Ulama dan Pengakuan Terhadap Khilafah



Khilafah telah menjadi salah satu topik pembahasan dalam agenda  Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-VII yang diselenggarakan selama tiga hari berturut-turut di Hotel Sultan Jakarta. Diskursus tentang Khilafah memang terus mengemuka pasca dibubarkannya HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), satu-satunya ormas yang mengusung ide ini. Sebagai ormas pengusung ide khilafah, HTI memang sangat getol untuk menyampaikan kebenaran akan realita khilafah sebagai satu-satunya sistem pemerintahan dalam Islam.

Terlepas dari pro dan kontra terkait ide khilafah selama ini, hasil ijtima ulama ini menunjukkan pengakuan akan adanya khilafah sebagai sebuah sistem pemerintahan Islam. Pengakuan ini termaktub dalam hasil ijtima ulama yang berbunyi. “Khilafah merupakan salah satu model atau sistem pemerintahan yang diakui dan dipraktekan dalam Islam tetapi bukan merupakan satu-satunya model. Dalam dunia Islam juga terdapat model atau sistem pemerintahan seperti monarki (kerajaan), keemiran, kesultanan, dan republik.”

Pengakuan ini tentu patut disyukuri sebab ini menunjukkan bahwa apa yang dibawa oleh Hizbut Tahrir bukanlah hal yang mengada-ada. Jika selama ini ide khilafah dianggap sebagai mimpi dan tidak realistis, maka dengan pengakuan ini umat menjadi kian paham bahwa cita-cita Hizbut Tahrir untuk mewujudkan khilafah bukanlah sekedar khayalan. Mimpi besar untuk mengembalikan penerapan sistem khilafah ini adalah sebuah cita-cita yang justru sangat mungkin untuk direalisasikan.

Adanya pengakuan ini sekaligus mampu menghilangkan keraguan dibenak umat bahwa ide khilafah bukanlah ide sesat. Bahwa khilafah yang diusung Hizbut Tahrir justru memiliki landasan dalil yang sangat kuat dan juga memiliki landasan historis yang nyata. Sejarah dunia telah mencatatnya dengan sangat jelas akan perjalanan panjang kejayaan khilafah sebagai sebuah sistem yg diterapkan selama 13 abad lamanya.

Secara tidak langsung pengakuan ini juga menunjukkan keberhasilan dakwah dan edukasi politik yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir. Sebagai pengusung ide khilafah, HTI tak pernah lelah melakukan berbagai upaya pencerdasan pada umat, membuat mereka paham akan kebenaran dalil dan membuka mata umat dari sejarah khilafah yang selama ini dikubur dalam-dalam.

Sejarah keberlangsungan sistem khilafah memang sulit ditutupi. Para sejarawan pun pada akhirnya tak bisa mengelak untuk menjelaskan kebenaran yang pernah terjadi. Sistem khilafah yang hadir dan berjaya selama 13 abad bukanlah hal mudah dihilangkan. Film dokumenter Jejak Khilafah Di Nusantara besutan Nicko Pandawa, sang sejarawan muda, yang di putar tanggal 20 Oktober 2021 lalu telah menunjukkan dengan sangat jelas akan hal ini.

Di sisi lain pengakuan ini juga tak lepas dari peran para ulama yang ikut serta dalam memberikan pencerahan di tengah-tengah umat. Lebih dari lima tahun belakangan ini isu khilafah memang menjadi perbincangan. Ada yang pro namun tak sedikit pula yang kontra. Adanya narasi yang bertentangan terkait khilafah ini sempat membuat umat bingung untuk memposisikan diri. Di saat umat kebingungan antara dua narasi yang bertentangan itulah, para ulama pada akhirnya harus tampil untuk menjelaskan kepada umat.

Maka, ketika para ulama merujuk pada berbagai kitab Turats tak bisa dipungkiri justru mereka  semakin mendapati bahwa khilafah itu memang pernah ada dan wajib terus ada di tengah tengah kaum muslimin. Semakin digali, kebenaran akan wajibnya khilafah semakin nampak jelas di depan mata.

Kini yang mengakui adanya sistem khilafah bukan hanya HTI. Tapi juga para ulama yang hanif, para intelektual yang obyektif, para sejarawan yang lurus dan umat Islam yang masih teguh memegang agamanya. Dan dengan adanya ijtima ulama ini, seluruh umat Islam di Indonesia akan mengakui kebenaran khilafah.

Rasulullah saw bersabda:
إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. at-Tirmidzi, Ahmad dan ad-Darimi)
Allah swt berfirman:

ثُمَّ أَوْرَثْناَ الْكِتاَبَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْناَ مِنْ عِباَدِناَ

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba kami.” (QS. Fathir: 32)

Al-Hafidz Ibnu Hajar ra mengatakan, “Ayat ini sebagai syahid (penguat) terhadap hadits yang berbunyi Al-’Ulama waratsatil anbiya (ulama adalah pewaris para nabi).” (Fathul Bari, 1/83)

Al-Imam Asy-Syaukani ra mengatakan, “Maknanya adalah Kami telah mewariskan kepada orang-orang yang telah Kami pilih dari hamba-hamba Kami yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an). Dan Kami telah tentukan dengan cara mewariskan kitab ini kepada para ulama dari umat engkau wahai Muhammad yang telah Kami turunkan kepadamu… dan tidak ada keraguan bahwa ulama umat ini adalah para shahabat dan orang-orang setelah mereka. Sungguh Allah swt telah memuliakan mereka atas seluruh hamba dan Allah swt menjadikan mereka sebagai umat di tengah-tengah agar mereka menjadi saksi atas sekalian manusia, mereka mendapat kemuliaan demikian karena mereka umat nabi yang terbaik dan sayyid bani Adam.” (Fathul Qadir, hal. 1418)

Di sinilah urgensi adanya para ulama yang hanif di sisi umat ini. Tanpa mereka, kebenaran Islam takkan tersingkap. Tanpa mereka, ajaran Islam yang ada dalam berbagai kitab Turats tersebut takkan sampai ke tengah-tengah umat. Melalui merekalah ajaran Islam ini terus terpelihara kemurniannya sebagaimana awalnya. Wallahu a’lam.


Kamilia Mustadjab


Posting Komentar

0 Komentar