Saat pertama sekali kita memegang handphone (HP), apakah kita langsung memahami bagaimana cara mengoperasikannya? Tentu kita perlu belajar dari orang yang lebih dulu menguasi ilmunya. Seberapa detail kita menguasai semua aplikasi yang ada, maka bergantung pada seberapa dalam kita memperlajarinya. Semakin sering kita utak-atik, bertanya dan mencoba, akan semakin canggih pula kemampuan kita mengoperasikan HP tersebut.
Kemudian, darimana kita tahu cara berbisnis? Dari belajar juga tentunya. Entah dari teman, guru, mengikuti pelatihan, atau bahkan otodidak. Seberapa dalam kita menguasai ilmu-ilmu tentang bisnis, tentu bergantung pada seberapa dalam kita mengenal seluk beluknya, baik secara teori maupun praktik atau pengalaman. Semakin dalam ilmu, semakin luas wawasan dan semakin banyak pengalaman, tentu semakin matang dalam menjalankan bisnis. Bagaimana agar bisnis lancar, bagaimana saat menemui kegagalan, kesulitan, dan seterusnya.
Pun sama dalam hal ibadah, shalat misalnya. Dari mana kita tahu tata caranya? Dari belajar terlebih dahulu, bisa dari orang tua maupun guru/ustaz. Seberapa paham kita mengenai syarat dan rukun shalat? Tentu bergantung pada seberapa dalam kita memperlajari fiqihnya. Ada yang baru mampu menghapal gerakan-gerakan shalatnya saja. Ada yang sudah mampu melafazkan bacaannya dengan baik dan benar. Bahkan ada yang mampu memahami makna dari setiap ayat-ayat yang dibaca.
Apa jadinya jika kita tidak menguasai dengan benar cara mengoperasikan HP? Atau tidak terlalu paham bagaimana menjalankan bisnis? Bisa jadi HP menjadi error atau tidak berfungsi secara optimal. Alih-alih pekerjaan lebih mudah dan cepat selesai, yang ada malah menjadi terhambat. Atau bisnisnya bukan untung malah buntung, tidak berjalan sebagaimana mestinya dan lain-lain.
Sementara dalam perkara ibadah, konsekuensinya lebih besar dari sekedar tidak menguasai aplikasi HP ataupun ilmu bisnis tadi. Karena ibadah hubungannya dengan pahala dan dosa. Apakah ibadah tersebut diterima dan berbalas pahala, atau sebaliknya, tertolak dan mendatangkan dosa. Bahkan urusan HP dan bisnispun di dalam Islam dapat menjadi jalan kebaikan yang bernilai pahala dari sisi Allah, namun juga bisa mengundang keburukan yang mendatangkan murka Allah.
Contoh, HP dapat menjadi jalan keurukan jika digunakan untuk menikmati tayangan-tayangan yang merusak moral, atau untuk berkomunikasi dengan lawan jenis bukan mahram secara berlebihan. Sebagaimana yang terjadi hari ini, HP menjadi salah satu sumber konsumsi konten tak bermafaat mulai dari games hingga pornografi. Kebebasan berinteraksi melalui HP yang tanpa batas, menjadi salah satu jalan tingginya kasus-kasus kenakalan remaja, pergaulan bebas, hingga merebaknya zina.
Individu yang paham betul tentang agama, tentu akan menjaga diri dari hal-hal yang demikian. Meskipun kesiapan individu saja tak cukup. Masih butuh peran masyarakat yang menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial, yang tidak mendiamkan jika melihat kemaksiatan. Selain itu juga harus dikuatkan dengan peran negara sebagai pembuat kebijakan, bagaimana mengatur agar penggunakan HP tidak untuk hal-hal yang merusak keimanan. Individu, masyarakat dan negara semuanya harus simultan.
Dalam hal berbisnispun demikian. Bisnis akan mengantarkan kepada kesejahteraan dan keberkahan jika menggunakan ilmu ekonomi sekaligus sistem ekonomi yang benar. Karena Islam membedakan antara ilmu ekonomi dengan sistem ekonomi. Ilmu ekonomi berkaitan dengan teknis atau cara-cara produksi yang ilmunya dapat dipelajari dari siapapun, termasuk dari orang kafir. Sementara sistem ekonomi sifatnya khas atau khusus, karena berkaitan dengan pandangan hidup atau ideologi. Di dalamnya membahas tentang distribusi kekayaan, mulai dari cara mendapatkan, mengembangkan dan memanfaatkan harta, yang kesemuanya harus berdasarkan hukum syara’.
Dalam memperoleh kekayaan dalam Islam, ada aturan sistem kepemilikan. Mana harta yang boleh dimiliki invididu, mana harta milik negara, mana yang milik umum. Semua jelas di atur dengan sumber dalil yang shahih. Tidak boleh harta milik umum dikuasai oleh individu. Misalnya barang tambang, di dalam Islam haram hukumnya dimiliki oleh individu, swasta apalagi asing. Karena barang tambang adalah milik umum, yang harus dikelola oleh negara dan hasilnya untuk rakyat. Berbeda dengan hari ini, setiap individu bebas memiliki apapun dan berbisnis apapun. Dari sinilah akar kesenjangan ekonomi itu muncul. Yang kaya hartanya semakin meroket, sementara yang miskin semakin tercekik.
Begitu luar biasanya Islam, dari dua hal HP dan bisnis saja, begitu luas dan mendalam pembahasannya. Apalagi dalam hal ibadah ritual. Semuanya selain harus memenuhi syarat ikhlas karena Allah, caranya juga harus benar sesuai dengan tuntutan Rasulullah. Bagaimana Rasulullah shalat, bagaimana rasulullah berjual beli, bagaimana rasulullah berdakwah, hingga bagaimana rasulullah perang, semua telah dicontohkan. Yang kesemuanya itu tidak mungkin bisa dipahami kecuali dengan belajar. Maka, disinilah perlunya memahami agama secara mendalam agar tak gagal paham.
Namun hari ini belajar agama secara mendalam justru distigma sebagai aktivitas yang perlu diwaspadai. Yang memperlajari Islam secara mendalam dicap radikal, ektrim, berpotensi menyimpang dan lain-lain. Tanpa ada upaya duduk bersama kemudian dikaji dengan detail unsur radikalnya dimana, tolok ukur ekstrimnya apa, menyimpangnya bagaimana. Jika hal ini dilakukan bukankah justru akan menjadi edukasi yang positif, sehingga masyarakat tidak bingung dengan arus opini yang simpang siur?
Tapi faktanya, semua stigma tersebut hanya sebatas klaim sepihak yang justru terkesan ingin menghalangi umat muslim yang berusaha memahami dan mengamalkan agamanya sendiri secara mendalam dan menyeluruh. Padahal dengan menerapkan Islam secara keseluruhan Allah janjikan keberkahan dari langit dan bumi. Adakah kepentingan yang terancam jika umat muslim belajar Islam secara mendalam dan menerapkannya secara keseluruhan?
Oleh : Anita Rachman
0 Komentar