Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang populer saat ini. Banyak negara mengaku mengadopsi untuk mengatur perpolitikannya. Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία (dēmokratía) "kekuasaan rakyat” yang terbentuk dari δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan" pada abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah satunya Athena; kata ini merupakan antonim dari ἀριστοκρατία (aristocratie) "kekuasaan elit". (www.wikipedia.org).
Demokrasi sebagai sebuah prosedur memang sudah dikenal di jaman Yunani Kuno. Kata "demokrasi" pertama muncul pada mazhab politik dan filsafat Yunani kuno di negara-kota Athena. Dipimpin oleh Cleisthenes, warga Athena mendirikan negara yang umum dianggap sebagai negara demokrasi pertama pada tahun 507-508 SM. Cleisthenes disebut sebagai Bapak Demokrasi Athena.
Demokrasi Athena berbentuk demokrasi langsung dan memiliki dua ciri utama: pemilihan acak warga biasa untuk mengisi jabatan administratif dan yudisial di pemerintahan dan majelis legislatif yang terdiri dari semua warga Athena.
Semua warga negara yang memenuhi ketentuan boleh berbicara dan memberi suara di majelis, sehingga tercipta hukum di negara-kota tersebut. Akan tetapi, kewarganegaraan Athena tidak mencakup wanita, budak, orang asing (μέτοικοι metoikoi), non-pemilik tanah, dan pria di bawah usia 20 tahun.
Dalam konteks sebagai sistem pemerintahan, kelahiran demokrasi bermula dari adanya pergolakan penguasa Eropa dengan rakyatnya pada abad pertengahan. Karena adanya penindasan penguasa Eropa yang bertindak sewenang-wenang dengan legitimasi agama.
Para filsof dan pemikir mulai membahas masalah pemerintahan dan menyusun konsep sistem pemerintahan rakyat. Dalam sistem itu rakyat menjadi sumber kekuasaan. Penguasa mengambil kekuasaan dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Tidak ada satu kekuasaan pun yang menguasai rakyat. Karena rakyat ibarat pemilik budak. Rakyat berhak membuat peraturan yang akan mereka terapkan. Lalu, menjalankannya sesuai dengan keinginananya. Rakyat berhak mengangkat penguasa untuk memerintah rakyat dengan peraturan yang dibuat oleh rakyat. (Abdul Qadim Zallum)
Oleh karena itu, jelas jika sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam hal ini tidak ada sama sekali peran wahyu atau agama. Karena dia lahir dari akidah pemisahan agama dari kehidupan yang melahirkan pemisahan agama dari negara.
Ada dua ide dasar dalam demokrasi. Pertama,kedaulatan ada di tangan rakyat. Dengan kata lain ide ini menjadikan rakyat sebagai musyarri’ (pembuat hukum). Ide yang kedua adalah rakyat sebagai sumber kekuasaan. Artinya, rakyat harus dianggap berhak melaksanakan peraturan yang dibuatnya serta memilih badan eksekutif dan yudikatif. Dalam kata lain rakyat bertindak sebagai munaffidz (pelaksana hukum) dalam kedudukannya sebagai sumber kekuasaan.
Dalam tata pelaksanaannya, demokrasi merupakan sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan anggota dewan perwakilan berdasarkan suara mayoritas. Semua keputusan pun diambil dengan suara mayoritas.
Di lain pihak demokrasi menyatakan adanya kebebasan individu. Kebebasan individu itu meliputi : kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan berkepemilikan, dan kebebasan bertingkah laku. Demokrasi diamanahi untuk mewujudkan kebebasan itu dalam tiap individu, agar rakyat bisa menjalankan kedaulatannya dan menerapkan peraturannya sendiri. Juga rakyat bisa berpartisipasi dalam pemilihan para penguasa dan anggota lembaga-lembaga perwakilan dengan sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan atau paksaan.
Namun, jika kita lihat prakteknya, konsep demokrasi diatas faktanya tidak pernah bisa dilaksanakan. Sebab berkumpulnya rakyat dalam satu tempat dan satu waktu secara terus menerus untuk merumuskan hukum itu hal yang mustahil. Demikian juga konsep seluruh rakyat harus menyelenggarakan pemerintahan dan mengurus administrasinya juga hal yang mustahil. Oleh karena itu, penggagas demokrasi menakwilkan dan mengarang manipulasi ide demokrasi dengan mengada-adakan apa yang disebut kepala negara, pemerintah, dan dewan perwakilan.
Klaim bahwa perangkat yang diada-adakan tadi merupakan suara mayoritas pun hanya bohong belaka. Sebenarnya mereka merupakan wakil dari minoritas. Mengingat kedudukan seorang anggota parlemen atau kepala negara lewat pemilu sebenarnya dicalonkan oleh sejumlah orang bukan satu orang. Karena itu suara pemilih di suatu daerah harus dibagi dengan jumlah orang yang mencalonkan.
Lagi pula, demokrasi sebagai sistem yang mahal membuat para kepala negara dan anggota parlemen menjadi wakil para kapitalis. Dalam tulisan di akun FB Nanik S Deyang dikatakan bahwa menurut mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo, untuk jadi presiden perlu dana 7-9 Trilyun. Tak pernah ada calon yang mempunyai dana sebesar itu. Yang punya dana tentu saja para konglomerat.
Para konglomerat itulah yang mendudukkan kepala negara dan anggota parlemen dalam jabatannya. Akhirnya kepala negara dan anggota parlemen ada dalam pengaruhnya. Hingga pembuatan, penetapan, dan pelaksanaan hukum pun bisa semau mereka. Jadi, kedaulatan di tangan rakyat itu hanya omong kosong belaka. Rakyat hanya dibutuhkan legitimasi suara dalam panggung sandiwara pemilu. Hingga slogan “Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. (Democracy is government on the people, by the people, and for people)” (Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat) itu berganti menjadi dari, oleh, dan untuk korporasi.
Yang paling mengerikan dari penerapan demokrasi adalah ide kebebasan individunya. Ide ini telah menyebabkan malapetaka secara universal,memerosotkan harkat martabat manusia hingga lebih rendah dari binatang. Dengan kebebasan beragama membuat manusia menyepelekan agama. Agama yang harusnya diposisikan secara sakral diperlakukan sebagai recehan. Gonta ganti agama disahkan. Bahkan tak beragama pun diperbolehkan. Padahal binatang saja senantiasa bertasbih kepada Tuhan tanda mengagungkan-Nya. Kebebasan berkepemilikan pun menjadi jalan tol untuk memuaskan kerakusan manusia. Ini memunculkan kaum kapitalis yang tega menjajah dan mengeksploitasi suatu bangsa guna menyedot harta miliknya.
Demikian juga dengan ide kebebasan berperilaku membuat manusia-manusia amoral tumbuh bak jamur di musim hujan. Ide ini menyeret mereka untuk berbuat serba boleh. Tak ayal, perilaku menyimpang ini menghantarkan pada berbagai kerusakan. Mulai dari penyakit kelamin menular, hancurnya institusi keluarga, dan segudang permasalahan lainnya.
Ide kebebasan berpedapat pun tak kalah absurdnya. Dengan berlindung dengan ide ini manusia jadi tak tahu malu menghina agama lain, mengeluarkan pernyataan yang menyakiti segolongan umat, dan segudang ungkapan buah pikir nyeleneh bersebrangan dengan hukum Allah yang lainnya.
Inilah demokrasi. Tentu saja, ia bertolak belakang dengan Islam. Dari segi kemunculan, akidah yang melahirkan, garis besar maupun perinciannya, serta ide dan peraturan yang dibawanya semua tidak ada hubungannya dengan Islam.
Dari segi kemunculan Islam lahir dari wahyu Allah swt yang diterima oleh Rasulullah saw. Dalam hal ini Allah swt berfirman yang artinya,
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanya berupa wahyu yang diwahyukan.” (QS. An-Najm:3-4). Sedangkan, asas lahirnya sistem Islam adalah aqidah islamiyah yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan-Nya. Manusia hanya menjalani kehidupan berdasarkan perintah dan larangan ini.
Islam pun hanya memberikan hak kepada Allah swt saja sebagai pembuat hukum (kedaulatan di tangan Allah). Sebagaimana firman Allah swt dalam QS. Al An’aam:57,
“ Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” Sementara hak untuk melegislasi hukum diamanahkan Allah swt kepada kepala negara Islam (Khalifah).
Dalam tata pelaksanaan pengambilan keputusan, suara mayoritas tidak senantiasa mengikat khalifah sebagaimana dalam demokrasi. Jika suatu hal itu merupakan hukum syara, maka tidak ada celah manusia untuk mendiskusikan pelaksanaannya. Kalaupun Khalifah meminta pendapat, hal itu tidak mengikat. Seperti yang terjadi pada Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah saw tetap menyepakatinya, walau mayoritas menolaknya.
Namun, jika hal tersebut berupa hal teknis atau menyangkut kemaslahatan umat maka musyawarah bisa dibuka. Dan itu pun tidak serta merta melakukan voting untuk mendapatkan suara mayoritas. Jika perkaranya memerlukan keahlian untuk diputuskan, maka pendapat para ahlilah yang dirujuk. Seperti ketika akan membuat parit pada Perang Khandak.
Pendapat mayoritas bisa dirujuk dalam perkara yang langsung menuju amal praktis (teknis) tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan yang mendalam. Dalilnya ketika terjadi Perang Uhud. Rasulullah saw dan para sahabat senior berpendapat bahwa muslimin tidak perlu keluar kota Madinah. Tapi mayoritas suara berpendapat sebaliknya. Akhirnya, Rasulullah saw memutuskan untuk mengambil pendapat mayoritas.
Terakhir, dalam kebebasan individu, sungguh dalam Islam tidak mengenalnya. Sebab, seorang muslim wajib mengikatkan diri dengan hukum syara dalam seluruh perbuatannya. Seorang muslim tidak boleh berbuat sekehendaknya.
Dari uraian di atas, kalau kita ibaratkan kepada pasangan, demokrasi dan Islam adalah pasangan yang tak pernah menemukan kecocokan. Tak akan bisa berjalan beriringan. Karena sudah sangat bertolak belakang.
Oleh Rini Sarah
0 Komentar