UU Cipta Kerja yang disahkan tengah malam tahun 2020 yang lalu terbukti memang memiliki banyak masalah. Saat ini, setelah MK memutuskan bahwa UU ini inkonstitusional bersyarat, UU Cipta Kerja ini kian menambah rumit persoalan yang ada, bahkan memancing kemarahan rakyat. Aksi demo kaum buruh, sebagai pihak yang merasa paling dirugikan dengan kehadiran UU ini, tak terelakkan lagi. Di Jakarta, misalnya, demo yang dilakukan kaum buruh menuntut pencabutan UMP yang telah ditetapkan oleh Anies Baswedan.
Tuntutan kaum buruh terkait UMP memang bukan tanpa alasan. Sebab kenaikan UMP yang hanya mengalami kenaikan Rp 37.749 atau 0,85 % dibandingkan tahun lalu, jelas tak mampu mengangkat kehidupan ekonomi mereka. Berdasarkan surat keputusan yang diteken Anies, Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI tahun 2022 sebesar Rp 4.453.935. Sedangkan UMP pada 2021 sebesar Rp 4.416.186,548. (Tribunnews.com, 29/11/21)
Tentu saja kenaikan ini sangat tidak signifikan di tengah kebutuhan yang terus meroket harganya. Ditambah lagi dampak pandemi masih sangat terasa. Kenaikan ini dianggap sebagai PHP (pemberi harapan palsu) bagi kaum buruh. Janji kenaikan UMP ternyata hanya lip service saja.
Dan kenaikan ini berpangkal pada penerapan UU Cipta Kerja, sebagaimana ditegaskan oleh Wagub DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria. Dia menyatakan "Kewenangan regulasi itu adanya bukan di Pemprov, (tetapi) ada aturan Undang-Undang Cipta Kerja." Dia mengatakan adanya aturan atau regulasi yang harus ditaati oleh Pemprov DKI Jakarta terkait Upah Minimum Provinsi (UMP). Ketentuan yang dimaksud merupakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang merupakan aturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).(Liputan6.com, 27/11/21)
Ambigu dan Cacat Sejak Lahir
Tak hanya masalah kenaikan UMP buruh, UU Cipta Kerja yang ditetapkan inkontitusional bersyarat ini dianggap ambigu oleh beberapa pengamat. Memang aneh, sebab satu sisi UU ini sudah dianggap bertentangan dengan konstitusi tetapi masih dijalankan hingga 2 tahun ke depan hanya dengan alasan karena sudah banyak aturan pelaksanaan yang telah diimplementasikan. Karenanya banyak pengamat yang mempertanyakan keputusan MK ini.
Selain itu menurut advokat Denny Indrayana, keputusan MK ini bisa menimbulkan multitafsir. Dua pendapat yang muncul, pertama kubu yang berpandangan UU Cipta Kerja masih bisa dilaksanakan dalam dua tahun. Sedang kubu lainnya berpendapat UU Cipta Kerja tidak boleh lagi diimplementasikan sama sekali. (Tempo.co, 28/11/21)
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bermasalah sejak awal. Mestinya setiap pembuatan peraturan harus tunduk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun, pemerintah malah menggunakan omnibus law. "Ketika UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan meniru gaya omnibus law diuji formil dengan UU Nomor 12 Tahun 2011, UU tersebut bisa dirontokkan oleh MK (Mahkamah Konstitusi)," demikian ujar Yusril sebagaimana dilansir Kompas.com (26/11/21)
Yusril juga menilai, putusan MK ini berdampak luas terhadap kebijakan-kebijakan yang ingin dilakukan pemerintah yang sebagian besar berdasarkan pada UU Cipta Kerja. "Tanpa adanya perbaikan segera, kebijakan baru yang diambil presiden otomatis terhenti, ini berpotensi melumpuhkan pemerintah yang justru ingin bertindak cepat memulihkan ekonomi yang terganggu akibat pandemi," pungkasnya. (Kompas.com, 26/11/21)
Dampak yang sangat nyata dari UU ini adalah liberalisasi di berbagai bidang. Dan ini memberikan keuntungan yang sangat besar bagi para pemilik modal. "Lalu, akhirnya RUU ini diketok menjelang tengah malam gelap gulita. Dari segi substansi, UU ini meliberalisasi sektor pertanian, kehutanan, perdagangan, dan industri pertahanan nasional, lalu mencekik buruh," ujar Mulyanto, Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR.
Menariknya, di tengah putusan MK yang dinilai masih ‘setengah hati’ terkait putusan UU Cipta Kerja Inkonstitusional bersyarat, Ferry Juliantono, Politikus partai Gerindra, menyebut bahwa UU Cipta Kerja merupakan pesanan Tiongkok. “Omnibus Law itu, UU Cipta Kerja itu menurut saya pesanan Tiongkok lah, yang dititipkan kepada pemerintah saat ini untuk memberi karpet merah untuk semua fasilitas yang termaktub dalam UU tersebut,” kata Ferry Juliantono seperti dikutip Kabar Besuki dari Youtube Realita TV. (Keuangannews.id, 30/11/21)
Sistem Kapitalis, Pemberi Harapan Palsu
UU yang lahir mendadak dengan berbagai kontroversinya ini secara nyata menunjukkan pada kaum muslimin akan lemahnya sistem kapitalis yang dibuat manusia. Jika ditelaah lebih jauh, sistem kapitalis ini sebenarnya telah membuat nasib buruh dan pengusaha sama-sama sulit.
Para buruh harus menghadapi biaya kebutuhan dasar yang kian mahal, baik makanan, pakaian, perumahan, energi, pendidikan, dan kesehatan. Kenaikan upah mereka berkejaran dengan peningkatan harga-harga kebutuhan pokok mereka. Sebabnya, seluruh kebutuhan dasar itu dalam sistem kapitalis tidak menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar.
Di sisi lain, kalangan pengusaha juga dihimpit dengan berbagai kewajiban, seperti pajak, asuransi tenaga kerja dan kesehatan pekerja, biaya energi yang mahal, suku bunga yang tinggi dan biaya yang muncul akibat maraknya korupsi. Karena itu berbagai upaya akan mereka lakukan untuk meringankan berbagai kewajiban itu.
Dalam kondisi seperti ini, sistem demokrasi yang digunakan dalam bidang politik sangat membantu mereka. Sistem demokrasi telah mempermudah para pemilik modal mengontrol pemerintahan, termasuk mempengaruhi lahirnya berbagai regulasi yang menguntungkan mereka.
Jadi penetapan UMP ini sejatinya merupakan buah dari sistem pemerintahan demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme. Konsep upah minimum muncul dengan tujuan mencegah pengusaha memberikan upah di bawah kebutuhan dasar pekerja. Mengapa demikian? Sebab, prinsip upah minimum adalah safety net atau jaring pengaman agar buruh tidak menjadi miskin secara absolut. Dengan demikian, pengusaha dipaksa untuk menjamin kebutuhan dasar pekerja mereka. Tetapi, dengan upah minimum ini, pengusaha justru mendapatkan legalitas untuk memberikan upah rendah kepada pekerja yang memberikan manfaat yang tinggi kepada perusahaan. Jadi, justru kepentingan para kapitalis yang mendapatkan manfaat terbesar dari UU Cipta Kerja ini. Dan melalui skema seperti inilah, kapitalisme global semakin kuat menancapkan kuku penjajahannya atas negara ini.
Negara tidak lagi menjaga dan melindungi kepentingan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Bahkan negara menjadi pelaku utama dalam proses liberalisasi sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk diberikan kepada swasta, baik swasta dalam negeri maupun swasta asing.
Oleh karena itu, sudah seharusnya rakyat tidak lagi memberikan kepercayaan pada sistem ekonomi kapitalis liberal dan sistem politik demokrasi yang sekular, untuk mewujudkan kemaslahatannya. Hanya Islam saja yang mempunyai sistem ekonomi dan politik yang dapat membawa pada kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat secara merata dan paripurna.
Oleh Kamilia Mustadjab
0 Komentar