Perdebatan tentang boleh tidaknya seorang muslim mengucapkan selamat natal kembali menyeruak di akhir tahun ini. Gencarnya program moderasi beragama ikut andil dalam perdebatan ini. Sebab sejak pengarusan moderasi beragama, kaum muslimin kian banyak yang mencampuradukkan ajaran agama Islam dengan yang lainnya. Perayaan natal dengan membaca sholawat atas nabi adalah salah satu contohnya.
Tentu membina kaum muslimin dengan jumlah yang cukup banyak di Indonesia ini bukan pekerjaan mudah. Apalagi derasnya program moderasi beragama kini menyasar hampir seluruh sekolah-sekolah yang berada di bawah kementrian agama, bahkan menyasar majelis taklim di level grassroot.
Jika dicermati, penderasan arus moderasi beragama ini tak hanya dilakukan dengan pemberian materi, tetapi juga diiringi dengan pemberian stigma tertentu. Memberi pujian pada yang sejalan dan celaan bagi yang menentangnya. Termasuk ancaman duniawi, berupa tidak dinaikkan jabatan, dimutasi, dan sebagainya. Dengan pola semacam ini, ternyata tidak sedikit kaum muslimin yang pada akhirnya ikut arus menyuarakan moderasi beragama ini.
Ini menunjukkan pembinaan kaum muslimin tentang Islam belum sekuat yang diharapkan. Karenanya melawan penderasan program ini tak cukup hanya dengan meneriakkan ketidakbolehan serta keharaman mengucapkan selamat natal, tapi harus juga membangun kemampuan berpikir kaum muslimin agar tak mudah goyah akidahnya.
Membina akidah pada hakikatnya adalah membina akal. Membuat akal bisa berfungsi untuk berpikir secara rasional, merupakan inti dari pembinaan akidah umat. Tak boleh hanya sekedar doktrin dan dogma. Karena jika akidah dibangun dengan doktrin dan dogma, maka keimanan yang terpatri adalah keimanan yang lemah.
Kekuatan akidah ini nantinya yang akan menjadi bekal seorang muslim menghadapi gempuran serangan dari luar. Dan itulah yang dilakukan Rasulullah saw ketika membina para sahabat. Bilal bin Rabbah, karena kekuatan keimanannya sanggup menahan siksaan yang diberikan oleh orang-orang Qurays. Begitu pula dengan keluarga Yasir. Sungguh siksaan fisik tak mampu membuat keimanan mereka terpalingkan dari Islam.
Tak hanya itu, selain mengasah akalnya Rasulullah juga mengarahkan kecenderungan dalam diri para sahabatnya. Agar mereka tak lagi condong pada dunia. Agar mereka selalu mengingat negeri akhirat. Karena disitulah kelak kehidupan yang kekal itu akan mereka hadapi. Dan ini nampak sekali pada saat pembagian ghanimah di pasca kemenangan yang diperoleh kaum muslimin di perang Hunain
Dikisahkan harta rampasan yang diperoleh saat itu ada 6000 orang tawanan dan 24.000 ekor unta, lebih dari 40.000 ekor kambing dan 4.000 Uqiyah perak. Saat itu Rasulullah membagi-bagikan ghanimah kepada pemuka Qurays yang sudah masuk Islam seperti Abu Sufyan, Harits bin Umayyah, dan para muallaf serta para dhuafa lainnya. Namun Rasul sama sekali tak menyisakannya untuk orang-orang Anshar.
Orang-orang Anshar menjadi kecewa dan berkata kepada sesama mereka, “Rasulullah SAW hanya memberikan (unta-unta) kepada Quraisy, sedang kepada kami tidak. Padahal pedang-pedang kami masih berlumuran darah musuh. Semoga Allah mengampuni kekeliruan beliau." Ada juga yang berkata, “Sungguh Rasulullah telah berjumpa dengan kaumnya."
Melihat situasi itu, Sa’ad ibn Ubadah menemui Rasulullah menyampaikan yang sedang terjadi pada kaum Anshar. “Ya Rasulullah SAW, ketahuilah sesungguhnya kaum anshar memiliki beban kejiwaan kepada keputusan Anda.” Rasul bertanya,” Mengapa?” Saad bin Ubadah menjawab, “Karena Anda memberikan ghanimah kepada orang lain dan Anshar tidak.” Rasulullah SAW kembali bertanya, “Bagaimana dengan engkau wahai Saad?” Maka Saad menjawab, “Akupun bagian dari umatku.”
Lalu Rasulullah SAW pun meminta agar anshar semua dikumpulkan. Maka berkumpul mereka dan Rasulullah melakukan khutbah kepada mereka. “Saudara-saudaraku Anshar yang aku cintai, aku mendengar suara-suara sumbang tentang kalian dan adanya perasaan yang mengganjal dari kalian terhadap diriku. Bukankah aku datang ketika kalian dalam keadaan sesat, lalu Allah memberi kalian petunjuk? Bukankah aku datang ketika kalian dahulu dalam keadaan miskin? lalu Allah membuat kalian kaya? Bukankah kalian dahulu saling bermusuhan lalu Allah menyatukan hati kalian?”
Orang-orang Anshar menjawab, “Benar ya Rasulullah, Allah dan Rasul-Nya dermawan dan lebih banyak karunianya”. Rasul bertanya “Apakah kalian tidak mendengar seruan-seruanku?”. Mereka menjawab, “Dengan apa kami harus menyambut seruan mu ya Rasulullah? Milik Allah dan Rasul-Nyalah segala anugerah dan kemuliaan.”
Rasul bersabda, “Demi Allah, seandainya kalian menghendaki sungguh kalian akan mengatakan dan membenarkan ‘Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan tetapi kami meluruskanmu, engkau datang dalam keadaan lemah dan kamilah yang menolongmu. Engkau dalam keadaan terusir dan kamilah yang menampungmu. Engkau dalam keadaan kekurangan lalu kamilah yang mencukupkanmu”.
Rasul melanjutkan “Apakah di hati kalian saudara-saudara Anshar masih ada hasrat akan dunia? Dengan sekelumit dunia itu aku ingin mengambil hati segolongan orang agar mereka memeluk islam, sementara aku sudah yakin dengan keislaman kalian. Tidakkah kalian rela, wahai saudara-saudara Anshar, orang-orang itu membawa kambing dan unta sedangkan kalian pulang ke kampung kalian membawa Rasulullah? Demi Dzat yang jiwaku di dalam genggaman-Nya, kalaulah bukan karena hijrah pasti aku termasuk orang Anshar. Seandainya orang-orang berjalan ke bukit dan orang-orang Anshar ke bukit lain, pasti aku berjalan ke bukit kaum Anshar”.
Kaum Anshar menangis mendengar ucapan Rasulullah, kemudia Rasul menyambungkan ucapannya “Ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak-anak orang Anshar dan cucu-cucu orang Anshar”. Kaum Anshar semakin menangis hingga air mata membasahi pipi dan jenggot mereka. Mereka berkata, “Kami ridha kepada Rasulullah dalam soal pembagian ini.” Rasulullah bersabda, “Seandainya dunia ini sama nilainya dengan sayap nyamuk di sisi Allah, niscaya ia tidak akan memberikan minuman dari dunia itu kepada orang kafir, meskipun hanya seteguk air” (HR. Tirmidzi. Syeikh Albani menshahihkan hadist ini).
Demikianlah pola pembinaan Rasulullah kepada para sahabat. Rasul mengarahkan agar para sahabat tak lagi berhasrat pada dunia. Apalagi dalam persoalan akidah. Sangat jelas Allah melarang kaum muslimin menukar keimanan dengan harga yang sedikit.
Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah: 41.
وَلَا تَشْتَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِى ثَمَنًا قَلِيلًا
“Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah”.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan maksud ayat ini adalah kita dilarang oleh-Nya untuk menukarkan/menjual iman kepada ayat-ayat Allah dan pembenaran terhadap Rasul Allah hanya dengan harga dunia yang menggiurkan. Allah juga mengingatkan kepada kita bahwa dunia serta isinya adalah sesuatu yang memiliki nilai yang sedikit dan tidaklah dapat dimiliki secara kekal.
Dengan melakukan pembinaan akidah pada umat semacam ini, yakni mengasah pemikiran dan juga menghilangkan hasrat pada dunia, maka kaum muslimin takkan mudah dibelokkan dan dipalingkan dari akidahnya. Dengan demikian program moderasi ini tidak lagi bergigi untuk menyerang akidah kaum muslimin.
Kerenanya derasnya arus moderasi ini harus diimbangi dengan pembinaan akidah sesuai dengan pola pembinaan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Karena hanya dengan mengikuti cara-cara beliau, Allah akan ridlo dan kaum muslimin akan terselamatkan dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.
Oleh Kamilia Mustadjab
#ModerasiBukanSolusi
#WaspadaModerasiBeragama
#IslamJalanKebangkitan
#IslamKaffahSolusiHakiki
#UmatBangkitDenganIslamKaffah
0 Komentar