Alkisah ada sebuah negeri dengan seorang pemimpin yang menguasai tanah Jazirah Arab, Palestina, Syiria, sebagian Persia dan Mesir. Wilayah yang luas untuk pertanggungjawaban yang besar pula, bukan? Menjadi pemimpin bagi banyak kepala manusia disertai berbagai ingin yang berbeda dalam wilayah yang luas dan terus bertambah luas tentu saja bukan hal yang mudah. Pribadi pemimpin satu ini sangat tegas, berwibawa, dan cenderung keras. Tapi siapa yang mengira dengan pembawaan diri yang demikian, dia menjadi sosok yang dicintai rakyatnya. Bahkan pengaruh kekuasaannya tidak hilang ketika dirinya alfa dari dunia.
Kecintaan rakyatnya bukan karena klaim dirinya ke seluruh wilayah kekuasaanya bahwa ia adalah pemimpin yang sukses, berhasil, dan wajid dicintai. Bukan! Justru tidak jarang rakyatnya tidak mengetahui paras pemimpinnya ini. Tapi kecintaan kepadanya bukan sebab pencitraan diri, klaim data keberhasilan, atau pun paksaan untuk meng-aamiin-i kinerja. Kecintaan kepadanya karena kapabilitas dirinya mengemban amanah dari langit, khalifah fil ardh.
Beliau adalah pemimpin karismatik, Umar bin Khattab. Terkenal tegas dan tegas, tapi sangat dicintai rakyatnya. Klaim atas dirinya bukan berita yang mampu diperdebatkan, datang langsung dari Sang Pemilik Semesta, Al-Khaliq Al-Mudabbir (Pencipta dan Pengatur), Allah ta’ala melalui lisan kekasihnya, Baginda Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam.
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran di lidah dan hati Umar.”
Imam Ath-Thabarani dalam kitab Al-Awsath meriwayatkan dari Ibnu Abbas dia berkata, Rasulullah bersabda, “Jibril datang menemui saya, kemudian berkata, ‘Sampaikan salam kepadanya (Umar). Beritahukan kepadanya (Umar) bahwa kemarahannya adalah kekuatan dan kerelaanya adalah hukum.”
Apa resep Umar bin Khattab hingga menjadi pemimpin sukses dan dicintai rakyatnya, bahkan dicintai Allah dan Rasul-Nya? Rahasia kepemimpinannya bukanlah klaim data keberhasilan baik dari statistik atau pun data satelit. Karena itu bukanlah hal yang dibutuhkan rakyat. Rakyat tentu tidak membutuhkan berbagai data statistik peningkatan dan penurunan kualitas hidup mereka dan kondisi lingkungan mereka yang membaik ataupun memburuk. Rakyat butuh hasil nyata berupa kebijakan yang utuh menyeluruh memastikan penyelamatan alam dan perbaikan kehidupan mereka.
Maka pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, beliau tidak segan-segan memanggul gandum dan bahan pangan dalam kegelapan tanpa sorotan kamera atau pun persaksian penduduknya hanya untuk memberi pangan gratis bagi satu keluarga kecil tidak terkenal yang kelaparan. Sepanjang perjalanan memanggul pangan, Umar bin Khattab tidak henti-hentinya menyalahkan diri dan memohon ampun kepada Allah dengan berurai air mata karena kelalaiannya. Padahal sudah siang malam Umar senantiasa berkeliling untuk mengurusi rakyatnya.
Bukan! Bukan memohon validasi manusia, rakyat, dan data statistik seperti yang banyak terjadi pada penguasa-penguasa di bumi Allah hari ini. Tidak sama sekali! Umar tidak butuh pengakuan manusia atas upayanya memanggul pangan bagi rakyatnya. Karena bagi Umar, itulah kewajibannya sebagai pemimpin. Memastikan penyelamatan kehidupan rakyatnya beserta alam yang menjadi titipan Allah atas kepemimpinannya.
Maka menjamin hidup rakyatnya, menjaga alam yang merupakan bagian dari tanggung jawabnya, mengelola semua itu dalam rangka mencapai keberkahan adalah tugas seorang pemimpin yang ketika dirinya menjadi sumber hukum dan rujukan klaim adalah ridha dan murka Allah ta’ala. Sehingga dia tidak akan segan-segan mencabut semua ulah tangan manusia yang secara nyata merusak tatanan kehidupan manusia dan alam. Pertimbangannya bukanlah untung rugi serta kepentingan. Pertimbangan kebijakannya yang utuh dan menyeluruh adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjadi petunjuk pengaturan hidup umat manusia beserta apa yang ada di dalamnya.
Maka tak perlulah penguasa atau pun pendukungnya hari ini ribut mencari data valid mana yang menggambarkan kesuksesan penurunan deforestasi, kalau nyatanya upaya merusak alam sedikit dan banyak masih tercatat. Karena sedikit atau pun banyak pemberian izin kepada perusakan alam ini telah tegas dilarang oleh Yang Maha Memiliki segala sesuatu. Dan yang berwenang untuk menyelesaikan dan mengurusnya adalah penguasa. Karena pemimpin di dalam Islam adalah penanggung jawab urusan umat, bukan pelayan kepentingan segelintir pihak.
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَـٰنَـٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦۤۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرً۬ا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan [menyuruh kamu] apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS an-Nisa: 58).
Dan bukankah Allah ta’ala juga telah memperingatkan kita manusia, bahwa kerusakan iklim dan segala kerusakan yang terjadi di muka bumi ini tidak lain merupakan ulah tangan-tangan kita, manusia? Ulah tangan manusia yang ingkar dari menjadikan hukum-hukum Sang Pemilik Segala Sesuatu sebagai sumber hukum yang diterapkan di bumi yang menjadi milik-Nya.
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِى ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِى عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari [akibat] perbuatan mereka, agar mereka kembali [ke jalan yang benar]”(QS ar-Rum: 41).
Oleh Syifa Nailah Muazarah
0 Komentar