Memasuki penghujung Tahun 2021 bencana datang silih berganti menimpa beberapa wilayah di negeri ini. Dilansir dari laman berita CNNIndonesia.com, 28/11/2021, banjir kembali merendam sejumlah kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Ketinggian banjir mencapai hingga 50 centimeter. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari mengatakan, banjir terjadi sejak Sabtu sore (27/11), pukul 15.45 WIB.
Sebelumnya pun, di awal Tahun 2021 banjir besar telah meluluhlantakkan sebagian besar provinsi di Kalimantan Selatan tersebut. Dinyatakan sebanyak 342.987 orang terdampak, 18.294 meter jalan terendam, dan setidaknya 21 jembatan rusak. Berbagai spekulasi dari beberapa pihak dilontarkan guna mencoba menjelaskan penyebab utama banjir bandang yang belum pernah terjadi sebelumnya hingga menenggelamkan 13 kabupaten tersebut. Dari mulai hujan, perubahan tutupan lahan hingga kerawanan yang tinggi provinsi Kalimantan Selatan terhadap banjir. (detiknews.com, 03/02/2021).
Banjir pun terjadi tidak hanya di Kalimantan Selatan, tetapi juga di daerah lainnya. Yakni di tiga daerah di Jawa Barat, yaitu Kota Bandung, Garut, dan Indramayu. Banjir yang melanda hampir bersamaan di tiga daerah di Jawa Barat tersebut sudah diprediksi sebelumnya oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Geofisika Bandung. Dinyatakan ada sebanyak 13 wilayah kabupaten dan kota di Jawa Barat yang rawan dan berstatus waspada banjir hingga banjir bandang pada akhir November 2021. (Tempo.co, 27/11/2021).
Menarik untuk diulas lebih jauh, mengapa Indonesia dan pulau Kalimantan khususnya, yang dikenal sebagai paru-parunya dunia bisa mengalami bencana banjir yang sedemikian parah? Analisis yang dikemukakan oleh beberapa aktivis lingkungan bahwa akar penyebab banjir besar tersebut bukan karena tingginya curah hujan selama 10 hari berturut-turut, sehingga tidak mampu ditampung oleh Sungai Barito. Mereka menilai kerusakan ekosistem, akibat pembukaan lahan hutan untuk tambang dan perkebunan sawit lebih layak dianggap sebagai penyebab bencana banjir tersebut.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menyatakan banjir Kalsel terjadi karena eksploitasi berlebihan sehingga alam rusak. “Ekosistemnya memang dirusak oleh perizinan tambang dan sawit. Kawasan-kawasan yang punya fungsi ekologi terganggu, semisal kawasan gambut, hulu, badan sungai, dan kawasan karst.” Ujar Merah, kepada reporter Tirto. (tirto.id, 18/01/2021).
Dalam catatan JATAM, 33 persen dari wilayah Kalsel yang seluas 3,7 hektare, atau sekitar 1,2 juta hektare telah dikuasai perusahaan tambang batu bara. Sementara luasan perkebunan sawit mencapai 618 ribu hektare atau setara 17 persen dari wilayah Kalsel.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono juga berpendapat, aktivitas pertambangan batu bara dan perkebunan sawit menjadi penyebab banjir. Menurutnya, banjir tidak bakal terjadi jika hutan sekunder dan hutan primer yang fungsinya menyerap air, tidak tergusur oleh aktivitas tambang dan perkebunan. Ia mencatat 50% dari lahan di Kalimantan selatan telah beralih fungsi menjadi tambang batubara dan perkebunan sawit. “Banjir besar pernah terjadi tahun 2006 tapi tidak sampai merendam 13 kabupaten dan kota. Ini yang terbesar. Kalau hujan banjir setiap tahun, kalau kemarau kebakaran lahan.” Ujarnya menambahkan.
Oleh sebab itu, ia mendesak pemerintah untuk mengevaluasi secara menyeluruh izin-izin yang dikeluarkan. Sebab ia meyakini alih fungsi lahan tersebut menyebabkan degradasi hutan.
Hal senada juga diungkapkan oleh dua lembaga negara yang turut menganalisa tentang penyebab banjir di Kalsel, bukanlah hanya karena curah hujan yang tinggi selama berhari-hari. Tetapi ada penyebab lain yang lebih fundamental sifatnya. Dua lembaga tersebut adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
KLHK mengatakan penurunan luas hutan alam di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito di Kalimantan Selatan mencapai 62,8%. Sebelumnya tim tanggap darurat bencana di LAPAN menyebut penyebab banjir terbesar itu adalah berkurangnya hutan primer dan sekunder dalam 10 tahun terakhir di keseluruhan provinsi tersebut.
Jelas sudah terlihat dengan gamblang bagaimana sesungguhnya bencana demi bencana menghampiri negeri ini. Hanya karena ulah segelintir manusia yang mengeksploitasi sumber daya alam hingga sampai menyebabkan kerugian dan bencana bagi rakyat banyak.
Adanya kongkalikong para elit pengusaha dengan penguasa demi cuan bukanlah rahasia lagi, mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa pernah peduli bagaimana dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar. Tidak tanggung-tanggung perselingkuhan yang terjadi antara mereka, hingga akhirnya diterbitkanlah UU Minerba setahun yang lalu. Dimana muatan UU Minerba begitu kental dengan kepentingan pemilik perusahaan pertambangan, sedangkan kepentingan masyarakat wilayah pertambangan cenderung diabaikan.
Dengan sistem apalagi yang begitu mudahnya para penguasa membuat Undang-undang hanya untuk melegitimasi perbuatan para pemilik modal tadi? Hanya di dalam sistem ekonomi kapitalisme saja hal itu bisa terwujud. Penguasaan sumber daya alam oleh segelintir orang tidak bisa dinafikkan lagi, pemilikan dan pengelolaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Serta pemanfaatannya yang semestinya digunakan seluas-luasnya untuk kepentingan rakyat kini tidak berlaku lagi.
Karena kepemilikan secara Individu di dalam sistem kapitalisme tidak dibatasi, apapun itu selama mereka mempunyai modal yang besar, maka mereka boleh memiliki bahkan menguasai. Meskipun barang yang dimilikinya tersebut adalah barang yang sumbernya sangat melimpah, yang seakan tidak pernah ada habisnya. Seperti misalnya tambang batubara, emas, minyak, nikel, tembaga, dan lain-lainnya. Sehingga siapapun yang memiliki atau menguasai sumber tambang tersebut bisa dipastikan kekayaannya akan melimpah ruah, diibaratkan tidak akan habis hingga tujuh turunan.
Sistem kapitalisme yang hanya mementingkan sekelompok elit saja, sehingga akan terjadi mereka yang sudah kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan bertambah miskin. Gap sosial yang demikian lebar menjadi salah satu ciri kerusakan dari sistem ini.
Berbeda dengan sistem kapitalis, Islam justru memandang sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah sebuah kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara, hasilnya pun diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Serta, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta, apalagi asing.
Diantara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah Saw, “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput, dan api.” (HR. Ibnu Majah). Kemudian Rasulullah Saw juga bersabda, “Tiga hal yang tak boleh dimonopoli:air, rumput, dan api.” (HR. Ibnu Majah).
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat, minyak bumi, intan, dan lain-lain tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum muslim, sebab hal itu akan merugikan mereka.”
Anggapan yang mengatakan bahwa Islam hanya mengatur sebatas masalah ibadah dan ritual semata adalah salah besar. Islam hadir ditengah-tengah umat manusia, bukan hanya sebagai agama tetapi juga sebagai way of life, sebagai aturan hidup yang mengatur seluruh kehidupan baik dalam skala kecil seperti misalnya keluarga atau skala yang lebih besar yaitu masyarakat, bahkan hingga skala negara. Allah Swt berfirman, “Kami telah menurunkan kepada kamu (Muhammad) Alquran sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk , rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89).
Wallahu a’lam bish-showab.
Oleh Anjar Rositawati
0 Komentar