Teranyar kita dengar bahwa MK memutuskan Undang-undang Cipta Kerja inkonstitusional, kemudian pemerintah diminta untuk memperbaiki pasal-pasal bermasalah selama kurun 2 tahun ini. Gayung bersambut, kalangan buruh yang merasa dirugikan dengan disahkannya UU Cipta Kerja sebelumnya pun tidak mau kehilangan momen untuk mengepung istana. Mendesak pemerintah segera mengeluarkan Keppres untuk membatalkan pelaksanaan UU yg dinilai zalim bagi buruh tersebut.
Tuntutan utama mereka yakni mendesak pembatalan pelaksanaan UU Cipta Kerja terkait pengupahan yang dianggap tidak adil. Beberapa hari terakhir ramai di lini masa, opini ajakan kepada buruh untuk menuntut surplus profit dari hasil keringat mereka yang seharusnya menjadi hak mereka, yang selama ini justru dinikmati oleh segelintir pemodal.
Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) yang terdiri dari kalangan buruh, mahasiswa, petani, dan kelompok masyarakat sipil lainnya melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran di depan Istana Kepresidenan, Jakarta hari ini, Senin (29/11). Aksi tersebut untuk menuntut Presiden Joko Widodo menerbitkan Keputusan Presiden mengenai kenaikan upah minimum (UMP) 2022 usai Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Undang-undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Berbagai masalah dalam perburuhan memang seringkali bahkan tiada henti disuarakan dalam berbagai kesempatan. Untuk peringatan Hari Buruh yang jatuh pada 1 Mei, salah satu tuntutan yang diajukan oleh serikat buruh Indonesia adalah menolak upah murah dan menghapus sistem kerja outsourcing. Hal ini hampir selalu muncul dalam tuntutan buruh di Indonesia. Pemenuhan hak pekerja Indonesia memang belum sepenuhnya terlaksana.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Imelda Freddy, menyoroti beberapa hal yang sering menjadi masalah bagi pekerja Indonesia. Di antaranya yakni terkait Upah Minimum Provinsi (UMP). Pemerintah sendiri sudah menetapkan UMP yakni standar upah sesuai dengan ketentuan daerah masing-masing. Masalah timbul saat pihak pemberi kerja atau pengusaha tidak mematuhi hal ini dan justru memberikan upah yang berada di bawah standar kelayakan yang sudah ditetapkan.
Ditambah lagi lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, serta ketidaktegasan pemerintah menegakkan prinsip keadilan dan transparansi dalam perburuhan. Misalnya saja, dalam isu outsourcing, Praktik ini merupakan suatu hal yang umum terjadi dalam realita bisnis di Indonesia bagi pihak pemberi kerja atau perusahaan. Sistem kerja outsourcing yang ada dapat mengurangi cost, sehingga harga product dan service yang ditawarkan bisa menjadi lebih murah.
Belum lagi realita yang terjadi misalnya dalam kontrak outsosurcing-nya dijanjikan akan direkrut menjadi pegawai tetap. Namun, nyatanya hal ini tidak pernah dilakukan dan malah kontrak untuk outsourcing-nya terus diperpanjang tanpa ada batas waktu dan kejelasan. Pelanggaran ini pun terjadi pada ratusan atau ribuan pekerja.
Selain itu, hal lain yang belum terpenuhi secara maksimal adalah masalah jaminan kerja, mulai dari kesehatan, keselamatan, kecelakaan, hari tua, dan lain-lain. Permasalahan lainnya juga terkait persebaran pekerja di Indonesia yang tidak merata. Saat ini tenaga kerja di Indonesia sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sedangkan daerah lain di luar Pulau Jawa banyak kekurangan pekerja. Dengan minimnya jumlah pekerja, maka pembangunan di daerah pun jadi terhambat. Hal ini juga akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut, sehingga problem kesenjangan ekonomi di tengah-tengah masyarakat terus terjadi.
Sikap pemerintah yang setengah hati menjalankan fungsinya bahkan bisa dikatakan lepas tangan dari tanggung jawabnya merupakan penyebab dari problem masyarakat khususnya buruh. Serta hal yang paling mendasar tak lain akibat kesalahan dalam paradigma kapitalisme sekularisme yang menjadi landasan kehidupan saat ini.
Pertama, kesalahan konsep kapitalisme dalam memahami mekanisme pemenuhan kebutuhan individu rakyat. Hal ini terkait dengan jaminan pemenuhan seluruh kebutuhan dasar rakyat, termasuk kebutuhan sekundernya, baik bagi individu maupun kelompok. Dimana semestinya hal ini merupakan hak seluruh rakyat. Maka negara di sini wajib memenuhi kebutuhan dasar dan sekunder rakyatnya. Namun realitas di negeri-negeri kapitalis yang terjadi ialah justru tidak adanya jaminan bagi pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Sehingga rakyat dibiarkan sendiri berjuang memenuhi kebutuhannya.
Memang tidak dipungkiri ada sejumlah program bantuan yang diberikan negara pada masyarakat yang kurang mampu. Hanya saja solusi ini merupakan solusi tambal sulam. Bahkan tak jarang justru memunculkan problem baru. Misalnya saja ada kasus korupsi dalam pengadaan proyeknya. Bantuan tersebut pun sejatinya tidak memenuhi kebutuhan harian rakyat kecil. Bantuan ini hanya diberikan pada waktu tertentu dengan jumlah terbatas. Itupun masih sangat jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan harian rakyat.
Kedua, kesalahan konsep kapitalisme sekularisme terkait Upah Minimum Rakyat. Upah minimum menjadi standar atau patokan penentuan gaji di setiap daerah. Lalu realita yang ada, upah minimum itu standarnya hanya dapat memenuhi kebutuhan per kepala. Sedangkan dalam satu keluarga pastinya lebih dari satu kepala. Alhasil, pemenuhan kebutuhan rakyat menjadi ala kadarnya, bahkan bisa dikatakan tidak cukup. Sehingga sang kepala keluarga tadi bahkan tak jarang istrinya pun juga terpaksa ikut mencari penghasilan tambahan.
Belum lagi problem terkait para pemilik modal yang justru mengeksploitasi para pekerja, dengan beban kerja yang berat dan besar. Namun semua itu dapat dicukupi dengan dasar upah minimum tadi. Oleh karena itu rakyat diperas pikiran dan tenaganya untuk perusahaan, walaupun upah yang diterima tidak sebanding. Akhirnya lama kelamaan hal-hal yang dipaksakan untuk diterima oleh masyarakat ini menjadi hal yang lumrah. Upah yang minim dan tak bisa mencukupi kebutuhan keluarga di mayoritas masyarakat ini, wajar karena kurangnya kapasitas dan kecakapan dari individu itu sendiri. Sehingga sulit bagi mereka untuk menaikkan standar kehidupan. Selain juga berkorelasi dari status pendidikan yang ada sebelumnya.
Keterpaksaan masyarakat berputar-putar dalam problem ini akibat mereka tidak memiliki gambaran sistem lain selain kapitalisme sekularisme dalam memenuhi kebutuhan hidup. Padahal, ada konsep lain yakni dari Islam yang merupakan sebuah ideologi dan memiliki seperangkat aturan kehidupan termasuk aspek ekonomi dan sosial. Tak terkecuali, Islam pun memiliki aturan yang sahih dan bersifat sistematis dalam menyelesaikan problematika buruh ini.
Jika kaum buruh akan terus sengsara di bawah hukum kapitalisme, maka akan berbeda apabila hidup di bawah sistem Islam yang memiliki mekanisme pelayanan terbaik kepada umat. Ditambah motif utamanya yakni menyelesaikan seluruh problem umat secara real, tak ada motif lain seperti motif keuntungan dan kepentingan layaknya di sistem kapitalis. Termasuk dalam menuntaskan problem klasik buruh seperti saat ini. []
Wallahu a'lam biashshawab.
Oleh Novita Sari Gunawan
0 Komentar