Investasi Properti Massif di Tengah Pandemi, Warga Ibu Kota Gigit Jari



Hampir dua tahun Indonesia menghadapi musim pagebluk. Laju kontaminasi Covid-19 yang sangat massif sukses meluluhlantakkan perekonomian negeri, tidak terkecuali Jakarta. DKI Jakarta sebagai ibu kota negara nyaris lumpuh.

Oleh karena itu, dalam rangka pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19, Pemprov DKI Jakarta mempromosikan Jakarta sebagai kota ramah dan menarik untuk berinvestasi, sekaligus kota kolaborasi. Langkah ini dilakukan sebagai salah satu strategi agar aktivitas perekonomian negara, ibu kota khususnya kembali menggeliat.

Melalui Unit Pengelola Jakarta Investment Centre (JIC) yang berkolaborasi dengan Jakarta Experience Board (PT. Jakarta Tourisindo), Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi DKI Jakarta menggelar Jakarta Investment Forum (JIF) 2021 bertema “Strengthening the Post-Pandemic Economy through Collaboration” secara virtual. Kegiatan tersebut berlangsung pada 11-12 November 2021. Acara dilanjutkan dengan Investment Collaboration Commitment Signing atau pengesahan kerjasama melalui penandatangan MoU (mediaindonesia.com, 9/11/2021).

Miris, pandemi belum benar-benar selesai. Tetapi, pemerintah berwatak kapitalis malah sibuk tebar pesona dengan menarik investor, baik swasta maupun asing guna menanamkan modalnya. Parahnya, pintu investasi dibuka lebar di semua bidang termasuk sektor strategis dan pelayanan publik.

Dalam agenda JIF, Pemprov memberikan kesempatan kepada investor untuk berdiskusi langsung dengan para pemangku kebijakan terkait investasi di berbagai sektor, antara lain kesehatan, transportasi, pariwisata, properti dan tata kota. Selain itu, JIF  juga membahas peluang kolaborasi demi mendorong pembangunan perkotaan yang berkelanjutan (mediaindonesia.com 9/11/2021).

Salah satu sektor strategis yang ditawarkan pemprov adalah bidang properti. Menurut CEO Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda, sektor properti menjadi satu-satunya investasi yang aman, tumbuh positif dan bertahan bagi investor di tengah pandemi Covid-19 yang masih berlangsung (beritasatu.com, 7/9/2021).

Namun, meski DKI Jakarta memiliki nilai realisasi investasi tertinggi secara nasional pada triwulan II tahun 2020 (periode April-Juni) yakni total nilai investasi sebesar Rp30,1 triliun (mediaindonesia.com, 8/8/2020). Idealnya, baik pemprov maupun pemerintah pusat harus memperhatikan dampak negatif derasnya investasi di ibu kota di masa mendatang.

Sejatinya pembangunan infrastruktur imbas program investasi yang dijalankan pemerintah sudah dimulai sejak tahun 2014. Pembangunan gedung perkantoran dan apartemen banyak digencarkan di wilayah Kuningan, Sudirman dan Gatot Subroto. Oleh karena itu, dikhawatirkan dengan adanya kerja sama dengan asing, otomatis harga sewa perkantoran semakin melonjak.

Dilansir dari laman CNNIndonesia.com, 29/01/2021, Menurut Ekonom dan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, terdapat potensi ketimpangan sosial yang dapat dihasilkan dari kemudahan investasi asing di bidang bangunan dan lahan. Apalagi, para investor banyak yang memilih berinvestasi di wilayah strategis seperti CBD (Central Business District) atau pusat bisnis.

Selain itu, dengan munculnya pihak asing sebagai kompetitor investasi. Maka, masyarakat menengah ke bawah harus "merogoh kocek" lebih dalam untuk membeli lahan ataupun bangunan karena standar harga yang naik. Apalagi, dalam laman liputan6.com, 28/8/2021, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa terdapat wacana Jakarta akan menjadi pusat bisnis setelah ibu kota negara pindah ke Kalimantan Timur.

Namun sangat disayangkan, dengan alasan meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan negara, juga peran serta masyarakat, privatisasi digencarkan. Pemprov maupun pemerintah pusat seolah memudahkan proses investasi. Tidak heran, melalui lembaga dan regulasi pemerintah seperti memberi lampu hijau untuk melenggangkan investasi.

Salah satunya unit pengelola JIC, lembaga ini akan memberikan pendampingan kepada investor dalam kegiatan investasi di Jakarta. Selain itu, kehadiran Unit Pengelola JIC dapat menjadi rekan para investor dalam mencari informasi terlengkap seputar proyek unggulan dan nilai investasi. JIC juga akan melakukan asistensi pengurusan perizinan dan nonperizinan (mediaindonesia.com 9/11/2021).

Selain itu juga melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah, warga negara asing/WNA boleh membeli properti di Jakarta. Dari aturan tersebut bisa disimpulkan bahwa walau hanya berstatus hak pakai dan hak sewa, namun justru banyak menimbulkan kerugian negara dan masyarakat lokal. Hal ini disebabkan, WNA lebih berpeluang memiliki lahan dan bangunan ketimbang pribumi karena harga yang sangat mahal.

Kenyataan menyedihkan lainnya akibat adanya investasi "jor-joran" adalah kesenjangan di ibu kota sangat kentara. Di saat pembangunan gedung perkantoran, apartemen dan pusat bisnis menjamur. Ternyata, masih banyak warga ibu kota yang hidup di wilayah padat dan tidak layak huni. Dari 98 RW di Jakarta, baru 12 RW yang masuk rencana revitalisasi (antaranews.com, 12/11/2021).

Selain itu, pembangunan rumah susun bersubsidi nyatanya juga tidak memberi solusi. Banyak korban penggusuran yang menolak tinggal di rumah susun karena tempat yang kurang nyaman dan lokasinya yang tidak strategis. Sebagai konsekuensi sistem kapitalisme yang diadopsi pemerintah, harga sewa apartemen, rumah, maupun tanah di Jakarta semakin tidak masuk akal. Lahan di Jakarta seakan sold out, tidak tersisa untuk warga pribumi.

Selain masalah sosial ekonomi, pemprov dan pemerintah hendaknya memperhatikan dampak pembangunan bagi keseimbangan lingkungan. Dilansir dari laman suarajakarta.id,2/3/2021, Ketua Komisi D DPRD Jakarta Ida Mahmudah mengatakan bahwa Pemprov DKI Jakarta sejauh ini baru memiliki 9,4 persen Ruang Terbuka Hijau (RTH) dari luas lahan Jakarta. Angka tersebut menunjukan ketersediaan RTH di ibu kota masih jauh dari target.

Lagi pula, privatisasi pelayanan publik menyalahi konstitusi UUD 1945. Namun faktanya, swastanisasi sektor strategis menjadi lumrah karena dianggap sebagai konsekuensi logis pemerintah akibat keterbatasan dan himpitan resesi ekonomi yang melanda negeri. Satu hal yang harusnya menjadi pertimbangan pemerintah terkait investasi ini adalah bagaimana menjaga kedaulatan negeri dari cengkraman penjajahan melalui jalan utang/investasi.

Sudah menjadi pemahaman umum bahwa investor tentunya mengharapkan profit. Sementara bidang yang dijadikan objek adalah yang berkaitan dengan pelayanan publik. Pemerintah tidak akan memberikan pelayanan optimal untuk masyarakat. Karena pemerintah harus segera mengembalikan modal investor dan memberikan bagian keuntungan kepada mereka. Apa yang terjadi jika pemerintah tidak bisa melakukan itu? Tentu utang semakin menggunung dan wibawa negara jatuh tersungkur.

Dipastikan kenyataan pahit seperti di atas tidak akan terjadi, jika Islam yang menjadi pedoman pemerintah dalam membuat aturan. Sumber daya alam sebagai milik umum yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt. harusnya dikelola dan dimanfaatkan pemerintah untuk kepentingan publik. Di antaranya untuk membangun infrastruktur dan layanan publik. Sayangnya, selama ini SDA yang dimiliki pemprov maupun pemerintah pusat tidak dikelola sendiri/diserahkan swasta dan asing. Alih-alih bisa didistribusikan merata untuk rakyat, malah justru diangkut para investor.

Dalam aturan Islam, negara tidak boleh sembarangan memberi izin tinggal bagi warga di luar Daulah, apalagi untuk memiliki properti. Pemerintah Islam hanya membolehkan warga yang berasal dari negara yang tidak memerangi Islam dan terikat perjanjian untuk berdagang, rekreasi, berobat, belajar, dll. Jika warga negara tersebut masuk dengan izin negara, dia tidak boleh tinggal di negara Khilafah kecuali dalam jangka waktu tertentu, yaitu di bawah satu tahun (An-Nabhani, 1994: 233).

Syariat Islam mewajibkan negara bertanggung jawab menyediakan tempat tinggal untuk rakyatnya. Tempat tinggal yang dimaksud adalah yang layak huni, nyaman, memenuhi standar kesehatan, harga terjangkau bahkan gratis dan sesuai aturan syariat. Fakta menyedihkan saat ini, banyak warga ibu kota tinggal di petakan sempit, tidak layak huni, kurang mendapat cahaya matahari dan tidak sesuai dengan konsep Islam. Artinya, tidak ada ruang privasi bagi anggota keluarga.

Daulah Khilafah juga sangat menjaga lingkungan. Pembangunan dilakukan untuk kemaslahatan umat semata, bukan untuk eksploitasi demi memperkaya individu. Sehingga, tidak akan merusak lingkungan. Oleh karena itu, sesungguhnya jalan keluar dari permasalahan akibat pembukaan kran investasi ibu kota yang massif dan mahalnya harga lahan dan tempat tinggal di ibu kota adalah hanya dengan menjadikan Islam sebagai pedoman hidup, wallahualam bishawab.


Oleh Anggun Permatasari

Posting Komentar

0 Komentar