Covid dan Buruh, Persoalan yang Kian Mengakar dan Tak Kunjung Kelar


Sebagai kota metropolis, Bekasi tak hanya menyimpan sejuta pesona namun juga permasalahan yang mendera.

Saat ini, Bekasi seakan  masih terjerat kuat dalam jaring Covid-19. Bagaimana tidak, dalam kurun waktu 11-17 November 2021 tercatat 18 kasus baru berdasarkan laporan Komite Kebijakan Penanganan Covid-19 dan Transformasi Pemulihan Ekonomi Kota Bekasi. Dengan penambahan kasus baru ini kasus kumulatif Covid-19 di Kota Bekasi kini berjumlah 86.057 kasus (Kompas.com, 16/11/2021).

Persoalan pelik lainnya yang tak kunjung kelar di Bekasi adalah tuntutan kesejahteraan kaum kerah biru atau kaum buruh yang terus berulang. Dari tahun ke tahun jeritan aspirasi agar dipenuhinya kenaikan upah lantang disuarakan, nyatanya kesejahteraan yang diinginkan tak jua terealisasi. 

Dilansir dari Detik.com (19/11/2021), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak keras keputusan Menteri Tenaga Kerja (Menaker) yang menaikkan upah minimun hanya 1,09%. KSPI menilai besaran naiknya upah yang hanya Rp 37 ribu sangat tidak masuk akal. Bahkan ada daerah yang kenaikan upahnya hanya Rp 14 ribu. 

Menaker sendiri berdalih, upah pekerja di Indonesia terlalu tinggi. Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja, Dita Indah Sari menambahkan, nilai produktivitas tenaga kerja Indonesia cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan upah yang didapatkan. Bahkan nilai efektivitasnya berada di urutan ke-13 di Asia Tenggara (Galamedianews.com, 21/11/2021).

Persoalan penyebaran Covid-19 dan buruh di Bekasi ibarat benang kusut yang sulit terurai. Paradigma penyelesaian yang bertumpu kepada sistem yang salah mengakibatkan kedua masalah tersebut semakin mengakar. Akhirnya terus berjalan seakan tak pernah kelar.

Dalam menangani kasus Covid-19, kebijakan yang dikeluarkan Pemkot Bekasi seakan-akan hanya dilakukan setengah hati. Tarik ulur kebijakan sangat terasa. Saat kasus melandai, beberapa tempat yang mengundang keramaian mulai diizinkan buka, resepsi pernikahan boleh digelar, bahkan Pemkot mempersilakan Even Organizer untuk mengajukan perizinan jika akan menggelar konser. Namun jika kasus Covid- 19 kembali naik, pengetatan pun dilakukan.

Tak dapat dipungkiri jika kepentingan ekonomi dan keselamatan nyawa masyarakat ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Apalagi, dengan ditutupnya sejumlah tempat usaha berdampak signifikan terhadap turunnya Pendapatan Asli Daerah Bekasi. Sekalipun Satuan Tugas Covid-19 Kabupaten Bekasi telah menerima penghargaan atas kerja kerasnya dalam penanganan Covid, namun tidak berbanding lurus dengan penyebaran virus yang masih terjadi.

Pun masalah buruh. Cara pandang sistem ekonomi kapitalis menempatkan posisi buruh tak ubahnya mesin produksi yang tenaganya terus diperas. Kaum buruh tidak diposisikan sebagai "aset" yang berharga bagi keberlangsungan industri sehingga tenaga, jerih payah dan curahan upayanya patut diberikan kompensasi yang layak. Alasan Menaker bahwa upah minimun sudah tinggi berdasarkan jumlah hari libur yang banyak di Indonesia, sungguh mengada-ada dan tak dapat diterima.

Persoalan buruh dalam lingkaran sistem kapitalis terus bergejolak karena adanya dua kesalahan mendasar yang diadopsi. Pertama, masalah pengupahan distandarisasi berdasarkan biaya hidup dengan batas minimum. Jika kebutuhan hidup bertambah, maka upah akan ditambahkan sebatas biaya minimum. Kedua, mengalihkan tanggungjawab penjaminan kesejahteraan buruh dari negara kepada penguasa.

Baik masalah Covid maupun buruh, sejatinya hanya akan tuntas jika ditangani dengan sistem yang shahih. Islam telah menjawab permasalahan penanganan wabah jauh berabad-abad silam. Diterapkannya karantina wilayah dengan memisahkan yang sakit dengan yang sehat terbukti mampu menekan laju penularan penyakit. Roda ekonomi tetap berputar karena orang yang sehat tetap beraktivitas seperti biasa.

Carut marut sistem pengupahan ala sistem kapitalisme tak akan ditemukan dalam negara yang mengadopsi sistem ekonomi Islam. Islam tak mengenal upah minimum yang ditentukan oleh negara, namun upah yang diberikan sepadan dengan manfaat yang dicurahkan. Penentuan upah harus sesuai kesepakatan antara pekerja (buruh) dengan pengusaha. Jika tidak terjadi kesepakatan, maka diputuskan oleh seorang ahli.

Sebuah kesalahan fatal jika membebankan kesejahteraan buruh berupa kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (kebutuhan pokok yang terjangkau, biaya bahan bakar, listrik, pendidikan yang baik, kesehatan dll) ada di pundak pengusaha. Kondisi inilah yang menyebabkan masalah upah buruh tak pernah usai. Sejatinya, tanggungjawab menjamin kesejahteraan buruh yang juga bagian dari rakyat ada di pundak negara. 

Negaralah yang meredam gejolak melambungnya harga kebutuhan pokok, menyediakan bahan bakar, listrik, air, gas dll dengan harga murah, pendidikan dan kesehatan berkualitas terakses untuk semua rakyat secara gratis. Sedangkan pengusaha hanya bertanggungjawab atas pekerja dan usahanya yang dijalankan sesuai syariat Islam.

Sudah sepatutnyalah seorang pemimpin yang bertakwa dan taat kepada Allah Swt dan Rasul- Nya mengurus rakyatnya secara optimal. Jika dalam kondisi biasa saja ia dituntut untuk bertanggungjawab atas keberlangsungan hidup rakyatnya, maka dalam situasi pandemi saat ini tuntutan tersebut lebih besar lagi. Wallahua'lam.


Oleh Irma Sari Rahayu

Posting Komentar

0 Komentar