Ngeri! Kasus pemerkosaan kian hari kian mengkhawatirkan terutama menimpa kaum wanita, mulai dari usia belia sampai dewasa. Kasusnya pun tak hanya di Indonesia, tapi sudah mendunia. Seakan sudah biasa, kasusnya terus menerus meningkat dari masa ke masa. Bukannya menurun malah makin bertambah parah.
Sebagaimana diberitakan Liputan6.com pada 2017, sekitar 36 persen wanita di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan fisik maupun kekerasan intim seksual. Itu yang tercatat dan dilaporkan, yang tidak tercatat dan tidak dilaporkan ternyata sangat banyak karena berbagai alasan. Salah satu alasannya karena stigma negatif, yakni jika seorang wanita diperkosa hidupnya sudah tidak berharga lagi atau dilecehkan bahkan mereka takut dikucilkan atau dibuang oleh keluarganya.
Dari kasus pemerkosaan tersebut tentu saja akan mendatangkan masalah lainnya yang tak kalah pelik juga. Di antaranya, makin meningkatnya tindak aborsi, tingginya tingkat stres bagi korban perkosaan bisa menyebabkan bunuh diri karena malu, serta masalah lainnya. Sungguh mengerikan.
Jika mengacu pada data 2017 yang dirangkum dari situs dailyhunt, ada sepuluh negara di dunia dengan kasus pemerkosaan tertinggi. Berikut negara-negara tersebut jika diurut dari yang tertinggi yakni: Afrika Selatan, Swedia, Amerika Serikat, Inggris dan Wales, India, Selandia Baru, Kanada, Australia, Zimbabwe, Finlandia dan Denmark (style.tribunnews.com/2019/03/07).
Ternyata, Amerika Serikat sebagai salah satu negara pengusung paham liberal dan yang menggembar-gemborkan Hak Asasi Manusia (HAM) menduduki peringkat ketiga tertinggi penyumbang kasus pemerkosaan.
Di Amerika sendiri, sebagaimana sebutkan dalam situs dailyhunt, menurut "Worldwide Sexual Assault Statistics" terbitan George Mason University, 1 dari 3 perempuan atau sekitar 19,3 persen terpaksa alami pemerkosaan sekali dalam hidupnya. Bahkan, ditulis setiap 107 detik, seseorang di Amerika Serikat pasti mengalami kekerasan seksual. Sedihnya, 68 persen kasus kekerasan seksual yang terjadi tidak dilaporkan ke polisi, dan 98 persen pemerkosa tidak pernah masuk penjara. Sadis!
Bahkan, banyak yang jadi korban pelecehan seksual pada usia belia, sekitar 79 persen diperkosa pertama kalinya sebelum usia 18 dan 40 persen diperkosa sebelum berusia 18. Begitu juga, lebih dari seperempat wanita usia kuliah mengalami pemerkosaan atau upaya pemerkosaan sejak usia 14 tahun, tapi hanya 16 persen kasus yang dilaporkan.
Hukuman Pemerkosa di Amerika Serikat
Inilah salah satu kondisi negara, khususnya Amerika Serikat di sistem sekuler kapitalis yang menganut paham liberal dan mengatasnamakan HAM. Ternyata, tingkat pemerkosaan, kejahatan dan kekerasan seksualnya sangat tinggi. Padahal, sanksi atau hukuman bagi pemerkosa sudah diberikan. Dikutip dari CNN Indonesia, Senin, (04/01/2021), di Amerika sendiri, ada sekitar delapan negara bagian yang menghukum pemerkosa dengan memberlakukan hukuman kebiri. Hukum kebiri ini bisa dilakukan baik secara kimia maupun secara fisik dengan jalan operasi. California sebagai negara bagian yang pertama kalinya memberlakukan kebiri kimia pada 1996, Florida, Louisiana, Montana, Wisconsin, dan Texas.
Itulah hukuman yang diterapkan oleh Amerika Serikat untuk mengatasi kasus perkosaan yang kian mengkhawatirkan. Namun, kenapa walaupun hukuman tersebut diberlakukan tetap saja kasus pemerkosaan kian hari malah makin meningkat? Pasti ada yang salah dengan hukum yang diterapkan. Hukuman tak lantas membuat orang jera malah makin merajalela.
Tentu saja ada yang salah. Kesalahannya sangat fatal sekali, ini menyangkut cara pandang suatu negara dalam menyikapi masalah. Barat khususnya Amerika Serikat, dengan sistem kapitalis sekulernya memandang hubungan pria dan wanita sebatas hubungan seksual saja. Suatu keharusan bagi Barat untuk menciptakan fakta-fakta yang terindra dan menghadirkan pikiran atau fantasi yang mengundang birahi dan mereka sengaja mewujudkannya.
Menciptakan fakta dan pikiran tersebut semata-mata untuk mencari kepuasan. Maka tak heran, Barat sengaja menciptakan atau membuat karya seperti cerita-cerita, buku-buku, syair-syair atau konten-konten medsos untuk membangkitkan hasrat seksual. Bahkan, berikhtilat/campur baur pria dan wanita sudah biasa.
Yang anehnya, jika pria dan wanita melakukan persetubuhan karena atas dasar suka sama suka itu dibolehkan dan tak ada hukum yang menjeratnya. Jadi, praktik perzinaan di Barat itu tidak dilarang tapi dibiarkan. Ini semua karena paham kebebasan, baik kebebasan beragama, berpendapat, kepemilikan, dan bertingkah laku di atas segalanya. Atas nama HAM mereka melakukan perbuatan yang dilaknat dengan sesuka hatinya atas dasar suka sama suka.
Pantas saja, kasus pemerkosaan tak akan pernah selesai. Karena sistem kapitalis sekuler dengan paham liberalnya dan atas HAM-nya itu biang kerok meningkatnya pemerkosaan. Selama paham liberal dan HAM ini dijadikan pijakan/dasar dalam sebuah negara, otomatis tidak bisa menjadi solusi dalam mengatasi kasus pemerkosaan. Yang ada malah mendatangkan berbagai masalah lainnya yang tak kalah mengerikan.
Lantas, mengapa mau mengambil paham liberal dan HAM sebagai solusi untuk mengatasi kasus yang terjadi di negeri ini, seperti kasusnya Permendikbud 30/2021 yang diduga berpotensi melegalkan seks bebas. Padahal di Amerika Serikat, sebagai negara pengusung liberal dan HAM saja sudah gagal mengatasi masalahnya, untuk apa dipertahankan?
Solusi Islam Atasi Pemerkosaan
Tentunya, ketika kasus pemerkosaan meningkat, Islam solusi yang tepat. Karena hanya aturan Islam satu-satunya yang dapat menyelesaikan kasus ini dengan sempurna dan anti gagal. Kok bisa? Tentu saja bisa, mau tahu? Begini pemaparannya.
Jika dilihat, sumber yang menjadikan orang itu melakukan pemerkosaan diawali dengan fakta-fakta yang dapat diindra seperti cerita, buku atau video porno dan lainnya serta pikiran/bayangan yang mengundang hasrat seksual, maka negara dalam Islam akan menutup celah-celah itu. Karena fakta-fakta dan pikiran/bayangan tersebut akan mendatangkan bahaya menyebabkan kerusakan di kehidupan manusia.
Islam melarang pria wanita berkhalwat (berdua-duaan pria yang bukan mahram). Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat (berdua-duaan) dengan seorang wanita, melainkan yang ketiga dari mereka adalah setan” (HR at-Tirmidzi).
Islam pun melarang wanita bertabaruj (menampakkan perhiasan dan kecantikan kepada pria asing). “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat…” (TQS an-Nur: 31).
Islam pun memerintahkan untuk menundukkan pandangan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an surah an-Nur ayat 30 yang artinya, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’.”
Begitu juga, wanita mempunyai kehidupan khusus yang terpisah dengan pria. Jika Wanita hendak keluar rumah, maka wajib baginya mengenakan pakaian secara sempurna yakni jilbab atau baju kurung hingga ke bawah (irkha’) dan kerudung (penutup kepala) atau khimar.
Dalil terkait jilbab terdapat dalam Qur’an surah al-Ahzab ayat 59 yang artinya, “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Begitu juga dalil terkait kerudung ada di dalam Al-Qur’an surah an-Nur ayat 31 yang artinya, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya)…”
Namun, Islam membolehkan pria dan wanita bertemu di kehidupan umum jika ada keperluan seperti belajar-mengajar, jual-beli, atau ada hajat yang ditetapkan Syariah seperti haji dan umrah.
Dalam Islam mengenai hubungan pria dan wanita merupakan pandangan untuk melestarikan jenis manusia, bukan pandangannya yang bersifat seksual saja. Memang, fitrahnya manusia diberikan naluri melestarikan jenis (gharizatu nau’), jika naluri itu bangkit tentu butuh pemuasan. Naluri inilah yang mendorong manusia melakukan sesuatu untuk memuaskannya. Dalam Islam solusinya ya dengan menikah agar terwujud ketenangan dan ketentraman.
Jika dirasa belum saatnya atau belum mampu menikah, tapi hasrat seksual itu bergejolak, maka bisa dialihkan dengan aktivitas yang lainnya, seperti banyak berolahraga, baca buku dan lainnya. Karena Islam memandang, jika gharizah nau’ ini tidak terpuaskan tak akan menimbulkan gangguan fisik, psikis atau kematian seperti yang di bilang Barat, tapi hanya mendatangkan kegelisahan saja.
Semua itu akan sempurna bila ada peran negara. Negara dalam Islam akan menerapkan sanksi sebagai zawajir (pencegah dari kejahatan) juga sebagai penebus dosa di akhirat (jawabir). Artinya, jika pelaku pemerkosa mendapatkan sanksi di dunia, maka Allah akan menghapus dosanya dan meniadakan baginya sanksi di akhirat, bagi orang yang Allah kehendaki.
Seperti sanksi yang diterapkan di dunia bagi pemerkosa/pezina. Bagi yang sudah menikah dengan rajam atau dilempari batu sampai mati. Sedangkan bagi yang belum menikah, dengan hukum cambuk sebanyak 100 kali serta diasingkan selama satu tahun. “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera” (TQS an-Nur: 2).
Jika sanksi di dunia sudah dilaksanakan maka tak ada lagi sanksi yang Allah timpakan di akhirat kelak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hadits yang menunjukkan tentang wanita yang dirajam sampai meninggal karena mengaku berzina. “Sungguh ia telah bertaubat seandainya dibagi antara 70 penduduk Madinah, sungguh akan mencukupi mereka semuanya” (HR. Muslilim).
Tak patut negara yang mayoritas berpenduduk Muslim menerapkan sistem kapitalis sekuler yang mengusung paham liberal dan HAM yang terbukti gagal dalam menangani kasus pemerkosaan. Sudah saatnya menerapkan sistem pemerintah Islam yang akan menjaga kehidupan pria dan wanita dari hal-hal yang membuat mereka melakukan dosa.[]
Oleh: Siti Aisyah. S.Sos.
0 Komentar