Tudingan Terhadap Khilafah yang Patut Dikecam oleh Umat Islam



Usai memantik kegaduhan publik, lagi-lagi Menteri Agama (Menag) RI, Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan pernyataan yang kontroversial. Hal ini tak ayal memantik kembali kegaduhan di kalangan publik tanah air. Sedangkan kegaduhan demi kegaduhan yang memicu hiruk-pikuk perbedaan pendapat dari berbagai kalangan pada hakikatnya bukan merupakan hal yang positif. Pasalnya, kegaduhan tersebut bisa melahirkan kondisi yang tidak kondusif bagi persatuan anak bangsa.

Diawali dengan pernyataan Menag bahwa Kementerian Agama (Kemenag) adalah hadiah negara untuk Ormas Nahdhatul Ulama (NU) pada 20/10/2021. Pernyataan ini diperkuat pula oleh statement lain bahwa hal tersebut menjadikan suatu kewajaran jika NU sekarang banyak mendapatkan peluang di Kementerian Agama. Pernyataan Menag ini sontak mendapat banyak kritikan dari berbagai kalangan, bahkan dari kalangan internal NU sendiri.

Salah satunya adalah kritik yang disampaikan oleh Helmy Faishal Zaini, Sekjen PBNU pada Ahad (24/10/2021). Menurutnya, Kemenag adalah hadiah negara untuk semua agama, bukan hanya untuk kalangan NU. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas pada Minggu (24/10/2021) juga menyampaikan kritikan bahwa pernyataan Menag dinilainya tidak menghargai kelompok dan elemen umat yang lain, dan masyarakat pada umumnya.

Kemudian pada Senin (24/10/2021), Menag Yaqut mengeluarkan klarifikasi dengan menyatakan bahwa statement-nya tentang hadiah bagi NU tersebut hanya untuk konsumsi dalam forum internal keluarga besar NU saja. Kemudian menurutnya,  tujuan pernyataannya itu adalah untuk memotivasi para santri NU di pesantren. Namun, walaupun Menag meyampaikan klarifikasi demikian, publik tidak berhenti mengritik. Hal ini digadang-gadang, karena Menag tidak menyampaikan permohonan maaf atas pernyataanya yang menimbulkan kegaduhan tersebut. Sebaliknya Menag justru menyampaikan pembenaran atas statement-nya semula.

Di hari berikutnya, Menag kembali mengeluarkan pernyataan yang kontroversi. Pada Acara Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) Ke 20 yang digelar di Surakarta, Menag Yaqut mengatakan tuduhan yang tidak mendasar terhadap Khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam. Acara AICIS yang diselenggarakan pada tanggal 25 sampai 29 Oktober 2021 itu bertema “Islam In A Changing Global Contex: Rethinking Fiqh Reactualization and Public Policy.”

Dalam acara tersebut Menag menyatakan perlunya rekuntekstualisasi fikih Islam yang dianggap telah berhenti dan berakhir sejak abad pertengahan yang lalu. Salah satu yang perlu di-rekontekstualisasi-kan, menurut Menag adalah ide khilafah. Lebih jauh Menag juga mengatakan bahwa khilafah hanya akan menjadi bencana bagi umat Islam.

Perkataan Menag yang mendiskreditkan khilafah yang sejatinya merupakan bagian dari ajaran Islam dinilai banyak kalangan sebagai sebuah tudingan yang sangat keji. Hal ini karena sebagai seorang Menag, yang notabene ia juga beragama Islam, tudingan tersebut sangat kental menampakkan kebenciannya terhadap bagian dari ajaran agamanyanya sendiri. Bahkan Menag, kemudian mengungkapkan sebuah catatan sejarah yang tidak mendasar dalam memperkuat pendeskreditannya terhadap khilafah.

Menurutnya, perpolitikan dan militer di era Kekhilafahan Islam pasti selalu disertai dengan pembunuhan atau pembantaian antar pihak. Menag menganggap hal ini sebagai tragedi kemanusiaan bagi Kaum Muslimin, terutama saat memperebutkan kekuasaan. Entah dari mana Menag memperoleh sumber sejarah yang demikian. Yang jelas, catatan sejarah gemilang Kekhilafahan Islam yang berlangsung tak kurang dari 13 abad lamanya, tidak mungkin bisa dinilai hanya dari sekelumit fragmen pembunuhan dalam memperebutkan tampuk pimpinan Kekhilafahan Islam. Hal ini karena pada faktanya sekarang, belum genap 1 abad sejak Kekhilafahan Islam runtuh, telah terjadi berpuluh-puluh lipat kali banyaknya pembunuhan dan pembantaian yang dilakukan pada Umat Islam khususnya, dan manusia pada umumnya.

Jika dikaitkan dengan pembunuhan dalam tragedi meraih kekuasaan, contoh yang paling mudah adalah yang terjadi di negeri ini. Berapa banyak korban yang berjatuhan pada saat tragedi melengserkan Soeharto dari jabatan  presiden di tahun 1998? Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 melaporkan bahwa jumlah korban meninggal adalah sebanyak 1.217 jiwa, sementara yang luka-luka sebanyak 91 orang dan korban yang hilang sebanyak 31 orang (Sumber: Komnas Perempuan, Agustus 2006). Ini belum lagi ditambah dengan banyaknya korban perempuan yang mengalami tindakan kekerasan seksual dalam tragedi Mei ’98 tersebut.

Contoh lain terkait tragedi dalam meraih tampuk kepemimpinan adalah korban yang berjatuhan saat prosesi Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden di tahun 2019 lalu. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman mengungkapkan jumlah petugas penyelenggara pemilu tahun 2019 yang meninggal dunia adalah 894 jiwa. Sedangkan petugas KPPS yang mengalami sakit sebanyak 5.175 orang. Bahkan Kementerian Kesehatan merilis pernyataan tentang jumlah petuga KPPS yang sakit bukan 5.175 orang, melainkan 11.239 orang (Kompas.com, 22/1/2020). Korban-korban ini kemudian tidak pernah diusut penyebab kematian dan sakitnya hingga saat ini oleh pihak yang berwenang. Ini yang menjadikan tragedi Pemilu 2019 masih menjadi tuntutan publik hingga saat ini untuk diusut tuntas.

Wacana Reaktualisasi Fiqh yang disampaikan oleh Menag pada Acara AICIS  Ke 20 ternyata murni merupakan agenda dari Menag sendiri. Hal ini tentu masih terkait dengan benang merah Agenda Moderasi Islam. Menag Yaqut Cholil Qoumas meski memiliki style yang berbeda dengan Menag sebelumnya dalam mengimplementasikan Moderasi Islam, tetapi ia adalah seorang pejuang Moderasi Islam yang bertekad membumikannya di negeri ini.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Thoyib Al-Asyhar, seorang ASN Kementerian Agama di situs Kementerian Agama Republik Indonesia (14/2/2021), Menag menganggap sangat perlu menjadikan agama bukan sebagai tujuan yang menimbulkan gesekan sebagaimana yang terjadi pada abad-abad silam (baca: masa Kekhilafahan Islam). Hal ini karena menurut Menag, agama sejatinya “hanya” alat untuk meraih tujuan, yaitu dekat dengan Tuhan dan membentuk pribadi yang berakhlak mulia.

Hal ganjil yang bisa dianalisa dari pendapat ini adalah, jika Menag menganggap agama (Islam) hanya alat untuk dekat dengan Tuhan, mengapa ia tidak menganggap Khilafah yang merupakan alat terunggul  untuk dekat dengan Tuhan (Allah SWT)? Bukankah dengan penegakkan Kekhilafahan Islam sebagai institusi negara yang menerapkan Islam dalam tata kehidupan bernegara merupakan cara efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah? Hal ini karena dalam negara yang menerapkan peraturan berdasarkan Islam, akan menjadikan seluruh rakyat termasuk pemimpinnya dapat menjalankan perintah-perintah Allah dengan lebih sempurna.

Sangat absurd jika Khilafah sebagai institusi yang menjamin terlaksananya Islam secara lebih sempurna dan menyeluruh justru dikebiri. Bahkan tidak hanya sampai di situ, Islam Moderat yang menjadi agenda Kemenag hingga saat ini sampai pada satu titik, yaitu menganggap Khilafah sebagai bencana bagi umat Islam. Pandangan ini patut dikecam oleh Umat Islam! Hal ini karena penerapan Islam dalam institusi Kekhilafahan Islam justru akan menjadikan manusia berada dalam kebaikan dan keamanan yang diberkahi Allah.

Ini sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah SWT dalam Quran Surah An-Nur ayat 55, “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh, akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh, Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”

Jadi, ketika jelas hal-hal yang telah jelas dalam kebenaran Ajaran Islam, mengapa kemudian justru diputarbalikkan? Penegakkan Kekhilafahan Islam jelas dapat menjamin terlaksananya peraturan dan hukum-hukum Islam sebagaimana yang telah Allah perintahkan dan Rasulullah contohkan. Sebaliknya dengan menerapkan Sekulerisme dalam negara, pada faktanya justru menjadikan peraturan dan hukum-hukum Islam tidak dapat dilaksanakan secara menyeluruh. Contohnya adalah tidak bisa diterapkannya hukum berdasarkan Islam bagi para pembunuh, pembohong, pezina, pencuri, peminum khamr, pemakan riba, kriminal, koruptor, dan lain-lain. Ini yang menjadikan kondisi negara ini dan seluruh negara di dunia menjadi carut marut dan mengerikan. []


Oleh Dewi Purnasari
Aktivis Dakwah Politik


Posting Komentar

0 Komentar