Hujan Anugerah, Mengapa Jadi Musibah?



"Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji." (TQS. Asy Syuara: 28)

Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menyampaikan dalam al-Qur’an bahwa hujan adalah rahmat. Namun, rahmat Allah yang seharusnya sebuah anugerah kini malah menjadi penyebab musibah banjir dan longsor. Seperti di Sukabumi, dilansir dari rri.co.id (22/11/2021) bahwa telah terjadi 37 kejadian bencana menerjang Kota Sukabumi dalam kurun waktu 1 - 20 November 2021. Puluhan kejadian bencana ini menyebabkan kerugian mencapai Rp 1,6 miliar. Menurut Zulkarnain Barhami, Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Sukabumi, di pekan pertama dan kedua November 2021 Kota Sukabumi diterpa curah hujan tinggi sehingga kejadian banjir dan tanah longsor serta cuaca Ekstrem (Balong Cueks) terjadi di puluhan lokasi berbeda. 

Sementara di Kabupaten Sukabumi, menurut catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah atau BPBD Kabupaten Sukabumi terdata sepanjang Oktober 2021 terdapat 90 peristiwa bencana alam melanda berbagai wilayah di Kabupaten Sukabumi, Jawa barat. Didominasi longsor dan banjir. Kerugian mencapai Rp 3 miliar. 

Benarkah Karena La Nina?

Berdasarkan apa yang disampaikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terjadinya banjir disebabkan tingginya intensitas curah hujan. Sementara daya tampung Daerah Aliran Sungai (DAS) dan area resapan yang ada tidak cukup memadai. Adapun Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan naiknya intensitas hujan ini terkait dengan fenomena La Nina yang sudah dimulai sejak beberapa pekan sebelumnya. La Nina adalah fenomena penurunan Suhu Muka Laut (SML) di Samudra Pasifik bagian tengah di bawah kondisi normal.

Adanya pendinginan Suhu Muka Laut (SML) ini akan mengurangi potensi pertumbuhan awan di Samudra Pasifik tengah dan meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia secara umum. Inilah yang ditengarai memicu terjadinya bencana hidrometeorologi basah seperti banjir, banjir bandang, dan tanah longsor di beberapa wilayah Indonesia. Disebutkan fenomena La Nina ini akan melanda wilayah Indonesia hingga Februari 2022 mendatang.

Berdasarkan kondisi tersebut, BMKG mengingatkan agar pemerintah daerah serius dalam menanggapi peringatan dini La Nina ini. Juga mengingatkan pentingnya upaya mitigasi dan fokus pada penanggulangan pascakejadian demi meminimalisasi dampak dan kerugian yang lebih besar. Namun, benarkah banjir hanya karena La Nina?

Anugerah Jadi Musibah, Karena Manusia Berulah

Kejadian banjir dan longsor ini bukan hanya terjadi di Kota/Kabupaten Sukabumi, tetapi merata di semua wilayah di Indonesia. Hujan yang sejatinya merupakan rahmat dan anugerah kini menjadi bencana bagi manusia. Terjadinya bencana ini tidak semata-mata hanya disebabkan oleh La Nina sebagaimana yang disampaikan oleh BNPB, akan tetapi lebih banyak disebabkan faktor manusia. Curah hujan yang tinggi tidak akan menyebabkan banjir bila air hujan ini dapat diserap dengan baik oleh tanah. Siklus air sebagai suatu sunnatullah pun akan berjalan dengan baik.

Kita ketahui bahwa banyak lahan yang berfungsi sebagai daerah resapan air digunakan untuk industri. Akibatnya air tidak bisa menyerap ke dalam tanah. Di wilayah pegunungan, hutan yang semestinya berguna sebagai peresap air hujan ke dalam tanah sudah tidak lagi sesuai fungsinya. Akhirnya air hujan yang jatuh di permukaan bumi lebih banyak menjadi air limpasan (run-off), dan hanya sebagian kecil yang meresap dalam tanah (infiltrasi). Inilah akibat tingginya deforestasi dan alih fungsi lahan akibat pembangunan yang jor-joran di Indonesia terutama di kawasan penyangga air. 

Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan deforestasi di Indonesia mengalami peningkatan dari sebelumnya 1,1 juta hektare (ha) per tahun pada periode 2009—2013 menjadi 1,47 juta ha per tahun periode 2013—2017. Sementara itu, Greenpeace Indonesia menyebut angka yang jauh lebih besar. Selama periode 2003—2011 hutan yang hilang mencapai 2,45 juta ha. Selanjutnya angka ini naik menjadi 4,8 juta ha selama 2011—2019, termasuk dalam periode pertama kepemimpinan Jokowi dari 2014—2019.

Selama ini, saat terjadi banjir dan longsor cenderung rakyat yang disalahkan. Seperti buruknya budaya membuang sampah dan ketakdisiplinan dalam menjaga wilayah bantaran sungai. Juga adanya aktivitas-aktivitas lain menyangkut kawasan hutan dan penyangga air, seperti membuat pemukiman, atau pembukaan ladang berorientasi subsistem bukan bisnis.

Pemerintah tampaknya lupa, bahwa yang memegang kebijakan dan problem solver adalah mereka. Semestinya pemerintah di semua levelnya lebih serius mengevaluasi dan menyadari fungsinya sebagai pengayom dan pelayan masyarakat. Bukan sekedar regulator dan fasilitator. Hendaknya mereka bisa bermuhasabah, mengapa bencana seperti ini berulang terjadi sekaligus mencari solusinya secara mengakar, bukan fokus pada cabang apalagi selalu mencari kambing hitam.

Harus diakui bahwa sesungguhnya penyebab utama bencana banjir akibat kesalahan mereka juga. Paradigma pembangunan sekuler kapitalistis yang diadopsi benar-benar tidak akomodatif terhadap daya dukung lingkungan. Bahkan, tampak kebijakan pembangunan yang dilakukan hanya mengindahkan kepentingan para pemilik modal yang berorientasi bisnis.

Hal ini diperkuat dengan keluarnya berbagai kebijakan dan aturan yang alih-alih menjaga dan mengukuhkan fungsi keamanan wilayah dan kelestarian lingkungan, aturan-aturan dan kebijakan itu justru membuka ruang bagi para kapitalis merusak daya dukung lingkungan secara legal. Sebagai contohnya adalah UU Omnibus Law yang memberikan celah pembangunan tanpa adanya AMDAL dan IMB, tentu semakin menambah risiko kerusakan lingkungan. Para aktivis lingkungan melihat aturan ini justru bisa memicu kerusakan lingkungan. Di antaranya terkait perizinan berusaha yang makin dipermudah dan terbuka lebar di berbagai bidang. Tidak sedikit yang berkaitan dengan penguasaan tanah dan perubahan lingkungan. Artinya, UU ini membuat standar pengawasan dan pengendalian menjadi kian longgar.

Selain itu, kebijakan membuka berbagai kawasan untuk proyek-proyek strategis nasional pun sering kali diiringi munculnya isu-isu lingkungan. Seperti pembangunan kawasan food estate, kawasan-kawasan wisata, kawasan perindustrian, wilayah-wilayah pemukiman, dan lain-lain beserta infrastruktur pendukungnya. Semua ini jelas telah mendorong alih fungsi lahan, bahkan membuat banyak bagian tanah tertutup semen dan aspal hingga air tidak punya jalan “pulang”.

Solusinya Kembali Kepada Allah, Terapkan Islam

Pengelolaan dan paradigma pembangunan kapitalistik bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, manusia diperintah menjaga dan mengelola alam dan menjadikannya sebagai salah satu tujuan penciptaan. Bahkan menjaga alam ini lekat dengan tugasnya sebagai hamba Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.

Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman,


ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ


“Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar Ruum: 41).


وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ


“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS al-A’raaf : 56)

Dalam hal ini, Islam tak hanya memerintahkan untuk mengelola bumi dengan baik dan melarang untuk merusaknya, tapi juga memberi cara-caranya. Yakni berupa seperangkat aturan Islam yang melekat pada karakter manusia sebagai individu, sebagai masyarakat, bahkan dalam konteks negara.

Sebagai individu, Islam mengajarkan hukum syariat soal adab kepada alam dan lingkungan. Begitu pun masyarakat, diberi peran penting dengan kewajiban menjaga tradisi amar makruf nahi munkar. Selain itu, dalam Islam pemerintah bukan sebagai regulator, akan tetapi sebagai pelindung. Sehingga bila ada pihak-pihak yang ingin mendirikan perusahaan atau pabrik yang bisa merusak lingkungan tidak akan diberi izin. 

Dengan demikian, kerusakan alam, baik itu deforestasi dan juga pembangunan ala kapitalistik yang menyebabkan bencana banjir bandang dan tanah longsor, hanya akan bisa terhenti ketika tata kelola negara ini dipimpin oleh seorang khalifah yang menerapkan aturan berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah. Maka solusinya tiada lain yakni kembali kepada Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى, dengan menerapkan aturan Islam secara kafah. Selagi Allah masih memberi kita kesempatan untuk kembali maka bersegeralah memenuhi seruan dan ampunan-Nya agar terhindar dari azab yang lebih besar di dunia dan akhirat.

Wallahu’alam bishshawab


Oleh Silmi Dhiyaulhaq, S.Pd.

Posting Komentar

0 Komentar