Meski serangan pandemi Covid-19 belum juga reda, namun semangat Indonesia menjadi penyelenggara untuk menyambut perhelatan akbar G20 sungguh antusias. Forum G20 terdiri dari 20 negara yaitu AS, Argentina, Brasil, Australia, Kanada, Meksiko, Turki, Indonesia, Korea Selatan, Jepang, China, Jerman, Inggris, India, Arab Saudi, Afrika Selatan, Italia, Prancis, Rusia, ditambah Uni Eropa.
G20 yang diselenggarakan mulai 1 Desember 2021 hingga November 2022, diklaim Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mampu menyerap puluhan ribu tenaga kerja. Sebab, dalam acara ini akan dilakukan banyak pertemuan di berbagai daerah di Indonesia (katadata.co.id, 14/9/2021).
Pertemuan G20 berlangsung dua jalur, yaitu Finance Track yang membahas isu-isu di bidang ekonomi, keuangan, fiskal dan moneter. Serta Sherpa Track yang membicarakan isu-isu ekonomi non keuangan, seperti energi, pembangunan, pariwisata, ekonomi digital, pendidikan, tenaga kerja, pertanian, perdagangan, investasi, industri, kesehatan, anti korupsi, lingkungan dan perubahan iklim.
Di samping itu, pertemuan ini akan memberikan manfaat tidak langsung pada perekonomian. Menurutnya, dari berbagai pertemuan tersebut pemerintah bisa memamerkan sejumlah keberhasilan dalam reformasi struktural pada perekonomian.
Beberapa terobosan seperti Undang-Undang Cipta Kerja, serta Sovereign Wealth Fund (SWF) rencananya akan dipamerkan kepada 19 anggota G20 lain sebagai bukti keberhasilan RI. Airlangga menilai ini akan mendorong kepercayaan investor global, serta bukti percepatan pemulihan ekonomi Indonesia (msn.com, 14/9/2021).
Sementara itu, untuk pembangunan sosial, presidensi G20 dimanfaatkan Indonesia untuk menyisipkan topik menyangkut produksi dan distribusi vaksin. Selain itu, juga untuk mendorong negara-negara dunia menyepakati vaksin sebagai barang publik. Sehingga, bisa diakses lebih adil bagi negara-negara berpendapatan rendah.
Khususnya Indonesia yang memiliki Pendapatan per Kapita atau PDB terkecil di antara semua negara anggota G20 dan pandangan yang mengemuka saat ini adalah pentingnya bagi negara-negara berpendapatan menengah, serta yang memiliki pengaruh ekonomi secara sistemik untuk diikutsertakan dalam perundingan demi mencari solusi atas permasalahan ekonomi global (IMF, tahun 2020).
Demikianlah gambaran agenda di balik penyelenggaraan forum ekonomi global tersebut. Ini merupakan konsekuensi logis dari kapitalisme yang senantiasa membutuhkan negara-negara konsumen untuk melakukan ekspansi besar-besaran demi menghidupkan ekonomi mereka. Sebab dengan hadirnya Covid-19, negara-negara kapitalisme mengalami instabiltas keuangan bahkan pada taraf kebangkrutan ekonomi.
Karena dalam kredo kapitalisme, dunia terbagi menjadi negara produsen dan negara konsumen. Lalu apa alasan mendasar, mengapa Indonesia dimasukkan dalam forum G20? Bahwa karena setiap negara produsen memerlukan negara konsumen. Maka, alasan Indonesia diajak join dalam G20 hanya karena besarnya market size yang dimiliki dengan populasi sebesar 270.203.917 jiwa dengan usia produktif sebanyak 71,98 persen (BPS 2020).
Maka, jika kita menelusuri lebih dalam bahwa alasan dibentuknya G20 adalah inheren dengan kepentingan penjajah kapitalis yang hendak melakukan kolonialisasi ekonomi pada isu krusial. Selain itu, Indonesia merupakan destinasi impian bagi penjajah kapitalis untuk menguasai SDA dengan strategi kemudahan investasi.
Oleh sebab itu, harapan Airlangga untuk meraup triple profit dengan menjadi presidensi pada forum G20 hanyalah sebuah absurditas yang tidak berdasar. Bagaimana tidak, Indonesia bukanlah rival bagi negara maju tersebut. Indonesia hanya diposisikan sebagai lahan penjajahan ekonomi bagi negara-negara kapitalisme yang sedang porak-poranda karena serangan pandemi Covid-19.
Bukankah target utama pertemuan negara-negara ekonomi global adalah menancapkan pengaruh negara asing bagi negara menengah, seperti Indonesia. Olehnya, terdapat dua poin kritis, mengapa statemen Airlangga dianggap terlalu ilusif.
Pertama, target pemerintah Indonesia dengan diadakannya forum G20 bahwa mampu menyerap 33 ribu tenaga kerja selama berlangsungnya pertemuan ekonomi tersebut, tidak dapat dijelaskan secara detail. Bukankah tamu-tamu negara asing yang hadir di Bali itu adalah tamu dengan pengawalan ekstra ketat. Jika mengunjungi destinasi wisata, maka mereka akan memilih yang bersifat private (cnbcindonesia.com, 1/12/2021).
Kedua, forum G20 mampu mendongkrak sektor konsumsi. Kalkulasi sederhananya adalah jumlah delegasi KTT G20 tahun 2022 sebanyak 6.500 orang dan tidak semua tamu-tamu tersebut stay di Bali. Maka, asumsi pemasukan kas negara sebesar 1,7 triliun dari sektor konsumsi dan menyetor tambahan PDB senilai Rp7,47 triliun menjadi irasional.
Lagi pula, pertemuan G20 dari awal dilakukan dengan menggunakan hybrid strategy, offline dan online untuk mengantisipasi penyebaran varian baru virus Covid-19, yakni Omicron (koran.tempo, 2/12/2021).
Artinya, rencana Indonesia mendatangkan PDB senilai triliunan rupiah begitu diragukan. Bahkan, Indonesia yang mengandalkan sektor konsumsi justru pemerintah telah mengeluarkan anggaran jumbo untuk pembelian mobil listrik Hyundai demi melayani negara-negara kapitalis tersebut. Jadi apa manfaatnya?
Belum lagi, dengan kerumunan ribuan orang dalam satu lokasi konferensi. Inilah realitas yang dikhawatirkan para ahli kesehatan di Indonesia yang bisa memicu lonjakan kasus Covid-19. Hal ini dikarenakan kehadiran para jurnalis, presiden dan menteri keuangan dari Afrika, Asia, Uni Eropa, hingga AS akan menimbulkan over cost hingga kematian.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra memprediksi Indonesia berpotensi mengalami ledakan kasus virus corona (Covid-19) yang dapat terjadi secara sporadis, dan unpredictable. Ini semua bisa terjadi karena adanya keramaian (CNNIndonesia.com, 3/11/2021).
Oleh sebab itu, forum G20 yang diproyeksi menguntungkan secara sosial dan ekonomi, malah akan menimbulkan petaka kesehatan dan kohesi sosial. Kerumunan, ketidakpastian kondisi real Omicron sebagai mutasi virus Covid-19 yang lebih mematikan, merupakan bagian terkecil dari dampak buruk pertemuan ekonomi global tersebut.
Meski nyata merugikan, pemerintah tetap meyakini jika forum G20 mampu mendatangkan manfaat. Pemerintah lupa bahwa menjamu tamu-tamu negara asing untuk mengundang minat investasi global membutuhkan biaya besar, mulai akomodasi, transportasi, pengamanan hingga biaya entertaining dan pada akhirnya menambah beban negara.
Perlu diketahui bahwa Indonesia bukan diperhitungkan karena label “raksasa ekonomi”. Namun, pada aspek ketersediaan SDA yang melimpah, SDM murah dan kebijakan yang pro penjajah. Indonesia dilibatkan dalam forum ekonomi global negera-negara maju hanya untuk pertimbangan keuntungan dan menciptakan stabilitas ekonomi negara-negara kampiun kapitalisme. Indonesia bukanlah rival yang sepadan dan bukan pula masuk kategori negara maju yang sebenarnya.
Satu-satunya lawan tanding bagi negara-negara penjajah tersebut adalah sebuah negara adidaya yang mampu head to head dengan raksasa ekonomi dunia, yakni Khilafah Islamiyah. Dalam rentang sejarah, Khilafah terbukti sanggup mengungguli penjajah asing karena Khilafah memiliki kemampuan dan kemandirian ekonomi dan tidak bergantung pada investasi asing.
Mengapa Khilafah terdepan dan unggul di sektor ekonomi untuk meraih kejayaan dan kemakmuran? Karena Khilafah konsekuen dan konsisten berpegang teguh pada Al Quran dan assunnah yang bersumber dari Sang Pemilik kekuasaan dan Pengatur semesta. Sehingga, tidak satupun regulasi yang merugikan apalagi menzalimi manusia.
Dalam negara Khilafah Islamiyah yang dipimpin oleh seorang Khalifah, hanya concern untuk menyejahtrakan rakyatnya dengan pengelolaan SDA yang proporsional dan tidak berlebihan untuk kepentingan jangka panjang dan berkelanjutan.
Demikian pula SDM tidak diposisikan sebagai faktor produksi yang memiliki nilai keekonomian dan dieksploitasi secara serampangan oleh majikan. Namun, SDM diperlakukan sebagai individu yang memiliki keahlian karena kontribusi tenaga dan pemikirannya, sehingga kompensasi yang diperoleh berdasarkan profesionalisme mereka dalam bekerja.
Oleh sebab itu, Khilafah akan menggerakkan roda perekonomian secara adil berlandaskan ketentuan syariah bukan atas dasar manfaat. Hubungan antar negara pun boleh terjalin dengan catatan bahwa mekanisme kontrol kebijakan, kemandirian dan keamanan negara harus terjamin dan terhindar dari kooptasi negara asing.
Oleh Rabihah Pananrangi
0 Komentar