Desa Pantai Bahagia di Kecamatan Muaragembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat tidak sebahagia namanya. Telah belasan tahun penderitaan kerap melanda warga di desa tersebut akibat menjadi langganan banjir rob yang melanda tiap bulan. Selain itu tanah di wilayah tersebut hampir tenggelam dan sebagian daratan sudah mulai terkikis karena abrasi sudah dilevel sangat menghawatirkan.
Menurut sekertaris Desa Pantai Bahagia, Musim kemarau, air laut biasanya naik ke permukiman warga pada malam hari, sehingga banyak warga mengalami sakit lantaran istirahatnya terganggu. Sedangkan ketika musim hujan, air baru akan merambah ke permukiman warga pada pagi hingga siang hari.
Dampak serius lainya adalah banyak warga kehilangan mata pencaharian dan juga tempat tinggal dan semakin diperparah dengan tidak adanya upaya relokasi. Hal yang sangat ironis karena dahulu Desa Pantai Bahagia juga disebut sebagai Kampung Dolar akibat penghasilan warganya yang fantastis dari hasil alam dan potensi pantai ketika bencana abrasi belum melanda.
Kawasan hutan mangrove Muara Gembong merupakan rangkaian ekosistem mangrove di pesisir utara Teluk Jakarta, dari Tanjung Pasir di Tangerang, Banten, hingga ke Ujung Karawang. Kepadatan penduduk dan desakan ekonomi mengakibatkan mangrove Muara Gembong hancur yang didasari alasan berbagai kepentingan. (https://www.mongabay.co.id)
Menurut data perhutani mangrove alami di Muara Gembong yang seluas 10.481,15 hektar rusak parah. Sebagian besar kawasan ini, 93,5 persen, yang tidak begitu dipengaruhi pasang surut, telah dirambah masyarakat untuk dijadikan tambak dan lahan pertanian.
Persoalan tata ruang yang terjadi di Desa Pantai Bahagia muara gembong ini seharusnya menjadi tamparan bagi pemerintah daerah Bekasi untuk segera merumuskan langkah konkrit dari persoalan pelik ini. Terutama ditengah pengarus utamaan opini City Branding Bekasi yang sarat akan pembangunan, bahkan perubahan tata ruang di ditingkat provinsi, sebagaimana dinyatakan langsung oleh PJ Bupati Bekasi Dani Ramdan kepada pihak TVone. (Fakta, TVone)
Abrasi memang fenomena alam. Namun manusia mempunyai akal dan potensi untuk mencegah atau berusaha mengatasinya. Telah lama penderitaan warga menandakan tidak ada pengurusan yang baik dari fihak berwenang.
Seharusnya pengurusan dilakukan sejak awal dan dengan rencana yang stategis juga serius. Tidak adanya edukasi ke masyarakat untuk menjaga alam dan menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa ada resiko abrasi ketika mereka melakukan pembabatan hutan mangrove untuk nembuka lahan tambak adalah bukti tidak ada keseriusan pemerintah mengedukasi masyarakat. Ditambah setelah sekian belas tahun banjir rob terus menjadi langganan, membuktikan upaya perbaikan itu terlihat seperti tambal sulam.
Dari sini kita bisa melihat adanya salah kelola yang terjadi. Hal ini tidak terlepas dari sistem yang mengiringinya yaitu sistem yang hanya peduli pada 'profit oriented', ciri khas sistem kapitalisme dimana pemerintah tak punya kemandirian investasi.
Bagaimana dengan Islam? Dalam Islam pantai termasuk hutan mangrove yang ada di dalamnya, adalah bagian dari kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara dan hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum sehingga haram hukumnya menyerahkan kepada individu, swasta apalagi kepada asing.
Terkait kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).
Jika sejak awal pengelolaan hutan mangrove dipesisir pantai mengikuti kaidah ini yaitu tidak sembarangan diserahkan kepada masyarakat atau fihak lain tentu tidak akan terjadi eksploitasi besar-besaran yang mengakibatkan kerusakan dan bencana.
Selain itu pengurusan dan perbaikan juga menjadi kewajiban penguasa yang tidak boleh dianggap sepele dan harus serius karena islam telah menjadikan seorang penguasa sebagai pelayan dan perisai ummat dan akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah, sebagaimana sabda Rasulullah :
“Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim).
Dari Ibnu Umar RA dari Nabi SAW sesunggguhnya bersabda: "sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya"
Demikianlah islam merupakan sistem yang memupuk kuat kepekaan penguasa untuk bertanggungjawab dan melakukan edukasi juga menghadirkan kesadaran bagi rakyat untuk menjaga alam dimana mereka menumpang hidup. Wallahu'alam bissawwab.
Penulis: Oom Badriah S.Psi - Aktivis Muslimah
0 Komentar