Atasi Krisis Perubahan Iklim dan Lingkungan dengan Sistem Islam




 Komunitas internasional mengaku putus asa menemukan solusi atas krisis perubahan iklim dan lingkungan. Beberapa dekade terakhir, untuk mengatasi masalah tersebut, berbagai perjanjian internasional telah ditandatangani seperti Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim 1992, Protokol Kyoto 1997, dan Kesepakatan Paris 2015. Namun, tetaplah sangat sedikit kemajuan signifikan yang dicapai dalam menangani secara efektif tantangan lingkungan saat ini.

 

Diskusi dan perdebatan sejauh ini telah gagal mendiagnosis dan mengobati akar penyebab krisis lingkungan global. Karena faktor-faktor yang banyak disalahkan sebagai penyebab seperti: penggunaan bahan bakar fosil yang tinggi, penggundulan hutan massal, produksi daging yang tinggi, kebijakan pertanian yang berbahaya, tingkat produksi dan konsumsi manusia yang berlebihan, aliran air yang terkontaminasi berbagai industri dan pabrik, dan berton-ton sampah plastik, pakaian serta produk limbah lainnya. Pada kenyataannya hanya merupakan gejala bukan akar masalahnya.

 

Selama ini solusi yang disampaikan terfokus pada upaya mengurangi emisi global yang tinggi dari gas rumah kaca khususnya CO2. Aksi nyatanya dengan penghapusan pembangkit listrik batubara, peningkatan investasi dalam energi terbarukan, mengganti kendaraan berbahan bakar bensin dengan model listrik dan pendanaan yang lebih besar untuk mendukung transisi iklim di berbagai negara. 

 

Inilah yang sudah ditetapkan dalam Perjanjian Paris, perjanjian internasional yang mengikat secara hukum tentang perubahan iklim yang diadopsi oleh 196 pihak pada COP21 di Paris pada 12 Desember 2015 dan mulai berlaku pada 4 November 2016. Indonesia sebagai salah satu pihak yang menandatangani Perjanjian Paris telah meratifikasi dalam hukum nasional melalui UU Nomor 16 Tahun 2016.

COP26 adalah lanjutan dari Perjanjian Paris pada 2015 untuk menentukan langkah dalam menyusun target dekarbonisasi.  Pasalnya, perjanjian yang ditandatangani 6 tahun silam tersebut dinilai tak mencapai target batas pemanasan global yang ditetapkan. Negosiasi pada perhelatan ini akan berfokus pada target yang lebih ambisius untuk dicapai pada 2030.  

 

COP26 menjadi momen evaluasi pertama COP21. Dengan kata lain, COP26 pertemuan pertama untuk melakukan evaluasi Paris Accord, setelah pada 2020 ditunda karena Covid-19. Ada 4 fokus isu pembahasan COP26, yakni pentingnya peralihan ke kendaraan listrik, mengakhiri deforestasi dengan bantuan keuangan, pengusung aturan untuk pasar karbon global dan mobilisasi dana untuk negara-negara berkembang. Dengan negosiasi perjanjiannya cukup alot, pengadopsian Perjanjian Iklim Glasgow baru bisa dilakukan pada 13 November. Dalam Perjanjian Iklim Glasgow, sekitar 200 negara sepakat untuk mengurangi penggunaan batubara, mengakhiri subsidi bahan bakar fosil, dan berkomitmen mencapai target pengurangan emisi.

Ada satu hal menarik dari hasil KTT ini yang terkesan janggal, penetapan harga karbon. Apakah ini hal baru, ternyata tidak. Dasar menciptakan kredit karbon adalah Protokol Kyoto dan Skema Perdagangan Emisi UE (EU ETS).  Ekonomi berbasis karbon yaitu ekonomi global didasarkan pada perdagangan dan pengendalian emisi karbon (ekonomi hijau). Semua negara yang telah menandatangani keputusan COP, seperti Perjanjian Paris, wajib menetapkan batas jumlah gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer. Jika sebuah perusahaan melampaui batas emisi yang ditentukan, ia harus membeli atau menggunakan kredit simpanan agar tetap berada di bawah batas emisi. Jika sebuah perusahaan tetap berada di bawah batas itu, ia dapat menyimpan atau menjual kredit tersebut. Ini dikenal sebagai pasar "batasan dan perdagangan" (cap-and-trade).

Dengan demikian CO2 telah menjadi komoditas, yang harganya ditentukan menurut prinsip "Penawaran dan Permintaan". Ini berarti, bahwa perjanjian iklim dan COP ini pada dasarnya menciptakan landasan hukum untuk memberikan hak polusi kepada perusahaan, yaitu hak yang dapat diperoleh dan dijual oleh perusahaan swasta!

Faktanya; 1ton karbon dioksida yang dihilangkan dari atmosfer diperdagangkan sebagai "kredit karbon" dan dijual di dalam apa yang disebut "pasar karbon". Menurut Ecosystem Marketplace, pasar karbon sukarela telah mencapai $6,7 miliar dan menuju tercapainya rekor nilai pasar tahunan sebesar $1 miliar+ untuk 2021.

 

Menurut laporan Negara and Tren Penetapan Harga Karbon dari Bank Dunia yang dirilis pada Mei 2021, sekitar 64 pasar kepatuhan karbon saat ini beroperasi di seluruh dunia dengan pendapatan sebesar $53 miliar dihasilkan dari penetapan harga karbon pada 2020-21. Pasar kepatuhan karbon terbesar berada di Uni Eropa, Tiongkok, Australia, dan Kanada.


Sama seperti pasar lainnya, pasar karbon menggunakan mekanisme penawaran dan permintaan sepenuhnya, yaitu perusahaan yang memiliki kelebihan kuota CO2 menjualnya ke perusahaan lain yang menggunakannya untuk meningkatkan polusi. Jadi berinvestasi dalam teknologi baru untuk mengurangi emisi karbon tidak akan mengurangi emisi karbon.

 

Pasar karbon diperkuat melalui berbagai kebijakan, seperti Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM), yang didefinisikan dalam Protokol Kyoto. Kebijakan ini secara keliru didefinisikan sebagai proyek pengurangan emisi di negara berkembang, padahal kenyataannya CDM mengizinkan negara-negara industry (yang memiliki sarana (finansial dan politik) yang diperlukan untuk meningkatkan kuota CO2 mereka melalui pembelian kredit CO2 dari negara-negara berkembang (untuk meningkatkan kuota CO2 mereka melalui pembelian kredit CO2.

 

Jadi, alih-alih mengurangi polusi, mereka malah membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan ini untuk melanjutkan polusi. Efek lain dari sistem kredit karbon berbasis batasan dan perdagangan (Cap-and-Trade) ini adalah industri yang lebih muda (dibandingkan dengan yang ada di Barat) tunduk pada tuntutan Barat untuk mengurangi emisi karbon mereka dengan melebih-lebihkan penilaian kuota. Akibatnya, mereka terpaksa membatasi industri dan kemakmuran ekonomi mereka agar tetap berada dalam kuota CO2 yang ditetapkan.

 

Akan tetapi, pengembangan industri membutuhkan peningkatan produksi pabrik, yang mengakibatkan peningkatan jumlah emisi karbon, bukan penurunan. Perkembangan sebagian besar negara-negara non-Barat, termasuk negara-negara di dunia Muslim, akan langsung dicegah mengingat negara-negara ini tidak memiliki industri nyata.

 

Selanjutnya mereka akan dipaksa untuk menjual kuota CO2 mereka ke negara-negara maju (dengan hasil yang mirip dengan India). Hasilnya adalah peningkatan produksi yang berbahaya dan merugikan manusia dan alam sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan Barat. Selain itu, kita harus tahu sistem cap-and-trade dirancang dengan tujuan untuk menaikkan biaya energi. Dalam krisis ekonomi saat ini, kebijakan energi yang mahal kontraproduktif untuk bisnis kecil dan para konsumen.

 

Namun, hal itu tidak penting bagi pemerintah kapitalis karena pendapatan pemerintah mereka akan meningkat lebih jauh melalui perdagangan karbon. Selain itu, pengurangan konsumsi listrik konsumen diklaim akan mengurangi emisi karbon yang ditimbulkan oleh listrik.  Sapi dituduh sebagai sumber gas rumah kaca pertanian No. 1 di seluruh dunia. Dengan demikian para kapitalis menuntut pengurangan ternak, dan menggantinya dengan daging buatan untuk memelihara umat manusia. Upaya murahan ini hanya berfungsi untuk menutupi kemunafikan dan keserakahan para politisi dan perusahaan kapitalis Barat.

 

Pada akhirnya, kita harus ingat perubahan dalam perlindungan lingkungan tidak sesederhana itu di dalam sistem kapitalis yang membiarkan dominasi dan pengaruh perusahaan-perusahaan multinasional ini. Mereka memainkan peran yang sangat besar di dalam sistem kapitalis saat ini, sehingga memungkinkan memanipulasi kebijakan dan hukum-hukum pemerintah dan internasional berdasarkan kepentingan mereka. Mereka terlibat dalam berbagai kegiatan yang merusak lingkungan, tetapi banyak politisi dan partai politik sangat terkait dengan perusahaan-perusahaan ini serta didukung secara finansial oleh mereka. Oleh karena itu, hanya perubahan ideologis yang menyeluruh yang benar-benar akan mendatangkan solusi yang nyata.

 

Krisis Iklim dan Lingkungan Butuh Solusi Global

Globalisasi masalah iklim dan lingkungan menyiratkan solusi untuk masalah tersebut harus pula bersifat global. Hal ini menunjukkan negara-negara kapitalis Barat tidak serius dengan solusi, karena sebenarnya merekalah yang memiliki solusi untuk masalah ini, bukan negara lain. Jadi mengapa mereka mengajak seluruh dunia untuk menyelesaikan masalah?!

 

Kesepakatan-kesepakatan yang telah dan akan dibuat (seperti solusi yang disajikan pada COP 26), menegaskan bahwa negara-negara kapitalis Barat memang tidak serius. Berbagai perjanjian internasional seperti Perjanjian Kyoto dan lainnya bahkan tidak ditandatangani oleh negara-negara besar itu, dan mereka hanya mematuhi perjanjian tersebut dalam hal-hal yang menjamin kepentingan mereka sendiri. Oleh karena itu, semua perjanjian dan konvensi ini hanyalah alat di tangan negara-negara besar untuk mendominasi negara-negara kecil.

 

Sementara itu, Islam mengharamkan negara Islam tunduk kepada negara lain atau menerima dominasi mereka. Allah SWT berfirman:

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“…dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman” (QS an-Nisaa’: 141).

 

Penaklukan melalui penerimaan perjanjian-perjanjian khusus ini akan membuat umat Islam dihambat dari membangun industri-industri yang nyata, dan pada saat yang sama akan merusak lingkungan dan mewujudkan eksploitasi Barat atas dunia Muslim. Penerimaan negara mana pun untuk tunduk pada kesepakatan dan konvensi apa pun yang membuat negara tersebut menjadi mangsa kolonialisme Barat, benar-benar merupakan kejahatan besar.


Satu-satunya cara untuk memecahkan masalah lingkungan global, masalah kemiskinan, dan masalah-masalah global lainnya adalah dengan menghilangkan dan membuang penyebab sebenarnya yang menimbulkan seluruh masalah tersebut. Caranya, yakni dengan penolakan secara global terhadap doktrin kapitalis yang tidak manusiawi, yang masih mengendalikan nasib bangsa-bangsa dunia, dan dengan mencari alternatif yang menjamin kebahagiaan dan ketenangan umat manusia.

 

Sistem Islam adalah solusi untuk seluruh masalah dunia, baik politik, ekonomi, sosial, lingkungan, dan lainnya. Sistem Islam pun akan menyelamatkan dunia dari kezaliman dan kegelapan yang telah ditimpakan oleh sistem kapitalis. Maka, pendekatan  sistem Islam untuk melindungi dan melestarikan lingkungan adalah mencegah materialisme yang merusak. Tujuannya mencegah terbentuknya masyarakat yang konsumeristik dan mewujudkan keseimbangan alam, manusia, dan kehidupan karena semua itu karunia Allah yang harus dinikmati dengan penuh ketaatan dan tanggung jawab.

 

Begitu juga, sistem ekonomi Islam mendukung pelestarian lingkungan. Manusia dan alam sebagai harmoni yang saling melengkapi. Manusia yang mengarah pada ketidakseimbangan lingkungan, membangun kesadaran dan rasa hormat terhadap alam, sehingga mencela pemborosan air, melindungi binatang, mencegah kerusakan di bumi.

 

Sistem Islam pun melarang eksploitasi dan perampasan alam, melarang bahaya dan hal-hal yang mendatangkan bahaya. Maka, hanya dengan sistem Islam yang diterapkan oleh seorang pemimpin yakni khalifah dalam kekhilafahan Islam lah kritis iklim dan lingkungan akan teratasi secara tuntas dan berkah untuk semua.[]

Oleh : 
Oleh: Nurhasanah
Aktivis Dakwah di Depok

Posting Komentar

0 Komentar