, maka pengangguran akan meningkat.


Dari sini jelas, jika ingin menyelesaikan masalah pengangguran kita harus mempunyai sistem ekonomi antikrisis. Bukan hanya sekedar menggantungkan harapan pada kolaborasi Satuan Kerja Daerah dalam hal ini Disnaker, pengusaha, dan perguruan tinggi. Sistem ekonomi antikrisis itu adalah sistem ekonomi Islam. Karena dalam sistem ekonomi Islam segala praktik yang akan melahirkan krisis ekonomi diharamkan. Seperti riba, perdagangan uang, pasar modal (saham), dan aktivitas spekulasi lain yang menyebabkan krisis moneter lalu berujung kepada krisis ekonomi. Kita harus ganti jantungnya dengan baitulmal dan pompa jantungnya dengan tabanni (legislasi) Khalifah (Kepala Negara Islam). Sebelumnya, diawali dengan pembagian jenis kepemilikan, yakni kepemilikan individu, umum dan negara. Jika ini dilakukan perekonomian negara pun menjadi stabil sehingga proses ekonomi (produksi, konsumsi, dan distribusi barang dan jasa) pun lancar. Sehingga bisa menyerap tenaga kerja. 


Dalam menunjang penyerapan tenaga kerja, penguasa Islam (Khalifah) juga akan melegislasi kebijakan-kebijakan yang akan melahirkan pertumbuhan ekonomi. Khilafah akan mendatangkan investasi yang halal untuk dikembangkan di sektor riil baik di bidang pertanian, kehutanan, kelautan, tambang, maupun perdagangan. Di sektor pertanian, dilakukan intensifikasi dan ekstensifikasi. Petani yang tidak memiliki lahan atau modal akan diberi oleh pemerintah. Sedangkan tanah yang telah ditelantarkan selama tiga tahun, maka negara akan mengambil dari pemiliknya, kemudian memberikannya kepada orang yang mampu mengelola tanah tersebut. Khalifah akan mengembangkan industri peralatan (penghasil mesin) sehingga akan mendorong pertumbuhan industri-industri lain. Di sektor kelautan, kehutanan, dan pertambangan, Khalifah akan mengelolanya sebagai milik umum dan tidak diserahkan pada swasta baik asing aseng maupun swasta lokal.


Sektor non-riil tidak akan diizinkan berkembang karena haram hukumnya. Berkembangnya sektor non-riil menyebabkan uang hanya beredar di antara orang kaya saja, tidak mewujudkan lapangan kerja, dan bahkan menyebabkan gelembung ekonomi yang setiap saat bisa memicu terjadinya krisis ekonomi dan moneter.


Khalifah akan menciptakan iklim yang merangsang untuk membuka usaha melalui birokrasi yang sederhana dan penghapusan pajak serta melindungi industri dari persaingan yang tidak sehat. Khalifah tidak mewajibkan wanita untuk bekerja, karena fungsi utama wanita adalah sebagai ibu dan pengatur rumah  (ummu wa rabbah al bayt). Sehingga tidak terjadi persaingan antara tenaga kerja wanita dan laki-laki.


Demikianlah Islam dengan sistem ekonomi yang diterapkan oleh sistem pemerintahan khilafah menyelesaikan problematika krisis ekonomi yang berdampak tingginya angka pengangguran. Insya Allah, jika sistem ekonomi antikrisis ini diterapkan, pengangguran pun akan dibabat habis. 


Oleh Rini Sarah

Posting Komentar

0 Komentar